Hukum Islam Persepektif
Paradigma Baru Keilmuan

Revisi Makalah
Mata
Kuliah
Sejarah
Pemikiran Islam
Semester
II Tahun Akademik 2016
Oleh:
Marwan
Fadhel
NIM. 80100215003
Dosen Pemandu:
Dr.
Abdillah Mustari , M. Ag
Dr. Kurniati, M.Hi
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
M A K A S S A R
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum yang
diperkenalkan oleh al-Quran bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi merupakan
bagian integral dari aqidah yang diimani. Aqidah tentang Alloh yang menciptakan
alam semesta, mengatur, memelihara dan menjaganya sehingga segala makhluk itu
menjalani kehidupannya dengan baik dan melakukan fungsinya masing-masing dengan
tertib.
Penemuan hukum-hukum alam memberikan informasi
yang jelas
kepada kita betapa alam raya ini bergerak menurut ketentuan-ketentuan hukum
alam yang
mengaturnya.
Selanjutnya hukum yang
mengatur kehidupan manusia ini kadang memiliki perbedaan mendasar, yaitu menyangkut pemahaman hukum menurut ilmu hukum dengan hukum Islam yang
bersumber dari al-Quran. Menurut ilmu hukum, hukum itu hanya mengurus dan
mengatur hubungan antar sesama manusia. Hukum itu hanya terdiri
dari suruhan atau perintah dan larangan serta hak dan kewajiban. Apa yang
dimaksud dengan nilai moral dan akhlak tidak tergolong hukum. Sebaliknya hukum menurut ajaran
al-Quran (hukum
Islam), penegakan hukum
berjalan sekaligus dengan pembinaan moral atau akhlak yang bersumber dari aqidah.[1]
Seiring dengan
perkembangan metode taqnin dan dibukanya kembali pintu ijtihad, maka paradigma keilmuan
dalam hukum Islam
pun
berjalan
terus
memenuhi tuntutan kebutuhan manusia dan terus beradaptasi dengan perkembangan sains moderen. Sebagai konsekwensinya
lahirlah beberapa
produk pemikiran hukum Islam, yang oleh Ahmad Rafiq menyebutnya ada
empat, yaitu fiqh,
fatwa ulama, putusan pengadilan (yurisprudensi) dan undang-undang.[2]
Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam juga sangat membutuhkan produk-produk hukum yang sejalan
dengan tuntutan kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu, keempat produk pemikiran hukum Islam di atas harus berjalan secara sinerjik sesuai kebutuhan hukum
masyarakat Islam Indonesia. Akan tetapi bila dicermati lebih jauh, produk-produk
pemikiran hukum Islam ini seringkali tidak menyentuh
rasa
keadilan masyarakat. Itu
disebabkan karena hukum
tidak dilandaskan
pada sebuah konsepsi kebutuhan hukum
kontemporer dengan menyertakan
pertimbangan visi hukum
dan visi sosial. Itulah sebabnya ia tidak menjadi aplikatif dan responsif terhadap irama perkembangan
masyarakat.
Apapun produk hukum pasti bersentuhan dengan kehidupan masyarakat.
Terlebih lagi jika hukum tersebut berada pada kerangka pemikiran manusia, karena hal ini akan
berkembang mengikuti perkembangan tingkat kecerdasan
masyarakat di mana hukum itu diberlakukan.
Dalam hal ini salah satu problem
yang dihadapi ketika hendak
diberlakukan suatu
produk hukum adalah
adanya ketidaksesuaian dengan kerangka teori keberlakuan
hukum dan kurang memperhatikan
paradigma keilmuan.[3]
Menggunakan pendekatan paradigma keilmuan yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis, historis dan empiris.[4] Maka dapat diketahui kerangka pengujian terhadap efektifitas penerapan pemikiran
hukum
Islam. Dengan kata
lain produk hukum tersebut harus
dapat dianalisa secara kritis, metodologis, mengandung aspek historis
dan empiris, sehingga
bersifat rasional
dan bisa diuji kebenarannya
secara ilmiah.
Dalam hal ini fiqh
dan fatwa sebagai hasil pemikiran cemerlang dari ulama harus
dapat menunjukkan aspek rasionalitasnya yang siap diuji
oleh perkembangan
keilmuan moderen. Demikian pula
dengan yurisprudensi dan
undang-undang sebagai produk pemikiran para hakim
dan legislatif yang
ditunjuk harus pula
menampakkan aspek
ilmiah dan fungsionalisasinya pada setiap perkembangan
pemikiran manusia. Standar
yang
digunakan adalah melalui kerangka berfikir keilmuan atau
paradigma sains.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas
maka dapat dirumuskan pokok masalah sebgai berikut: Bagaiman Hukum Islam dalam
persepektif paradigma baru keilmuan? Berdasarkan pokok masalah tersebut
dimasukkan sub masalah sebagai berikut:
1.
Bagaiaman
Ontologi Pemikiran Hukum Islam?
2.
Bagaimana
Epistimologi Penetapan dan Penerapan Pemikiran Hukum Islam?
3.
Bagaimana
Aksiolgi Pemikiran Hukum Islam?
4.
Bagaiaman
Paradigma Keilmuan Moderen dan Implikasinya pada Pemikiran Hukum Islam?
C. Manfaat dan
Tujuan
Ada pun yang menjadi tujuan dan manfaat dari
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
Ontologi Pemikiran Hukum Islam
2.
Untuk
Epistimologi Penetapan dan Penerapan Pemikiran Hukum Islam
3.
Untuk
Aksiolgi Pemikiran Hukum Islam
4.
Untuk Paradigma
Keilmuan Moderen dan Implikasinya pada Pemikiran Hukum Islam
|
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi Pemikiran Hukum Islam
Ontologi menurut bahasa berasal dari kata “onto” yang berarti “ada”
dan “logos” yang berarti “pikiran”.[5] Dalam kamus filsafat disebutkan, kata “ontos” berarti “berbeda” sedang “logos” artinya “ilmu pengetahuan, ajaran
atau teori”.[6]
Selanjutnya, ontologi menurut istilah adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini, bagaimana keadaan
yang sebenarnya.[7]
Ontologi dipahami sebagai suatu pengetahuan yang
membicarakan tentang hakekat kenyataan yang dapat membedakan anatara
yang
nyata (the real) dengan yang tidak nyata
(the unreal)
atau antara kenyataan dengan
kenampakan.[8]
|
Ontologi produk pemikiran
hukum tidak hanya memiliki unsur yang
sama, baik dari segi obyek, sumber dan metodologi, tetapi juga lebih jauh ontologi hukum juga berusaha menelusuri apa yang ada di balik obyek, sumber dan metode tersebut. Teori klasik Islam,
hukum bersumber kepada
kehendak Ilahi,
sehingga dinyatakan bahwa Pemberi Hukum (al-Hakim) dalam Islam adalah Allah Yang Maha Bijaksana. Oleh
karena
itu, setiap usaha penemuan hukum
Islam, tidak lain merupakan upaya pencarian dan perumusan kehendak Ilahiah.[9] Kehendak ilahiah itu
kemudian dikenal dengan
nama syariah. Dengan kata lain bahwa hukum dalam Islam tidak berdiri sendiri. Hukum Islam tegak di atas
landasan teologi yang sangat dalam. Oleh
karena itu, konsep-konsep hukum dalam
Islam secara fundamental
dipengaruhi oleh
doktrin-doktrin teologi.
Doktrin-doktrin teologi dalam hukum Islam
inilah yang kemudian
membedakan hukum
Islam dengan produk pemikiran hukum sekuler di Barat. Perbedaan itu bukan hanya terletak pada sikap masyarakat
di mana
hukum itu masing-masing berlaku,
tetapi lebih jauh lagi, antara keduanya dibedakan oleh tujuannya masing-masing. Hukum Islam bertujuan untuk
membangun kemaslahatan di dunia dan di
akhirat sekaligus, sedangkan
hukum sekuler hanya untuk kebaikan/keteraturan
di dunia semata.[10]
Konsekuensi logisnya
adalah bahwa dalam syariat Islam
dikenal konsep pahala bagi orang yang menunaikannya dan dosa atas
orang yang melanggarnya,
yang akibatnya akan dirasakan oleh
manusia di akhirat. Sebagai contoh, dapat dilihat pada perintah melakukan shalat. Perintah itu, meskipun
sudah
diyakini kebenarannya, tetapi dalil tentang
wajibnya shalat tetap dalam keadaan zhanniy, karena tidak ada pengertian
atau
sebutan yang jelas
mengenai wajibnya shalat. Tuhan hanya menyebut (dirikanlah shalat)
dan tidak menyebut (wajiblah shalat atau diwajibkan
shalat bagimu).
Dari
sini dapat dipahami ada kemungkinan bahwa shalat itu “tidak wajib hukumnya”. Kalaupun sebagai ibadah wajib maka hal itu berada pada substansi shalat yaitu
usaha meninggalkan perbuatan keji dan mungkar (QS.29:45), bukan pada
kayfiyah shalatnya. Belakangan pengertian tentang wajibnya shalat nanti menjadi jelas
setelah mendapatkan keterangan
dari
dalil lain, misalnya tata cara melaksanakan shalat dijelaskan oleh hadis-hadis
Nabi, dan kenyataan bahwa Nabi Saw, sendiri tidak pernah
meninggalkan shalat lima waktu
,semua ini membuat dalil
tentang wajibnya shalat menjadi kuat dan
pasti. Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat Alquran, memang sebagian menjadi pedoman umum
(dalam penerapan hukum maupun soal kemasyarakatan)
dan sebagian lainnya berfungsi
menjadi penjelasan
atas
yang lain (QS. 2: 185).
Interaksi dasar-dasar hukum tersebut dimaksudkan untuk
menetapkan hubungan manusia dengan Tuhan
dan hubungan manusia dengan sesama manusia serta alam sekitarnya. Dalam posisi ini, ontologi hukum Islam
lebih diarahkan pada pembentukan manusia sebagai
hamba Tuhan dan manusia sebagai
makhluk sosial. Dengan demikian, dari
sisi ontologis,
produk pemikiran hukum Islam tidak mengalami
masalah
yang
serius, juga
belum mempunyai
pengaruh signifikan
dalam upaya transformasi sosial.
Kondisi ini dimungkinkan karena sejak awal obyek kajian hukum Islam adalah Alquran dan Hadis
Nabi Saw yang selalu direfleksikan pada dua
hubungan, yaitu hubungan dengan Allah dan
hubungan dengan sesama
manusia.
B. Epistemologi Penetapan
dan Penerapan Pemikiran Hukum
Islam
Pada kajian
epistemologi, membahas secara mendalam
segala proses
penyusunan pengetahuan yang benar. Dengan kata lain
bahwa
epistemologi adalah ilmu
pengetahuan yang mengkaji bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan.
Jika
pemaknaan ini
dibawa
ke
dalam pembahasan
hukum
Islam,
maka yang dimaksud
epistemologi penetapan dan penerapan hukum
Islam adalah bagaimana mengetahui pesan-pesan
syar’i (Tuhan sebagai pembuat
hukum), dan
RasulNya Muhammad saw, melalui firman yang termaktub
di tengah kehidupan masyarakat yang terus berkembang.
Sejak dunia Islam
bersentuhan
dengan filsafat Yunani pada abad pertengahan, lalu kemudian
muncullah filosof-filosof
Islam kenamaan seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan
Ibnu Rusyd, sejak itu
maka teori pengetahuan
pun berkembang di dunia Islam,
seperti pengetahuan rasional, pengetahuan inderawi (empirisme)
dan
pengetahuan
Kasyb yang diperoleh melalui
ilham.
Secara garis besar sejak periode yang paling
awal, setelah wafatnya Rasulullah para ulama telah merumuskan
sumber hukum Islam (al-Quran dan Hadis). Namun dalam perkembangan selanjutnya terjadi semacam perbedaan dalam
merumuskan dua
sumber di
atas,
yakni berhadapan dengan unsur-unsur otonomi
manusia.
Perbedaan-perbedaan itu selanjutnya terjadi karena:
Perbedaan dalam memberikan arti bahasa, cara penerimaan suatu
Hadis, penyelesaian nash
yang saling bertentangan, perbedaan dalam
penggunaan qiyas,
perbedaan
dalam
menggunakan dalil tertentu, misalnya istihsan, istishab dan
istislah, dan perbedaan
dalam penggunaan dan kedudukan suatu lafal.[11]
M. Arkoun
menyebutkan
bahwa
para ulama-ulama mujtahid pada abad kedua dan ketiga hijriyah telah menerapkan prosedur-prosedur
penalaran independent untuk mendeduksikan (istinbath)
hukum dengan bertolah dari
naskah-naskah
(nusus). Prosedur itu ada tiga: Menentukan yang lebih
baik (istihsan), menentukan kepentingan yang dianggap baik
(istislah), dan
penalaran analogis (qiyas).[12]
Dengan
demikian, secara epistemologis
sebenarnya hukum Islam
kaya akan metodologi
penalaran dan pembentukan hukum yang digali dari al-Quran dan Sunnah. Meskipun terdapat perdebatan di kalangan
ulama
menyangkut interaksi
nash-nash tersebut dengan pemikiran manusia,
namun kesemuanya tegas
terangkum dalam dua kata kunci pemikiran muslim, yaitu ijtihad sebagai
upaya personal dalam
merumuskan
ajaran, dan
taqlid sebagai ketundukan
dengan tulus pada ajaran seorang guru.
Kedua kata kunci tersebut (ijtihad dan taqlid)
adalah dua pengertian kolektif
yang
dapat koeksistensi dalam diri seorang ulama. Hasbi Ash Shiddieqy, seorang pembaharu dalam alam pikiran Islam Indonesia abad ke 20 khususnya
dalam bidang hukum
Islam, telah merefleksikan kedua kata kunci tersebut dalam rangka
mencari format hukum Islam yang sesuai
dengan masyarakat Indonesia.
Upaya yang
dilakukan Hasbi dalam
penggalian hukum (sebagai
hasil refleksinya), sebagaimana
dijelaskan oleh putera beliau
Nourouzzaman Shiddiqi, bahwa
Hasbi menggunakan metode analogi deduksi. Hasbi
menggunakan
metode komparasi, yakni membandingkan
antara satu pendapat dengan pendapat lain dari seluruh
aliran hukum yang ada atau pernah ada, dan memilih mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dan didukung
oleh dalil yang kuat.[13]
Oleh karena itu, dalam
tinjauan
epistemologi hukum Islam, kita
mengenal
kurang lebih tujuh metode
yang
digunakan para ulama
mujtahid untuk
menetapkan dan menerapkan pemikiran
hukum Islam, yaitu;
a. Ijma‟, adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai
suatu masalah pada suatu tempat di
suatu masa.
Lebih khusus
lagi ijma’ adalah ketetapan hati atau kesepakatan para mujtahid dari umat
Muhammad saw. pada suatu
masa, setelah wafatnya Rasulullah saw.
terhadap suatu hukum syara. Ijma’ dalam arti kesepakatan seluruh ahli
hukum saat ini
sulit dicapai
mengingat
luasnya
bagian dunia yang didiami oleh umat Islam, beragamnya sejarah, budaya dan
lingkungannya.
Oleh karena itu, ijma’ yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa kedua khulafaur Rasyidin. Sekarang ijma’
hanya berarti
persetujuan
dan kesesuaian pendapat di suatu
tempat
mengenai
tafsiran ayat-ayat (hukum) tertentu dalam
al-Quran[14]
b. Qiyas ialah
mempersamakan hukum peristiwa yang belum ada
ketentuannya, karena antara kedua peristiwa tersebut terdapat segi-segi persamaan illat (penyebab atau alasannya).[15] Qiyas
merupakan ukuran
akal budi untuk membanding suatu
hal dan hal lain. sebagai contoh,
adanya larangan meminum khamar. Yang menyebabkan minuman
itu dilarang adalah illatnya yakni
memabukkan. Oleh
karena itu, setiap minuman yang memabukkan, dari apapun
dibuat, hukumnya sama
dengan khamar, yaitu dilarang untuk diminum. Jadi minuman yang
memabukkan itu diqiyaskan dengan
khamar sehingga dilarang diminum dan
diperjualbelikan untuk
umum.
c.
Maslahah al-Mursalah ialah cara menemukan hukum sesuatu hal yang
tidak terdapat ketentuannya, baik dalam Alquran maupun kitab-kitab
hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat
atau kepentingan umum. Maslahah al-Mursalah
dalam
epistemologi hukum
Islam secara hakiki meliputi: [16]
a)
Keselamatan keyakinan
agama;
b)
Kesehatan
jiwa;
c)
Keselamatan akal;
d)
Keselamatan
keluarga dan keturunan;
e)
Keselamatan
harta benda.
d.
Istihsan ialah metode
penetapan hukum suatu masalah
dan meninggalkan yang lainnya, karena adanya indikasi
yang
lebih kuat dan lebih bersifat khusus.[17]
Dengan kata lain
bahwa istihsan adalah cara menetapkan hukum dengan jalan menyimpang dari
ketentuan yang
sudah ada demi keadilan
dan kepentingan sosial.
e.
Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan
yang terjadi
sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau
dengan kata lain istishab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang
membatalkannya.
f.
Adat-istiadat atau ‘Urf yaitu kebiasaan
mayoritas kaum,
baik dalam perkataan maupun perbuatan.
‘Urf
adalah suatu metode penetapan
hukum Islam selama tidak bertentangan dengan nash. Para ulama menerimanya
sebagai dalil
hukum yang tidak mandiri, tetapi
harus terkait dengan dalil lain yang sunnah.[18]
Jika epistemologi hukum
Islam
di
atas dapat
dikembangkan
oleh
para ulama
mujtahid saat ini, maka tidak ada masalah yang timbul dalam
masyarakat yang tidak
dapat dipecahkan dan ditentukan
hukumnya.
Dengan demikian, upaya pengembangan
epistemologi hukum Islam adalah suatu kebutuhan
umat yang harus dipenuhi. Akan tetapi dalam penerapan hukum
Islam yang seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
kebutuhan hukum masyarakat harus
memperhatikan asas-asas penerapan syariat yaitu: [19]
1.
Tidak memberatkan,
2.
Tidak memperbanyak beban,
3.
Bertahap.
C. Aksiologi
Pemikiran Hukum Islam
1.
Aspek kognitif
Aspek kognitif ini berkaitan dengan rasio atau pikiran. Misalnya nilai suatu
perkawinan menurut adat istiadat dan agama. Secara kognitif
perkawinan merupakan suatu
pergaulan antara dua manusia yang berbeda
jenisnya,
yang dilakukan secara teratur menurut hukum Islam maupun hukum adat yang dianut oleh masyarakat setempat.
2. Aspek Afektif
Aspek ini berkaitan dengan perasaan atau emosi. Misalnya perkawinan di atas juga merupakan pergaulan hidup yang menghasilkan ketentraman pada
keluarga yang terbentuk karena perkawinan itu.
3. Aspek Konatif
Aspek Konatif ini berhubungan dengan penyerahan diri kedua aspek sebelumnya, yang
berkaitan dengan kehendak
(untuk berbuat atau
tidak
berbuat), Misalnya
keserasian
antara
ketertiban
dan
keteraturan
dalam
perkawinan, menghasilkan suatu kehidupan damai dalam keluarga.
Teori-teori hukum, biasanya dibedakan antara empat macam hal
hukum sebagai norma (nilai).
Empat unsur itu adalah:
a.
Norma hukum tersebut
berlaku
secara filosofis, falsafa, artinya
sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Di dalam hukum
Islam
dikenal dengan “Maqasid al-Tasyri” dan
“Asrar al-Tasyri”, yang rumusan hukumnya dibentuk melalui “al-qawa‟id al-fiqhiyah”.
b.
Norma hukum berlaku secara “yuridis, ushuliyah,
apabila penentuannya
didasarkan pada norma yang lebih
tinggi tingkatannya dan dibentuk menurut metode yang sahih. Dalam hal hukum
Islam, tentu
saja berdasarkan al-Qur‟an dan
al-Sunnah, dengan memakai metode istinbat, memakai ilmu Usul
al-Fiqh dan Qawaid Al-fiqh.
c.
Norma hukum berlaku secara “legality, qanuniyah”, apabila norma tersebut efektif. Artinya norma tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun belum
diterima oleh
warga masyarakat. Jadi
norma hukum itu
dilembagakan melalui prosedur perundang-undangan, yang
dikenal dalam hukum Islam
dengan “al-Taqnin (dilembagakan menjadi
undang-undang atau kodifikasi hukum Islam).
d.
Norma hukum berlaku
secara “sosiologis, waqiah ijtima‟iyah, apabila
norma tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat; hukum
yang
hidup di tengah-tengah masyarakat, hukum Islam di
Indonesia
sebagian besar masih pada
taraf
ini, yakni diterima oleh masyarakat
Indonesia (umat Islam).[21]
Dari keempat unsur tersebut, agar hukum Islam berfungsi
dalam masyarakat harus ada faktor pendukung, yaitu fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan norma hukum
Islam di tengah-tengah masyarakat.
D. Telaah
Kritis
Paradigma Keilmuan Moderen
dan
Implikasinya
pada Pemikiran Hukum Islam.
Konsep paradigma, pertama
kali dikemukakan
oleh Thomas S. Kuhn (1962) melalui karyanya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolution”.[22]
Secara etimologis, paradigma berasal dari kata-kata
dalam bahasa Yunani yaitu “para”(di samping atau
berdampingan)
dan
“deigma” (contoh). Sedang secara
terminologi, paradigma adalah pedoman
(contoh)
yang dipakai untuk menunjukkan sistem pemikiran, bentuk kasus
dan pola pemecahannya.[23]
Prinsip-prinsip dasar paradigma sains yang dimaksud adalah obyektif,
empiris,
deskriptif
dan
rasional (logic).[24] Prinsip inilah
yang
kemudian
digunakan sebagai jaminan kebenaran bagi paradigma keilmuan moderen. Untuk lebih jelasnya dapat penulis jabarkan sebagai berikut:
a.
Obyektif, yaitu
bahwa
paradigma keilmuan
moderen merupakan
satu-
satunya ilmu yang otentik, yaitu ilmu yang hanya bersangkut paut dengan
fenomena dan dapat berubah dalam zaman yang lain.[25]
b.
Empiris, yaitu
bahwa
apa yang diterima
oleh paradigma keilmuan
moderen hanyalah teori-teori yang
dapat direduksi kepada unsur-unsur
inderawi,walaupun teori-teori itu mungkin melibatkan gagasan-gagasan yang melampaui jangkauan pengalaman
empiris. Paradigma
keilmuan yang berprinsip pada empiris
ini juga selalu menyandarkan
seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati dan dianalisis.[26]
c.
Deskriptif, artinya menggambarkan atau menguraikan sesuatu hal menurut
apa
adanya.[27]
Dalam prinsip ini paradigma keilmuan hanya bisa menjelaskan
sesuatu
sesuai dengan
realitas
obyek yang validitas yang bisa dipertanggungjawabkan.
d.
Rasional (logic),
yaitu
bahwa
paradigma keilmuan moderen itu selalu
bersandar pada nalar dan dalam menguraikan sesuatu berdasarkan urutan pernyataan yang satu dengan pernyataan berikutnya.
Prinsip-prinsip
tersebut masing-masing memiliki indikator yang
menunjukkan adanya pemaduan paradigma
keilmuan moderen
dengan
paradigma hukum
Islam. Konsepsi pemaduan
tersebut beserta indikator- indikatornya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Wahyu, merupakan sumber
utama
pemikiran hukum Islam menempati posisi paling atas
dalam
paradigma hukum
Islam, baik sebagai induktif
maupun deduktif. Sebagai induktif, wahyu dijadikan tempat konsultasi untuk pemikiran hukum, sedang sebagai deduktif, wahyu dijadikan tempat bertolak lalu diturunkan menjadi acuan ijtihad.
b.
Obyektivitas,
adalah prinsip keilmuan moderen yang memandang suatu
pernyataan keilmuan hanya dibuat atas
dasar bukti atau
pada hal-hal yang dapat
diamati, maka
dalam Islam obyektivitas suatu
hukum, setelah berdasarkan
bukti-bukti, ia lebih memiliki
keberpihakan
pada kebenaran
dan
keadilan, bukan pada kepentingan si pemilik bukti- bukti tersebut.
c.
Empiris,
adalah prinsip paradigma keilmuan moderen yang memandang
validitas
suatu
pernyataan sains bergantung pada bukti-bukti pelaksanaan yang sudah
teruji.
d.
Deskriptif, adalah prinsip paradigma keilmuan yang
hanya dapat menjelaskan sesuatu apa adanya
sesuai dengan realitas yang kebenarannya
dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini penting diperhatikan
agar orang
yang melakukan pemaknaan
dapat terhindar dari tekanan-tekanan politis dan psykis
yang mungkin bisa mempengaruhi pengambilan sebuah
putusan hukum. Oleh karena
itu, integritas moral seorang ilmuan dan hakim sangat
menentukan tegaknya supremasi hukum negeri ini.
e.
Logik, adalah prinsip
paradigma keilmuan
moderen yang menekankan
pada urutan
atau runtut suatu pernyataan dengan
pernyataan yang lain sehingga terjadi kesinambungan.
Bagi paradigma hukum Islam,
lahirnya
sebuah produk
hukum
Islam
harus memiliki kesinambungan antara sumber hukum (wahyu) dengan pemikiran hukum (ijtihad), antara kebutuhan hukum masyarakat dengan kemampuan multi-disipliner para mujtahid, dan antara illat hukum yang satu dengan illat hukum yang lain.
Dalam upaya pemaduan paradigma keilmuan
moderen dengan paradigma atau pemikiran hukum Islam, maka penulis menawarkan beberapa solusi pendekatan antara lain:
a.
Pendekatan Historis ialah dengan mempelajari perkembangan metodologi hukum Islam terutama pada masa awal Islam hingga saat ini guna dijadikan gambaran awal dalam istinbath hukum Islam ke depan.
b.
Pendekatan
sosio-kultural
ialah dengan mempelajari aspek-aspek yang
melatarbelakangi lahirnya suatu produk hukum
Islam. Pendekatan ini juga dimaksudkan untuk mempelajari basic cultural setiap mujtahid, karena hal ini sangat mempengaruhi kerangka berfikir dan visi hukum mujtahid
tersebut.
c.
Pendekatan teleologis-filosofis ialah dengan melakukan rekonstruksi kaedah-kaedah hukum
Islam agar tetap sebagai norma hidup umat yang bisa
menjamin keselamatan di dunia dan di akhirat. Rekonstruksi kaedah-kaedah
ini dilakukan secara sistematis,
radikal dan universal agar norma hukum
tersebut terasa sebagai suatu kebutuhan hidup yang hakiki.
d.
Pendekatan
sains, yaitu dengan
melakukan
survei
disipliner
ilmu-ilmu moderen dan analisa khazanah pemikiran hukum Islam sehingga dapat menentukan relevansi pemikiran Islam terhadap disiplin ilmu-ilmu moderen untuk selanjutnya dianalisa dan disintesis, yaitu dengan memadukan antara metode ilmiah dengan metode hukum normatif. Dengan demikian, para mujtahid dan cendekiawan muslim
yang conceren terhadap pemikiran hukum Islam harus memiliki keterbukaan berfikir dengan menghilangkan sikap prejudice
terhadap metodologi keilmuan Barat. Sikap keterbukaan ini akan membawa wawasan yang luas
dan menghindari upaya
kristalisasi terhadap mazhab-mazhab tertentu. Olehnya itu, bagi penulis mazhab-mazhab terdahulu itu hanya dapat
dijadikan sebagai “manhajadi al-fikr”, sedang metodologi keilmuan moderen
dapat dikomparasikan untuk mengembangkan
hukum
Islam di
masa mendatang.
`
BAB III
KESIMPULAN
1.
Ontologi hukum Islam
lebih diarahkan pada pembentukan manusia sebagai
hamba Tuhan dan manusia sebagai
makhluk sosial. Dengan demikian, dari
sisi ontologis,
produk pemikiran hukum Islam tidak mengalami
masalah
yang
serius, juga
belum mempunyai
pengaruh signifikan
dalam upaya transformasi sosial.
2.
Epistemologis
sebenarnya hukum Islam
kaya akan metodologi
penalaran dan pembentukan hukum yang digali dari al-Quran dan Sunnah. Tinjauan epistemologi hukum
Islam, kita mengenal
kurang lebih tujuh metode
yang
digunakan para ulama
mujtahid untuk
menetapkan dan menerapkan pemikiran
hukum Islam, yaitu; Ijma‟,
Qiyas, Maslahah al-Mursalah,
Istihsan, Istishab, dan ‘Urf.
3.
Teori-teori hukum
dibedakan antara empat unsur dalam kondisi hukum sebagi norma (nilai)
antaralain yaitu; norma hukum tersebut berlaku secara filisofis, norma hukum
berlaku secra yuris, ushuliah, norma
hukum berlaku secara legality, qanuniyah,
norma hukum berlaku secara sosiologis, waqiah
ijma’iyah.
4.
Prinsip-prinsip
dasar pemaduan paradigma keilmuan moderen degan pradigma hukum Islam yaitu;
wahyu, objektivitas, empiris, deskriptif, logik.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fighi, Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Abdul Salam, Zarkasyi.
Fiqh-Ushul
Fiqh,
Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat
Islam, 1994
Ahmad, Noor, Efistemologi Syara‟ Mencari Format Baru
Fiqh Indonesia, Cet. I; Yogyakarta: Walisongo Press, 2000.
Arkoun, M, Essais SurLa Pensee Islamique, Cet.I: Bandung; Pustaka, 2000.
Al-Attas,Syed Muhammad Naquib,
Islam and the Philosophy of Science,
Cet,I;
Bandung: Mizan, 1995.
Effendi, Rusli, Teori Hukum, Cet. I; Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1991.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet.V; Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Haq, Hamka, Filsafat Ushul Fiqh, Makassar:
Yayasan Al-Ahkam, 2000.
Hadi Permana, Syechrul, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Cet.I; Jakarta: UI Press, 1999 .
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Kattsoff, Louis O, Elements of Philosophy, Cet. IV; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989 .
Mu‟allim, Amir,
dan
Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Cet. I; Yogyakarta: UII-Press Indonesia, 1999.
Muhaimin, dan Abd.
Mujib,
Pemikiran
Pendidikan Islam,
Kajian Filosofik
dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Cet. I; Bandung: Trigenda Karya, 1993.
Nasution, Andi Hakim, Pengantar ke Filsafat Sains, Cet. I; Bogor: Litera Antar
Nusa, 1989.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Cet.IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Partanto Pius A, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia,Cet. III; Jakart: Raja Grafindo Persada, 1998.
Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam Di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh
Indonesia
Penggagas
dan
Gagasannya, Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Soekamto, Soejono, Kamus Sosiologi, Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1983
Suhartono, Suparlan, Konsep Dasar Filsafat Ilmu Pengetahuan, Ujung Pandang: Program Pascasarjana UNHAS, 1997.
Tim Penulis Rosdakarya, Kamus Filsafat, Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995.
Yafie, Ali, Ke Arah Kontekstualisasi Fiqh,
Jakarta: al-Hikmah, 1994.
[2]Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. III;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 199),
h. 8,
[5]Suparlan
Suhartono, Konsep
Dasar
Filsafat
Ilmu
Pengetahuan (Ujung
Pandang; Pascasarjana UNHAS, 1997), h. 77
[8]Louis O Kattsof, Elements
of Philosophy, terj: Soejono Soemargo “Pengantar
Filsafat” (Cet. IV; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. 193
[9]Amir Mu’allim, dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Islam (Cet. I; Yogyakarta: UII Press
Indonesia, 1999), h. 20
[11]Nor Ahmad, Efistimologi
Syara’ Mencari Format Baru Fiqh Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Walisongo
Press, 2000), h. 7
[12]M, Arkoun, Essais
Surla Pensee Islamique, terj; Hidayatullah “Membedah Pemikiran Islam” (Cet. I; Bandung: Pustaka, 2000), h. 22
[13]Nourozzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya (Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), h. 69
[14]Mohammad Daud Ali, Hukum
Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indnesia (Cet. IV;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 109
[18]Nasrun Rusli, Konsep
Ijtihad al-Syaukani, Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum-Hukum Islam di
Indonesia (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana ILmu, 1999), 35
[21]Syechrul Hadi Permana, Peradilan Agama dan Komplikasi Hukum Islam dalm Tata Hukum Indonesia (Cet.
I; Jakarta: UI Press, 1999), h. 130
[22]Yusriyadi,
Alternatif Pemikiran Tentang Paradigma
Ilmu Hukum Indonesia, dalam “Wajah Hukum di Era Reformasi” (Cet. I Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000), h. 42
[23]Partanto
Pius A, Kamus Ilmia Populer
(Surabaya: Arkola, 1994), h. 566
[24]Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofi dan Kerangka Dasar
Operasionalnya (Cet. I; Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 93
[25]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and The Philosophy of Science, terj; Saiful Muzani “Islam dan Filsafat Sains” (Cet. I;
Bandung: Mizan, 1995), h. 26
[26]Andi hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains (Cet. I; Bogor: Litera Antar Nusa,
1989), h. 21
[27] Partanto Pius A, Kamus Ilmia Populer, (Surabaya: Arkola,
1994), h. 105