Selasa, 13 Juni 2017

sejarah pemikiran islam

BAGIAN PERTAMA
ALIRAN-ALIRAN DAN SEJARAH

Kaum Khawarij
Kaum Khawarij terdiri atas pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisan karena tidak setuju dengan sikap Ali dalam menerima arbitrasi sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sekalipun telah mengalami kekalahan, kaum Khawarij menyusun barisan kembali dan melakukan perlawanan terhadap kekuatan Islam ressmi baik di masa dinasti Bani Umayyah maupun di masa Dinasti Abbasiah. Pemegang-pemegang kekuasaan yang ada pada saat itu dianggap telah menyeleweng dari Islam dan karenanya mesti ditentang dan dijatuhkan.
Kaum Khawarij bersifat lebih demokratis, karena menurut mereka Khalifah harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Menurutnya, yang berhak menjadi khalifah bukanlah anggota suku Quraiy saja tetapi siapa saja yang sanggup asal beragama Islam sekalipun dia hamba sahaya yang berasal dari Afrika. Dalam hubungan ini, khalifah Abu Bakar dan Umar Bin Khattab dapat mereka terima, akan tetapi khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dianggap menyeleweng. Sejak saat itulah, Usman dan Ali dianggap kafir oleh kaum Khawarij. Karena persoalan kafir mengkafirkan inilah yang kemudian menyebabkan munculnya golongan-golongan dalam jiwa Khawarij.
Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus membuat meraka hidup sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi dan keras hati serta berani, bersikap merdeka dan tidak bergantung pada orang lain. Adapun-adapun sekte-sekte yang dimaksud adalah:
1.      Al-Muhakkimah
Golongan ini merupakan golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka, semua yang menyetujui arbitrase tersebut adalah kafir. Selanjutnya kaum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga setiap yang berbuat dosa besar termasuk di dalamnya.
2.      Al-Azariqah
Sesudah golongan Muhakkimah hancur, muncul golongan bari yang disebut al-Azaqirah. Daerahnya terletak di perbatasan Irak dan Iran. Sub sekte ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkamah. Mereka tidak hanya mengaggap kafir tapi langsung menganggap mereka musyrik. Selanjutnya semua orang yang tidak sepaham dengan mereka serta tidak mau hijrah ke dalam lingkungan mereka juga dianggap musyrik. Barang siapa yang datang kedaerah mereka dan ingin bergabung dengan mereka tidak diterima begitu saja, tetapi harus di uji terlebih dahulu. Mereka diserahkan kepada tawanan lalu diperintahkan untuk membunuh tawanan tersebut. Jika ia membunuhnya maka dia akan diterima dengan baik oleh golongan ini. Menurut sub sekte ini, hanya merekalah yang dianggap sebagai orang Islam yang sebenarnya.
3.      Al-Najdat
Al-Najdat ini timbul karena adanya golongan yang tidak sepaham dengan paham al-Azariqat yang memandang orang di luar lingkungannya adalah musyrik. Demikian juga mereka tidak sepaham dengan pendapat tentang halalnya dibunuh anak istri orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Sub sekte ini dipelopori oleh Najdah bin Amir al-Hanafi dari Yamamah. Najdah berlainan dengan kedua golongan di atas. Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar kalau dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakan sendiri menjadi musyrik.
4.      Al-Ajaridah
Golongan al-Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ bin al-Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan. Harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati terbunuh. Selanjutnya mereka berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah, tidak musyrik karena orang tuanya. Diperkembangannya, golongan ini terpecah lagi menjadi beberapa golongan kecil.
5.      Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini adalah Ziad bin al-Asfar. Dalam paham, mereka dekat sama dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena itu mereka juga termasuk dalam golongan yang ekstrim. Hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari pendapat yang lain adalah mereka tidak menganggap anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh. Selanjutnya ridak semua dari mereka beranggapan bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, misalnya ada dosa yang sangsinya di dunia dan ada yang akan diterima di akhirat.
6.      Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari smua golongan Khawarij. Paham moderat mereka dapat dilihat dari dari beberapa ajaran mereka misalnya orang islam yang tidak sepaham dengan mereka tidak mukmin tapi tidak pula musyrik, tetapi kafir. Selanjutnya yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus dikembalikan kepada pemiliknya.


Kaum Murji’ah
Kaum Murji’ah pada mulanya timbul karena persoalan politik. Kaum Murji’ah pada mulanya tidak mau turut campur dalam pertetangan yang terjadi dalam penentuan kafir atau tidaknya orang orang yang bertentangan kepada tuhan. Kaum Murjiah pada mulanya berada dalam rana politik, namun mereka segera berpindah ke rana teologi, kaum murjiah bependapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap muslim, beda dengan kaum khawarij, mereka menganggap orang yang berbuat dosa adalah kafir. Kaum Murji’ah menganggap bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap muslim, ini hanya persoalan perbuatan dunia yang kemudian akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Kaum Murjiah berargumentasi bahwa orang islam yang berbuat dosa besar tetap mengakui bahwa tiada tuhan selain allah dan Muhammad adalah rasulnya. Kaum murjiah menganggap bahwa kafir atau mukminnya seseorang ditentukan dari keyakinan mereka bukan pada berbuatannya.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan kaum Murjiah tidak dapat dijelaskan secara spesisfik, dikarenakan literaturnya yang tidak banyak. Secara garis besar, kaum Murjiah pecah menjadi dua golongan, yaitu:
1.      Golongan moderat
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tidak kafir, tetapi akan di hukum dalam neraka sesuai dengan dosa yang dilakukan dan ada kemungkinan akan diampuni oleh Tuhan. Tokoh golongan moderat adalah Hasan ibn Muhammad Ibn Ali bin Ali Thalib, Abu Hanifah.
2.      Golongan ekstrim
Golongan ekstrim yang dimaksud adalah Al-Jahmiah, pengikut pengikut Jahm Ibn Safwan. Golongan ini berpendapat bahwa orang yang menyatakan kekufuran melalui lisan tidaklah ia kafir karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati, bukan bagian dari tubuh.


Qadariah Dan Jabariah
Menurut ahli teologi Islam, paham Qadariah timbul pertama kali oleh seorang yang bernama Ma’bad al-Juhani. Menurut Ibn Natabah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil paham ini dari seorang kristen yang masuk Islam di Irak. Ghailan terus melanjutkan paham Qadariahnya di Damaskus tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar. Setelah Umar wafat, ia kemudian tetap melanjutkan pahamnya itu.
Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya baik atas kehendak  atau kehendaknya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukannya atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik atas kehendak dan kemauan sendiri. Di sini tidak terdapat paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan manusia dalam perbuatannya hanya bertindak  menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak awal.
Aliran Jabariah merupakan aliran yang sebaliknya dari Qadariah. Aliran Jabariah sepertinya pertama kali ditonjolkan oleh Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Menurut Jahm Ibn Safwan , manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak tersendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dan perbuatannya adalah dipaksa dan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
Kalau seseorang mencuri, maka perbuatan mencurinya itu bukanlah terjadi karena kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Manusia diumpakan sebagai wayang yang dikendalikan oleh dalang. Tanpa gerak dari Tuhan, manusia tidak dapat berbuat apa-apa.


Kaum Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah muncul di Basrah pada abad 2 H. Lahir karena perbedaan pendapat antara Wasil Bin Atha’ dengan gurunya Hasan al-Basri tentang pelaku dosa besar. Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan pula kafir. Menurut Al-Mas’udi, mereka disebut sebagai Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin bukan pula kafir melainkan menempati posisi di antara kedua posisi tersebut (al-manzila baina al-manzilatain).
Aliran pertama yang dibawa oleh Wasil bin Atha’ adalah tentang paham al-manzila bain al-manzilatain. Menurutnya orang yang berdosa besar bukan kafir dan bukan pula mukmin, tetapi fasiq yang menduduki posisi diantara posisi mukmin dan kafir.
Ajaran yang kedua adalah apahan qadariah yang dianjurkan oalh Ma’bad dan Ghailan. Menurut Wasil, Tuhan bersifat bijaksana dan adil. Ia tidak dapat berbuat jahat dan bersifat zalim.
Aliran yang ketiga mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat.
Abu huzail berpendapat bahwa manusia dengan mempergunakan akalnya dapat dan wajib mengetahui Tuhan. Oleh karena itu, jika manusia lalai dalam mengetahui Tuhan, ia wajib diberi ganjaran. Manusia juga mengetahui tentang baik dan buruk. Oleh karena itu, ia wajib mengerjakan perbuatan baik  dan berkata benar dan wajib menjauhi perbuatan buruk seperti berdusta dan bersikap dzalim. Tuhan menciptakan manusia bukan karena ia berhajat pada mereka, tetapi karena nikmat lain. Dan Tuhan tidak menghendaki kecuali hal-hal yang bermanfaat bagi manusia. Dari sinilah timbul satu ajaran lain yang penting dalam aliran Mu’tazilah yakni paham al-salah wa al-aslah, dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik dalam kemaslahatan manusia.
Untuk mengetahui asal usul nama Mu’tazilah dengan sebenarnya memnag cukup sulit. Yang jelas bahwa nam Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam tumbuh sesudah peristiwa Wasil bin Atha’ dengan Hasan al-Basri di Basrah dan lama setelah perang Basrah itu muncul kata-kata I’tazala, al-mu’tazilah. Sedangkan penamaan Mu’tazilah kepada Wasil dan pengikutnya juga tidak jelas. Ada yang mengatakan bahwa golongan lawanlah yang memberikan nama itu kepada mereka. Namun menurut Ibn al-Murtada, kaum Mu’tazilah sendirilah yang memberikan mereka nama itu kepada golongan mereka.
Ajaran pertama yang dibawah oleh Wasil tentulah paham al-manzila baina al-manzilatain.  Ajaran kedua adalah paham Qadariah yang dianjurkan oleh Ma’bad dan Ghalian. Tuhan kata Wasil bersifat bijaksana dan adil. Ia tidak berbuat jahat dan tidak bersifat zalim. Ajaran yang ketiga, wasil mengambil bentuk paniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti apa-apa yang disebut Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat.  
Salah seorang pemuka Mu’tazilah Baghdad adalah Abu Musa al-Murdar. Ia sangat kuat mempertahankan pendapat bahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi diciptakan Tuhan; dan memandang orang yang mengatakn al-Qur’an  qadim menjadi kafir, karena dengan demikian orang semua itu telah membuat yang berifat qadim menjadi dua. Selanjutnya kaum Mu’tazilah membagi sifat Tuhan menjadi dua golongan:
1.      Sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiah
2.      Sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, yang disebut sifat fi’liah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sfat yang mengandung arti hubungan antar Tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak (al-iradah), sabda (kalam), keadilan (al-‘adl), dan sebagainya. Yang disebut dengan sifat esensi umpamanya, wujud (al-wujud), kekekalan di masa lampau (al-qidami), hidup (al-hayah), kekuasaan (al-qudrah).
Dengan demikian yang dimaksud oleh kaum Mu’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan, ia memandang sebagian dari apa yang disebut sifat lain sebagai esensi Tuhan, dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan Tuhan. Paham ini muncul  karena keinginan mereka untuk menjaga murninya Kemahaesaan Tuhan, yang disebut tanzih dalam istilah Arab.




Ahli Sunnah Dan Jama’ah
Term ahli sunnah dan jama’ah ini kelihatannya timbul sebagai redaksi terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usaha itu telah dijelaskan untuk mnyebarkan ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan dalam menentang serangan-serangan musuh Islam. Menurut Ibn al-Murtada, Wasil mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman dan Marroko, dan lain-lain. Paham Mu’tazilah lambat laun terpengaruhi oleh Islam dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan Bani ‘Abbas al-Ma’mun, al-Mu’tasim, dan al-Wasiq.
Bertentangan dengan paham Qadariah yang dianut oleh kaum Mu’tazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berfikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka Mu’tazilah memakai kekerasan dalam usaha menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Ajaran yang dotonjolkan adalah paham nahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim tetapi baru dan diciptakan.Menduakan Tuhan ialah syirk dan itu merupakan dosa besar dan tidak dapat diampuni oleh Tuhan.
 Kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah dan tradisi, bukan karena tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Ahli sunnah dan jamaah adalah golongan yang berpegang pada sunnah dan merupakan kebalikan dari Mu’tazilah. Sebagaimana yang diterangkan oleh Ahmad amin, ahlu sunnah dan jama’ah, berlainan dengan kaum Mu’tazilah percaya pada dan menerima hadis sahih tanpe memilih dan menginterpretasi. Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan oleh Sadr al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al-Muslimin (umumnya orang Islam) dan al-jama’ah al-kasir wa al-sawad al-a’zam (jumlah besar dan khalayak ramai).
Aliran ini muncul setelah lahirnya aliran al-Asy’ari dan al-Maturidi, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Menurut Tasy Kubra Zadah, aliran Ahli sunnah dan Jama’ah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy’ari sekitar tahun 300 H yang awalnya adalah golongan Mu’tazilah. Al-Asy’ari meninggalkan golongannya ketika berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah al-Mutawakkil membatalkan putusan al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara, kedudukan Mu’tazilah menurun, ditambah dengan pemberian penghormatan kepada Ibn Hanbal.
Dalam suasana seperti itu, al-Asy’aari mengeluarkan diri dan menyusun teologi baru yang berpegang teguh pada hadis. Menurut al-Asy’ari, Tuhan bukanlah pengetahun (‘ilm) tapi Yang Mengetahui (‘Alim). Menurutnya Tuhan dapat dilihat di akhirat. Perbuatan-perbuatan manusia bagi al-Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia itu sendiri, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Al-Asy’ari menentang paham keadilan Tuhan yang dibawa oleh Mu’tazilah. Menurutnya, Tuhan berkuasa mutlak dan dan tidak ada satupun yang wajib bagi-Nya. Salah satu penganut al-Asy’ari yang berpengaruh besar adalah ‘Abd al_malik al-Juwaini.
Aliran maturidiah
Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan abad ke dua. Sistem pemikiran beliau termasuk dalam golongan teologiAhli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiah. Ia merupakan pengikut dari Abu Hanifah. Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaannya, sliran Maturidiah pun banyak menggunakan akal dalam sistem teologinya.
Dalam sifat Tuhan terdapat prsamaan antara al-Asy’ari dengan al-Maturidi, yakni Tuhan mempunyai sifat-sifatnya. Tetapi dalam persoalan perbuatan manusia, al-Maturidi sepakat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Mengenai dosa besar, al-maturidi juga sepaham dengan al-Asy’ari bahwa yang bedosa besar masih tetap mukmin dan soal dosanya akan ditentukan di akhirat kelak.
Salah satu pengikut penting dalam al-maturidi ialah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi.  Nenek dari al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi. Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula selamnya sepaham dengan al-Maturidi. Antara pemuka aliran Maturidi juga terdapat perbedaan paham segingga aliran ini terbagi menjadi dua golongan yakni: golongan Samarkand yaitu pengikut al-Maturidi sendir dan golongan Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi.




















BAB KEDUA
ANALISA DAN PERBANDINGAN

Akal Dan Wahyu
 Teologi merupakan ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal sebagai daya berfikir yang ada dalam manusia, berusaha keras untuk sampai pada diri Tuhan, sedangkan wahyu sebai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan da kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
Di dalam buku-buku klasik tentang ilmu kalam, banyak dijumpai bahwa persoalan kekuatan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah yang pertama ialah mengenai Tuhan dan masalah kedua tentang baik dan jahat. Masalah pertama mercabang menjadi mengetaui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah Arab disebut husul ma’rifah Allah dan  wujud ma’rifah Allah. Sedangkan masalah kedua bercabang menjadi mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat. Yang menjadi polemik diantara beberapa aliran teologi yaitu manakah dari masalah di atas yang dapat diperoleh melalui akal dan yang mana melalui wahyu.
Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Baik dan jahat wajib diketahui melalui dengan akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib pula. Menurut al-Syahrastani kaum Mu’tazilah satu dalam pendapat bahwa kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal. Dengan demikian jawaban kaum Mu’tazilah terhadap masalah di atas adalah keempat masalah itu dapat diketahui oleh akal.
Kebalikan dari golongan Mu’tazilah, golongan Asy’ariah menolak sebagian besar pendapat Mu’tazilah. Menurut mereka, segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui memalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan demikian menurut al-Asy’ari akal tak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan.
Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu, tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi manusia. Jika sebelum wahyu turun dan manusia dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifat-Nya dan kemudian percaya kepada-Nya, maka orang demikian adalah mukmin tetapi tidak berhak untuk mendapat upah dari Tuhan.
Paham tentang upah dan hukuman sebelum adanya wahyu yang disebutkan oleh al-Baghdadi, jelas bertentangan dengan paham Mu’tazilah sebagaimana yang diutarakan oleh Abu al-Huzail dan golongan al-Maturidiah. Al-Ghazali juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban itu ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantara wahyu.
Mengenai soal baik dan buruk, al-Ghazali menerangkan bahwa suatu perbuatan disebut baik kalau perbuatan itu sesuai dengan maksud pembuat dan disebut buruk jika  tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Perbuatan baik dalam arti sebenarnya bagi al-Ghazali ialah perbuatan yang sesuai dengan tujuan dimasa depan yaitu di akhirat. Hal ini berarti bahwa tujuan diakhirat hanya dapat diketahui dengan wahyu dan oleh karena itu, apa yang disebut perbuatan baik dan buruk juga dapat diketahui hanya dengan wahyu.
Adapun pendirian al-Syahrastani dari bukunya yang bernama Nihayah al-Iqdam Fi Ilm al-Kalam ia sependapat dengan al-Asy’ari tentang kedua persoalan mengetahui Tuhan kewajiban manusia berterimah kasih kepada Tuhan. Diketahui dari akal dan wahyu. Akal tak akan menentukan baik dan jahat, sedangkan wahyulah yang menjelaskan kepada manusia apa yang baik dan jahat. Dari uraiannya dapat di lihat bahwa pengikut al-Asy’ari terdapat persesuaian paham bahwa akal hanyalah untuk mengetahui wujud tuhan dan soal lainnya dibutuhkan wahyu.
Dalam kitab al-Luma’, al-Asy’ari menulis jika sseorang mengakatakan berdusta adalah jahat karena tuhan menetukan demikian, kita akan jelaskan kepadanya tentu saja dan jika tuhan sekiranya meyatakan perbuatan itu baik maka mestilah itu baik dan jika itu ia wajibkan tidak ada orang yang dapat menentangnya maka dari itu baik dan buruk manusia tidak ditentukan oleh akal tapi wahyulah yang dapat menentukan baik dan buruk manusia.
Al-Syahrastani memberi keterangan yang bersifat umum tidak memberi perincian. Dengan demikian tidak ada sebenarnya pertentangan antara keterangan al-Syahrastani dengan pendapat yang dijelaskan pemuka Asy’ariah diatas. Sebagaimana ia sendiri berpendapat bahwa akal tidak dapat menetukan baik dan buruk.
Berikut uraian perbandingan antara kedua system teologi mu’tazilah dan Asy’ariah seperti di gambarkan oleh akal dan wahyu. Bagi aliran pertama, keempat soal pokok yang diperdebatkan dapat diketahui dengan akal, sedangkan bagi golongan Asy’ariah yang dapat diketahui akal hanyalah wujud Tuhan. Untuk yang lainnya di butuhkan wahyu.
Kalau uraian al-Badzawi, Abu ‘Uzbah dan lain lain memberi keterangan yang jelas tentang pendapat al-Maturidi mengenai soal mengetahi Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, Al-Bazdawi umpamanya, mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk  tetapi al-Bazdawi tidak menjelaskan apakah pendapat itu juga merupakan pendapat al-Maturidi.
Muhammad ‘Abduh juga mengupas soal ini di dalam bukunya Hasyiah ‘ala al-Aqa’id al-Adudiah, yaitu sewaktu ia memberi komentar tentang keterangan al-iji bahwa akal tidak dapat menetukan baik dan buruknya perbuatan. Bagi kaum mu’tazillah dan kaum Maturudiah, perintah dan larangan tuhan erat hubungannya dengan sifat dasar dengan kata lain upah dan hukuman bergantung pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Kaum Asy’ariah berpendapat bahwa baik dan buruknya sesuatu tidak bergantung pada sifat yang ada di dalamnya, tetapi bergantung pada perintah dan larangan Tuhan. Pada akhir komentarnya, Muhammad Abduh menulis; “ Pendapat yang benar ialah apa dikatakan al-syaikh Abu Mansur sungguh pun segolongan kaum yang tidak berakal, seperti kaum Mu’tazillah, kebetulan mempunyai pendapat yang sama. Tetapi Muhammad tidak memberi penjelasan lebih lanjut tentang pendapat al-maturidi yang dianngap benar itu.
Untuk mengetahui pendirian al-Maturidi haruslah diselidiki karangan- karangannya. Akal, kata al-Maturidi mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik, dan pengetahuan inilah yang memastikan adanya perintah dan larangan. Akal selanjutnya memerinyah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa pada kerendahan.
Dengan demikian bagi al-Maturidi akal dapat mengetahui tiga persoalan pokok, sedangkan yang satu lagi yaitu kewajian berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui hanya melalui waktu. Pendapat al-Maturidi di atas dapat diterima oleh pengikutnya di Samarkan akan tetapi pengikutnya di Bukhara mempunyai paham yang sedikit berlainan. Perbedaan ini berkisar pada  persoalan kewajiban mengenai Tuhan.
Akal menurut paham golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban. Alim ulama Bukhara berpendapat bahwa sebelum Rasul-Rasul adanya, percaya pada Tuhan tidaklah diwajibkan dan tidak percaya pada Tuhan bukanlah merupakan dosa.
Semua aliran Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah dengan kedua cabangnya sependapat bahwa akal dapat mengetahui Tuhan. Al-Asy’ariah dan Maturidiah ggolongan Bukhara yang berpendapat bahwa akal tak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih pada Tuhan. Bagi al-Asy’ariah, akal dapat sampai hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan tidak lebih dari pada itu. Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand berpendapat bahwa akal sampai tidak hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan sifat terpujinya pengetahuan demikian tetapi juga kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Tetapi akal, dalam pendapat Maturidiah Samarkand, tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi kejahatan.
Maturidiah Samarkand mengadakan perbedaan antara sifat terpujinya mengenai Tuhan dan berterima kasih kepadan-Nya atas nikmat yang dianugrahkan-Nya dan sifat terpujinya perbuata menjauhi Tuhan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Mu’tazilah memberikan daya yang besar pada akal. Maturidiah Samarkand memberikan daya yang kurang besar dari Mu’tazilah tetapi lebih besar dari pada Maturidiah Bukhara. Aliran Asy’ariahlah yang memberikan daya terkecil kepada akal.


Fungsi Wahyu
Untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya wahyu dalam pendapat Mu’tazilah, tak mempunyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan, wahyu diperlukan. Keadaan akal dpat mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban berteruma kasih kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara tepatnya untuk berterima kasih digambarkan oleh Ibnu Tufail dalam cerita Hayy Ibn Yaqzan.
Mengenai soal baik dan buruk, kaum Mu’tazilah menurut apa yang terkandung dalam keterangan al-Syahraztani, berkeyakinan bahwa akal dapat mengetahui segala apa yang baik buruk. Menurut Hilli, golongan Imamiah dan Mu’tazilah beranggapan bahwa akal dapat mengetahui sebagian apa yang baik dan sebagian apa yang buruk. Bagi kaum Mu’tazilah, tidak semua yang baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Untuk mengetahui itu akal memerlukan bantuan wahyu. Selanjutnya wahyu menurut kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusi di akhirat. Abdul Jabbar mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain. Wahyulah yang akan memberikan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh oleh manusia di akhirat.
Fungsi selanjuutnya dari wahyu menurut as-Syahrastani, ialah mengingatkan manusia akan kelalaian mereka dan memperpendek jarak untuk mengetahui Tuhan. Jadi akal telah mengetahui tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiiban pada Tuhan. Sedangkan wahyu datang untuk mengingatkan manusia pada kewajiban tersebut. Jadi menurut Mu’tazilah, wahyu lebih berfungsi sebagai alat konfirmasi daripada informasi.
Menurut aliran Asy’ariah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali. Wahyu menentukan segala hal. Sekiranya wahyu tidak ada, manusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya dan sebagai akibatnya masyarakat akan berada dalam kekacauan. Wahyu diperlukan untuk mengatur masyarakat menurut Asy’ariah. Salah satu fugsi wahyu adalah memberikan tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Aliran Maturidiah Samarkand menganggap bahwa wahyu sebagai alat untuk mengetahui yang baik dan buruk sedangkan menurut Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa wahyu hanya perlu untuk mengetahui kewajiban manusia.
Dalam system teologi, yang memberikan daya terbesar kepada akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan. Akan tetapi yang memberikan daya terkecil kepada akal dan terbesar pada wahyu, manusi dipandang lemah dan tidak merdeka.


Free Will Dan Predestination
Kaum Mu’tazilah, karena dalam gaya teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu menganut paham qadariah atau free will. Dan memang mereka juga disebut kaum Qadariah. Al-Jubba’i menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh pada Tuhan ayas kehendak dan kemauan sendiri. ‘Abd al-Jabbar menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya ialah bahwa Tuahn menciptakan daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah bergantung wujud perbuatan itu, dan bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah di buat manusia. Sehingga jelas bahwa bagi kaum Mu’tazilah daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia.
Pindah pada aliran Asy’Ariah, manusia dipandang lemah. Kaum Asy’ariah dalam hal ini lebih dekat pada paham jabariah daripada ke paham Mu’tazilah. Untuk mengagambarkan hubungan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan, Asy’ariah menggunakan kata al-kasb (pembolehan). Dari uraian al-Asy’ariah jelaslah bahwa arti “Tuhan menciptakan perbuatan-perbuatan manusia” adalah Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia. Dan arti “timbulnya perbuatan-perbuatan dari manusia  dengan perantara daya yang diciptakan” adalah manusia sebenarnya mempunyai tempat bagi perbuatan-perbuatan Tuhan.”
Mengenai daya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan, al Asy-ariah berpendapat bahwa daya itu adalah lain dari diri manusia sendiri, karena diri manusia terkadang berkuasa dan kadang tidak berkuasa. Keterangan Asy’ariah ini juga mengandung arti bahwa daya untuk berbuat sesuatu bukanlah daya manusia, tetapi daya Tuhan. Dan dalam menyerang kaum Qadariah, al-Asy’ariaah memang menantang pendapat mereka dalam hal ini. Dalam paham Qadariah, daya untuk berbuat adalah daya manusia sendiri dan bukan daya Tuhan. Al-Asy’ari berpendapat sebaliknya, yaitu paham bahwa daya untuk berbuat adalah daya Tuahn dan bukan daya manusia.
Menurut golongan Maturidiah perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Dalam hubungan ini, al-Maturudi sebagai pengikut Abu Hanifah menyebut dua perbuatan yakni perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan jadi tidak sebelum perbuatan seperti dikatakan kaum Mu’tazilah. Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Al-Maturidi menyebutkan daya yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu merupakan daya manusia, seperti yang dijelaskan Mu’tazilah ataukah daya Tuhan seperti yang disebut oleh Asy’ariah.
Mengenai soal kehendak, keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti bahwa kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Meskipun demikian, di dalam pendapat aliran Maturidiah, baik golongan Samarkand maupun Bukhara berpendapat bahwa kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa  perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. Dengan demikian kehendak dan daya berbuat bagi al-Maturidi adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaan lain yang terdapat antara paham al-Maturidi dan Mu’tazilah bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan yang bersangkutan. Daya yang demikian kelihatannya lebih kecil dari daya yang ada dalam paham Mu’tazilah.
Adapun golongan Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa kehendak berbuat adalah sama dengan kehendak yang terdapat dalam paham golongan Samarkand. Kebebasan kehendak bagi mereka hanyalah kebebasan untuk berbuat tidak dengan kerelaan hati Tuhan. Menurutnya, daya dan perbuatan diciptakan bersama-sama.
Sesungguhpun dalam paham Qadariah atau Mu’tazilah manusia bebas dalam berkehendak dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan manusia dibatasi oleh hal-hal yang tidak dapat dikuasai manusia sendiri, misalnya saja manusia dating ke dunia ini bukanlahatas kemauan dan kekuasaannya. Perbuatan dan kekuasaan manusia ini dibatasi oleh hokum alam. Hukum alam ini tidak dapat diubah oleh manusia. Manusi harus tunduk dan patuh pada hukum alam itu. Kebebasan manusia hanyalah memilih hokum alam manakah yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan karena paham Qadariah bisa disalahartikan bahwa manusia adalah bebas sebebas-bebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hokum alam itu sendiri pada dasarnya adalah kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tidak dapat ditentang dan dilawan manusia.


Kekuasaan Dan Kehendak Mutlak Tuhan
Sebagai akibat dari adanya perbedaan paham yang terdapat dalam aliran teologi Islam mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya, maka terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Al-Asy’ari dalam bukunya al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun dalam artian di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yangboleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Al-Dawwani mengatakan bahwa tuhan adalah Maha Pemilik yang bersifat absolute dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tak seorangpun  dapat mencela perbuatan-Nya. Kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan yang digambarkan dapat pula dilihat dari paham kaum Asy’ariah bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat terpikul pada diri manusia, dan dari keterangan al-Asy-ari sendiri bahwa sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, naka pastinya berdusta adalah baik bukan buruk.
Kaum Mu’tazilah sendiri berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidaklah bersifat mutlak lagi. Kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Kekuasaan mutlak itu juga telah dibatasi oleh sifat keadilan Tuhan. Kekuasaan mutlak itu juga dibatasi oleh hukum alam (sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan. Al-Jahiz mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur sendiri yang yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-masing. kaum Mu’tazilah percaya bahwa hukum alam atau sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut paham determinisme.
Kaum Maturidiah Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Menurut al-Bazdawi, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentuakan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang Tuhan, tidak ada larangan-larangan terhadap Tuhan. Sedangkan Maturidiah Samarkand tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan Mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak Tuhan.


Keadilan Tuhan
Kaum Mu’tazilah karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusi, mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Dalam paham Mu’tazilah semua makhluk lainnya diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Mereka selanjutnya berpendapat bahwa manusia yang berakal sempurna, kalau berbuat sesuatu harus dengan tujuan. Kaum Mu’tazilah berkeyakinan bahwa wujud ini diciptakan untuk manusia sebagai makhluk tertinggi dan oleh karena itu mereka mempunyai kecenderungan untuk melihat segala-galanya dari sudut kepentingan manusia.
Kaum Asy’ariah karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi yang sebaliknya. Mereka menolaknya paham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka, perbuatan Tuhan tidak mempunyi tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kebaikan dan keuntungan itu, tetapi pengetahuan maupun kebaikan serta keuntungan-keuntungan itu tidak menjadi pendorong bagi Tuhan unutk berbuat.
Dalam hal ini, golongan Maturidiah Bukhara mempunyai sikap yang sama dengan Asy’ariah. Menurut al-Bazdawi, tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat atas kehendak diri-Nya. Kaum Maturidiah Samarkand karena menganut paham free will dan free act, serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang sangat dengat kepada kaum Mu’tazilah dari pada kaum Asy’ariah. Tetapi tendensi golongan ini untuk meninjau wujud dari sudut kepentingan manusia lebih kecil dari tendensi kaum Mu’tazilah.
Paham kewajiban bagi kaum Mu’tazilah mengandung arti kewajiban-kewajiban yang harus dihormati Tuhan. Keadilan bukan hanya berarti memberi upah kepada yang berbuat baik dan memberi hukuman kepada yang berbuat salah. Keadilan menghendaki agar Tuhan melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kaum Asy’ariah memberikan interpretasi yang berlainan dengan interpretasi Mu’tazilah. Kaum Asy’ariah mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaanmutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya kerajaan-Nya.
Keadilan kaum Asy’ariah ialah keadilan mutlak raja absolute yang member hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan kecuali kekuasaannya sendiri. Keadilan kaum Mu’tazilah adalah keadilan raja konstitusional yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum, sekalipun hukum itu adalah buatannya sendiri. Kaum Maturidiah Bukhara mengambil posisi yang lebih dekat dengan kaum Asy’ariah dalam hubungan ini, sedangkan golongan Samarkand mengambil posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah.


Perbuatan-Perbuatan Tuhan
1.      Kewajiban Tuhan Terhadap Manusia
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam suatu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Paham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban timbul akibat dari konsep kaum Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan dan berjalan sejajar dengan pahamadanya batasan-batasn bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Kaum Asy’ariah menolak paham Tuhan memiliki kewajiban karena bertentangan dengan paham yang mereka anut. Kaum Maturidiah Bukhara sepaham dengan kaum Asy’ariah. Golongan Maturidiah Samarkand memberikan batasan-batasan kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan dapat menerima bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban.
2.      Berbuat Baik Dan Terbaik
Term berbuat baik dan terbaik bagi manusia terkenal sebagai term dari Mu’tazilah dan yang dimaksud adalah kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan  yeng terbaik bagi manusia. Bagi kaum Asy’ariah paham ini tidak dapat diterima karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kaum Maturidiah pun tidak sepaham dengan golongan Mu’tazilah tentang hal ini.
3.      Beban Di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan paham berbuat baik dan terbaik bagi manusia.  Oleh karenanya kaum Mu’tazilah tidak menerima paham ini karena bertentangan dengan paham mereka tentang keadilan Tuhan. Kaum Asy’ariah menerima paham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Kaum Maturidiah Bukhara hampir sependapat dengan Asy’ariah soal kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sedangkan golongan Maturidiah Samarkand mengambil posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah.
4.      Pengiriman Rasul-Rasul
Pengiriman rasul-rasul memiliki arti yang penting bagi golongan Asy’ariah karena mereka sangat bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam ghaib, nbahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan manusia. Bagi kaum Asy’ariah pengiriman rasul-rasul memiliki sifat yang wajib, sedangkan bagi kaum Mu’tazilah tidaklah memiliki sifat yang wajib. Kaum Maturidiah Bukhara mengangap pengiriman rasul-rasul ini sebagai hal yang tidak bersifat wajib, tetapi hanya bersifat mungkin. Sedangkan golongan Samarkand, adanya kewajiban Tuhan memang dapat diterima dalam teolog mereka.
5.      Janji Dan Ancaman
Janji dan ancaman ini merupakan hal dasar menurut kaum Mu’tazilah karena berkenaan dengan keadilan Tuhan. Bagi kaum Asy’ariah paham ini tidak sejalan dengan tidak adanya kewajiban Tuhan. Tuhan tidak memiliki kewajiban untuk menepati janjinya. Kaum Maturidiah Bukhara dalam hal ini tidak sepenuhnya sepaham dengan Asy’ariah. Dalam pendapatnya, tidak mungkin Tuhan mengingkari janjinya untuk memberi upah pada orang yang berbuat baik. Golongan Smarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sma dengan kaum Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa upah dan hukum Tuhan tidak boleh tidakterjadi kelak.


Sifat-Sifat Tuhan
1.      Sifat Tuhan pada Umumnya
Pertentangan paham antara Mu’tazilah dengan Asy’ariah berkisar sekitar apakah Tuhan memiliki sifat-sifat atau tidak. Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Menurutnya Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Kaum Asy’ariah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan kaum Mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Al-Asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatannya. Kaum Mu’tazilah karena tidak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak yang mempunyai batas-batas tertentu, dapat menerima paham bahwa Tuhan tidak memiliki sifat.
Kaum Maturidiah Bukhara  karena juga mempertahankan kekuasaan kemutlakan Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Menurut mereka, sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri. Golongan Samarkand dalam hal ini sepertinya kurang sepakat dengan Mu’tazilah karena al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.
2.      Anthropomorphisme
Karena Tuhan bersifat immateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Kaum Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan akal, menganut paham ini. Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus di beri interpretasi lainnya. Kaum Asy’ariah juga tidak menerima anthropomorphisme dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Sungguhpun demikian mereka tetap mengatakan bahwa Tuhan sebagimana yang disebut dalam al-Qur’an memiliki mata, muka, tangan dan sebagainya akan tetapi tidak sama dengan yang dimiliki manusia. Kaum Maturidiah Bukhara dalam hal ini tidak sepaham dengan kaum Asy’ariah. Tangan tuhan menurut al-Bazdawi merupakan sifat dan bukan merupakan anggota tubuh Tuhan. Menurut al-Maturidi, yang dimaksud dengan tangan, muka, mata dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.
3.      Melihat Tuhan
Menurut kaum Mu’tazilah karena Tuhan bersifat immaterial, sehingga Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Kaum Asy’ariah berpendapat sebaliknya, mereka beranggapan bahwa Tuhan akan dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti. Paham ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum, sesungguhpun sifat itu tidak sama dengan manusia yang ada dalam alam materi ini. Menurut al-Asy’ari yang tidak dapat dilihat yang tidak mempunyai wujud, sedangkan Tuhan berwujud sehingga dapat dilihat kelak. Kaum Maturidi sepaham dengan kaum Asy’ariah tentang paham melihat Tuhan. Ini dengan alasan yang sama.
4.      Sabda Tuhan
Jika sabda merupakan sifat, sabda mesti kekal, tetapi sebaliknya sabda adalah tersusun dan oleh karena itu mesti diciptakan dan tidak bisa kekal. Kaum Mu’tazilah menyelesaikan persoalan sabda Tuhan ini dengan mengatakan bahwa sabda bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Olehnya itu, al-Qur’an bukanlah bersifat kekal, tetapi bersifat baharu atau diciptakan. Kaum Asy’ariah berpegang keras bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Untuk mengatasi persoalan bahwa sabda yang tersusun tidak bisa bersifat kekal, mereka member defenisi lain tentang sabda. Sabda bagi Asy’ariah adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun.




Konsep Iman
Konsep iman langsung dipengaruhi oleh teori mengenai kekuatan akal dan fungsi wahyu. Dalam aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa mempunyai arti pasif. Iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq, yaitu menerima apa yang dikatakan atau disampaikan orang sebagai yang benar. Kaum Mu’tazilah menganggap iman bukanlah tasdiq. Daniman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut ‘Abd al-Jabbar, orang yang tahu tuhan tetapi melawan kepada-Nya bukanlah orang yang mukmin. Dengan demikian, iman bukanlah tasdiq atau ma’rifat tetapi ‘amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan.
Bagi kaum Asy’ariah, dengan kayakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak isa merupakan ma’rifat atau ‘amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia, bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran berita ini. Iman bagi Asy’ariah adalah tasdiq, dan batasan iman, sebagai diberikan al-Asy’ariah ialah al-tasdiq bi Allah.
Kaum Maturidiah Bukhara mempunyai paham yang sama dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah. Sejalan dengan pendapat mereka bahwa akal tidak sampai pada kewajiban menegtahui adanya Tuhan. Bagi kaum Maturidiah Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar