BAGIAN PERTAMA
ALIRAN-ALIRAN DAN SEJARAH
Kaum Khawarij
Kaum Khawarij terdiri atas
pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisan karena tidak setuju
dengan sikap Ali dalam menerima arbitrasi sebagai jalan untuk menyelesaikan
persengketaan tentang khilafah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sekalipun telah
mengalami kekalahan, kaum Khawarij menyusun barisan kembali dan melakukan
perlawanan terhadap kekuatan Islam ressmi baik di masa dinasti Bani Umayyah
maupun di masa Dinasti Abbasiah. Pemegang-pemegang kekuasaan yang ada pada saat
itu dianggap telah menyeleweng dari Islam dan karenanya mesti ditentang dan
dijatuhkan.
Kaum Khawarij bersifat lebih
demokratis, karena menurut mereka Khalifah harus dipilih secara bebas oleh
seluruh umat Islam. Menurutnya, yang berhak menjadi khalifah bukanlah anggota
suku Quraiy saja tetapi siapa saja yang sanggup asal beragama Islam sekalipun
dia hamba sahaya yang berasal dari Afrika. Dalam hubungan ini, khalifah Abu
Bakar dan Umar Bin Khattab dapat mereka terima, akan tetapi khalifah Usman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib dianggap menyeleweng. Sejak saat itulah, Usman dan
Ali dianggap kafir oleh kaum Khawarij. Karena persoalan kafir mengkafirkan
inilah yang kemudian menyebabkan munculnya golongan-golongan dalam jiwa
Khawarij.
Kaum Khawarij pada umumnya
terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus
membuat meraka hidup sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi dan keras
hati serta berani, bersikap merdeka dan tidak bergantung pada orang lain.
Adapun-adapun sekte-sekte yang dimaksud adalah:
1.
Al-Muhakkimah
Golongan ini merupakan golongan Khawarij asli
dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka, semua yang menyetujui
arbitrase tersebut adalah kafir. Selanjutnya kaum kafir ini mereka luaskan
artinya sehingga setiap yang berbuat dosa besar termasuk di dalamnya.
2.
Al-Azariqah
Sesudah golongan Muhakkimah hancur, muncul
golongan bari yang disebut al-Azaqirah. Daerahnya terletak di perbatasan Irak
dan Iran. Sub sekte ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkamah. Mereka tidak
hanya mengaggap kafir tapi langsung menganggap mereka musyrik. Selanjutnya
semua orang yang tidak sepaham dengan mereka serta tidak mau hijrah ke dalam
lingkungan mereka juga dianggap musyrik. Barang siapa yang datang kedaerah
mereka dan ingin bergabung dengan mereka tidak diterima begitu saja, tetapi
harus di uji terlebih dahulu. Mereka diserahkan kepada tawanan lalu
diperintahkan untuk membunuh tawanan tersebut. Jika ia membunuhnya maka dia
akan diterima dengan baik oleh golongan ini. Menurut sub sekte ini, hanya
merekalah yang dianggap sebagai orang Islam yang sebenarnya.
3.
Al-Najdat
Al-Najdat ini timbul karena adanya golongan
yang tidak sepaham dengan paham al-Azariqat yang memandang orang di luar
lingkungannya adalah musyrik. Demikian juga mereka tidak sepaham dengan
pendapat tentang halalnya dibunuh anak istri orang-orang Islam yang tidak
sepaham dengan mereka. Sub sekte ini dipelopori oleh Najdah bin Amir al-Hanafi
dari Yamamah. Najdah berlainan dengan kedua golongan di atas. Dosa kecil
baginya akan menjadi dosa besar kalau dikerjakan terus menerus dan yang
mengerjakan sendiri menjadi musyrik.
4.
Al-Ajaridah
Golongan al-Ajaridah bersifat lebih lunak
karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai
diajarkan oleh Nafi’ bin al-Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan.
Harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati
terbunuh. Selanjutnya mereka berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah, tidak
musyrik karena orang tuanya. Diperkembangannya, golongan ini terpecah lagi
menjadi beberapa golongan kecil.
5.
Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini adalah Ziad bin al-Asfar.
Dalam paham, mereka dekat sama dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena itu
mereka juga termasuk dalam golongan yang ekstrim. Hal yang membuat mereka
kurang ekstrim dari pendapat yang lain adalah mereka tidak menganggap anak-anak
kaum musyrik boleh dibunuh. Selanjutnya ridak semua dari mereka beranggapan
bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Ada diantara mereka yang
membagi dosa besar dalam dua golongan, misalnya ada dosa yang sangsinya di
dunia dan ada yang akan diterima di akhirat.
6.
Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling
moderat dari smua golongan Khawarij. Paham moderat mereka dapat dilihat dari
dari beberapa ajaran mereka misalnya orang islam yang tidak sepaham dengan
mereka tidak mukmin tapi tidak pula musyrik, tetapi kafir. Selanjutnya yang
boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus
dikembalikan kepada pemiliknya.
Kaum Murji’ah
Kaum Murji’ah pada mulanya
timbul karena persoalan politik. Kaum Murji’ah pada mulanya tidak mau turut
campur dalam pertetangan yang terjadi dalam penentuan kafir atau tidaknya orang
orang yang bertentangan kepada tuhan. Kaum Murjiah pada mulanya berada dalam
rana politik, namun mereka segera berpindah ke rana teologi, kaum murjiah
bependapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap muslim, beda dengan kaum
khawarij, mereka menganggap orang yang berbuat dosa adalah kafir. Kaum Murji’ah
menganggap bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap muslim, ini hanya
persoalan perbuatan dunia yang kemudian akan dimintai pertanggungjawaban di
hari akhir kelak. Kaum Murjiah berargumentasi bahwa orang islam yang berbuat
dosa besar tetap mengakui bahwa tiada tuhan selain allah dan Muhammad adalah
rasulnya. Kaum murjiah menganggap bahwa kafir atau mukminnya seseorang
ditentukan dari keyakinan mereka bukan pada berbuatannya.
Sejarah pertumbuhan dan
perkembangan kaum Murjiah tidak dapat dijelaskan secara spesisfik, dikarenakan literaturnya
yang tidak banyak. Secara garis besar, kaum Murjiah pecah menjadi dua golongan,
yaitu:
1.
Golongan moderat
Golongan
moderat berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tidak kafir, tetapi
akan di hukum dalam neraka sesuai dengan dosa yang dilakukan dan ada
kemungkinan akan diampuni oleh Tuhan. Tokoh golongan moderat adalah Hasan ibn
Muhammad Ibn Ali bin Ali Thalib, Abu Hanifah.
2.
Golongan ekstrim
Golongan ekstrim yang
dimaksud adalah Al-Jahmiah, pengikut pengikut Jahm Ibn Safwan. Golongan ini
berpendapat bahwa orang yang menyatakan kekufuran melalui lisan tidaklah ia
kafir karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati, bukan bagian dari
tubuh.
Qadariah
Dan Jabariah
Menurut
ahli teologi Islam, paham Qadariah timbul pertama kali oleh seorang yang
bernama Ma’bad al-Juhani. Menurut Ibn Natabah, Ma’bad al-Juhani dan temannya
Ghailan al-Dimasyqi mengambil paham ini dari seorang kristen yang masuk Islam
di Irak. Ghailan terus melanjutkan paham Qadariahnya di Damaskus tetapi
mendapat tantangan dari khalifah Umar. Setelah Umar wafat, ia kemudian tetap
melanjutkan pahamnya itu.
Menurut
Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya baik atas kehendak atau kehendaknya sendiri dan manusia sendiri
pula yang melakukannya atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan
dayanya sendiri. Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia
berbuat baik atas kehendak dan kemauan sendiri. Di sini tidak terdapat paham
yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan
manusia dalam perbuatannya hanya bertindak
menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak awal.
Aliran
Jabariah merupakan aliran yang sebaliknya dari Qadariah. Aliran Jabariah
sepertinya pertama kali ditonjolkan oleh Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang
menyiarkannya adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Menurut Jahm Ibn Safwan ,
manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, manusia tidak
mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak tersendiri dan tidak mempunyai
pilihan, manusia dan perbuatannya adalah dipaksa dan tidak ada kekuasaan,
kemauan dan pilihan baginya.
Kalau
seseorang mencuri, maka perbuatan mencurinya itu bukanlah terjadi karena
kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki
demikian. Manusia diumpakan sebagai wayang yang dikendalikan oleh dalang. Tanpa
gerak dari Tuhan, manusia tidak dapat berbuat apa-apa.
Kaum
Mu’tazilah
Aliran
Mu’tazilah muncul di Basrah pada abad 2 H. Lahir karena perbedaan pendapat
antara Wasil Bin Atha’ dengan gurunya Hasan al-Basri tentang pelaku dosa besar.
Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan pula
kafir. Menurut Al-Mas’udi, mereka disebut sebagai Mu’tazilah karena mereka
berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin bukan pula kafir melainkan
menempati posisi di antara kedua posisi tersebut (al-manzila baina
al-manzilatain).
Aliran
pertama yang dibawa oleh Wasil bin Atha’ adalah tentang paham al-manzila
bain al-manzilatain. Menurutnya orang yang berdosa besar bukan kafir dan
bukan pula mukmin, tetapi fasiq yang menduduki posisi diantara posisi mukmin dan
kafir.
Ajaran
yang kedua adalah apahan qadariah yang dianjurkan oalh Ma’bad dan Ghailan.
Menurut Wasil, Tuhan bersifat bijaksana dan adil. Ia tidak dapat berbuat jahat
dan bersifat zalim.
Aliran
yang ketiga mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa
apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud
tersendiri di luar zat.
Abu
huzail berpendapat bahwa manusia dengan mempergunakan akalnya dapat dan wajib
mengetahui Tuhan. Oleh karena itu, jika manusia lalai dalam mengetahui Tuhan,
ia wajib diberi ganjaran. Manusia juga mengetahui tentang baik dan buruk. Oleh
karena itu, ia wajib mengerjakan perbuatan baik
dan berkata benar dan wajib menjauhi perbuatan buruk seperti berdusta
dan bersikap dzalim. Tuhan menciptakan manusia bukan karena ia berhajat pada
mereka, tetapi karena nikmat lain. Dan Tuhan tidak menghendaki kecuali hal-hal
yang bermanfaat bagi manusia. Dari sinilah timbul satu ajaran lain yang penting
dalam aliran Mu’tazilah yakni paham al-salah wa al-aslah, dalam arti
Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik dalam kemaslahatan
manusia.
Untuk mengetahui asal usul
nama Mu’tazilah dengan sebenarnya memnag cukup sulit. Yang jelas bahwa nam
Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal
dalam Islam tumbuh sesudah peristiwa Wasil bin Atha’ dengan Hasan al-Basri di
Basrah dan lama setelah perang Basrah itu muncul kata-kata I’tazala,
al-mu’tazilah. Sedangkan penamaan Mu’tazilah kepada Wasil dan pengikutnya
juga tidak jelas. Ada yang mengatakan bahwa golongan lawanlah yang memberikan
nama itu kepada mereka. Namun menurut Ibn al-Murtada, kaum Mu’tazilah
sendirilah yang memberikan mereka nama itu kepada golongan mereka.
Ajaran pertama yang dibawah
oleh Wasil tentulah paham al-manzila
baina al-manzilatain. Ajaran
kedua adalah paham Qadariah yang dianjurkan oleh Ma’bad dan Ghalian. Tuhan kata
Wasil bersifat bijaksana dan adil. Ia tidak berbuat jahat dan tidak bersifat
zalim. Ajaran yang ketiga, wasil mengambil bentuk paniadaan sifat-sifat Tuhan
dalam arti apa-apa yang disebut Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai
wujud tersendiri di luar zat.
Salah
seorang pemuka Mu’tazilah Baghdad adalah Abu Musa al-Murdar. Ia sangat kuat
mempertahankan pendapat bahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi
diciptakan Tuhan; dan memandang orang yang mengatakn al-Qur’an qadim menjadi kafir, karena dengan
demikian orang semua itu telah membuat yang berifat qadim menjadi dua. Selanjutnya
kaum Mu’tazilah membagi sifat Tuhan menjadi dua golongan:
1.
Sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat
zatiah
2.
Sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, yang
disebut sifat fi’liah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri
dari sifat-sfat yang mengandung arti hubungan antar Tuhan dengan makhluknya,
seperti kehendak (al-iradah), sabda (kalam), keadilan (al-‘adl),
dan sebagainya. Yang disebut dengan sifat esensi umpamanya, wujud (al-wujud),
kekekalan di masa lampau (al-qidami), hidup (al-hayah), kekuasaan
(al-qudrah).
Dengan demikian yang dimaksud
oleh kaum Mu’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan, ia memandang sebagian
dari apa yang disebut sifat lain sebagai esensi Tuhan, dan sebagian lain
sebagai perbuatan-perbuatan Tuhan. Paham ini muncul karena keinginan mereka untuk menjaga murninya
Kemahaesaan Tuhan, yang disebut tanzih dalam istilah Arab.
Ahli Sunnah Dan Jama’ah
Term ahli sunnah dan jama’ah
ini kelihatannya timbul sebagai redaksi terhadap paham-paham golongan
Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam
menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usaha itu telah
dijelaskan untuk mnyebarkan ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yang
dijalankan dalam menentang serangan-serangan musuh Islam. Menurut Ibn
al-Murtada, Wasil mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman dan
Marroko, dan lain-lain. Paham Mu’tazilah lambat laun terpengaruhi oleh Islam
dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan Bani ‘Abbas al-Ma’mun, al-Mu’tasim,
dan al-Wasiq.
Bertentangan dengan paham
Qadariah yang dianut oleh kaum Mu’tazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan dan
kebebasan manusia dalam berfikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka
Mu’tazilah memakai kekerasan dalam usaha menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Ajaran
yang dotonjolkan adalah paham nahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim tetapi baru
dan diciptakan.Menduakan Tuhan ialah syirk dan itu merupakan dosa besar
dan tidak dapat diampuni oleh Tuhan.
Kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang
pada sunnah dan tradisi, bukan karena tidak percaya pada tradisi Nabi dan para
sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis mengandung
sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dipandang sebagai golongan yang
tidak berpegang teguh pada sunnah.
Ahli sunnah dan jamaah adalah
golongan yang berpegang pada sunnah dan merupakan kebalikan dari Mu’tazilah. Sebagaimana
yang diterangkan oleh Ahmad amin, ahlu sunnah dan jama’ah, berlainan dengan kaum
Mu’tazilah percaya pada dan menerima hadis sahih tanpe memilih dan
menginterpretasi. Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang
diberikan oleh Sadr al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al-Muslimin
(umumnya orang Islam) dan al-jama’ah al-kasir wa al-sawad al-a’zam (jumlah
besar dan khalayak ramai).
Aliran ini muncul setelah
lahirnya aliran al-Asy’ari dan al-Maturidi, dua aliran yang menentang
ajaran-ajaran Mu’tazilah. Menurut Tasy Kubra Zadah, aliran Ahli sunnah dan
Jama’ah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy’ari sekitar tahun
300 H yang awalnya adalah golongan Mu’tazilah. Al-Asy’ari meninggalkan
golongannya ketika berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah
al-Mutawakkil membatalkan putusan al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah
sebagai mazhab negara, kedudukan Mu’tazilah menurun, ditambah dengan pemberian
penghormatan kepada Ibn Hanbal.
Dalam suasana seperti itu,
al-Asy’aari mengeluarkan diri dan menyusun teologi baru yang berpegang teguh
pada hadis. Menurut al-Asy’ari, Tuhan bukanlah pengetahun (‘ilm) tapi
Yang Mengetahui (‘Alim). Menurutnya Tuhan dapat dilihat di akhirat.
Perbuatan-perbuatan manusia bagi al-Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia
itu sendiri, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Al-Asy’ari menentang paham keadilan
Tuhan yang dibawa oleh Mu’tazilah. Menurutnya, Tuhan berkuasa mutlak dan dan
tidak ada satupun yang wajib bagi-Nya. Salah satu penganut al-Asy’ari yang
berpengaruh besar adalah ‘Abd al_malik al-Juwaini.
Aliran maturidiah
Abu Mansur
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan abad ke dua. Sistem
pemikiran beliau termasuk dalam golongan teologiAhli Sunnah dan dikenal dengan
nama al-Maturidiah. Ia merupakan pengikut dari Abu Hanifah. Sebagai pengikut
Abu Hanifah yang banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaannya, sliran
Maturidiah pun banyak menggunakan akal dalam sistem teologinya.
Dalam
sifat Tuhan terdapat prsamaan antara al-Asy’ari dengan al-Maturidi, yakni Tuhan
mempunyai sifat-sifatnya. Tetapi dalam persoalan perbuatan manusia, al-Maturidi
sepakat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Mengenai dosa besar, al-maturidi juga sepaham dengan
al-Asy’ari bahwa yang bedosa besar masih tetap mukmin dan soal dosanya akan
ditentukan di akhirat kelak.
Salah
satu pengikut penting dalam al-maturidi ialah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Nenek dari al-Bazdawi adalah murid dari
al-Maturidi. Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula
selamnya sepaham dengan al-Maturidi. Antara pemuka aliran Maturidi juga
terdapat perbedaan paham segingga aliran ini terbagi menjadi dua golongan
yakni: golongan Samarkand yaitu pengikut al-Maturidi sendir dan golongan
Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi.
BAB KEDUA
ANALISA DAN PERBANDINGAN
Akal Dan Wahyu
Teologi merupakan ilmu yang membahas soal
ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan
wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal sebagai
daya berfikir yang ada dalam manusia, berusaha keras untuk sampai pada diri
Tuhan, sedangkan wahyu sebai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada
manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan da kewajiban-kewajiban
manusia terhadap Tuhan.
Di dalam
buku-buku klasik tentang ilmu kalam, banyak dijumpai bahwa persoalan kekuatan
akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang
masing-masing bercabang dua. Masalah yang pertama ialah mengenai Tuhan dan
masalah kedua tentang baik dan jahat. Masalah pertama mercabang menjadi
mengetaui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah Arab disebut
husul ma’rifah Allah dan wujud
ma’rifah Allah. Sedangkan masalah kedua bercabang menjadi mengetahui baik
dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi
perbuatan jahat. Yang menjadi polemik diantara beberapa aliran teologi yaitu
manakah dari masalah di atas yang dapat diperoleh melalui akal dan yang mana
melalui wahyu.
Bagi kaum
Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Baik dan
jahat wajib diketahui melalui dengan akal dan demikian pula mengerjakan yang
baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib pula. Menurut al-Syahrastani kaum
Mu’tazilah satu dalam pendapat bahwa kewajiban mengetahui dan berterima kasih
kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat
diketahui oleh akal. Dengan demikian jawaban kaum Mu’tazilah terhadap masalah
di atas adalah keempat masalah itu dapat diketahui oleh akal.
Kebalikan dari
golongan Mu’tazilah, golongan Asy’ariah menolak sebagian besar pendapat
Mu’tazilah. Menurut mereka, segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui
memalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat
mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib
bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang
mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan
demikian menurut al-Asy’ari akal tak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban
manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan.
Menurut
al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan karena segala kewajiban dapat diketahui
hanya melalui wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu, tidak ada
kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi manusia. Jika sebelum
wahyu turun dan manusia dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifat-Nya dan
kemudian percaya kepada-Nya, maka orang demikian adalah mukmin tetapi tidak
berhak untuk mendapat upah dari Tuhan.
Paham tentang
upah dan hukuman sebelum adanya wahyu yang disebutkan oleh al-Baghdadi, jelas
bertentangan dengan paham Mu’tazilah sebagaimana yang diutarakan oleh Abu
al-Huzail dan golongan al-Maturidiah. Al-Ghazali juga berpendapat bahwa akal
tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban itu ditentukan
oleh wahyu. Dengan demikian kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat
baik dan menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantara wahyu.
Mengenai soal
baik dan buruk, al-Ghazali menerangkan bahwa suatu perbuatan disebut baik kalau
perbuatan itu sesuai dengan maksud pembuat dan disebut buruk jika tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Perbuatan
baik dalam arti sebenarnya bagi al-Ghazali ialah perbuatan yang sesuai dengan
tujuan dimasa depan yaitu di akhirat. Hal ini berarti bahwa tujuan diakhirat
hanya dapat diketahui dengan wahyu dan oleh karena itu, apa yang disebut
perbuatan baik dan buruk juga dapat diketahui hanya dengan wahyu.
Adapun
pendirian al-Syahrastani dari bukunya yang bernama Nihayah al-Iqdam Fi Ilm al-Kalam ia sependapat dengan al-Asy’ari
tentang kedua persoalan mengetahui Tuhan kewajiban manusia berterimah kasih
kepada Tuhan. Diketahui dari akal dan wahyu. Akal tak akan menentukan baik dan
jahat, sedangkan wahyulah yang menjelaskan kepada manusia apa yang baik dan
jahat. Dari uraiannya dapat di lihat bahwa pengikut al-Asy’ari terdapat
persesuaian paham bahwa akal hanyalah untuk mengetahui wujud tuhan dan soal
lainnya dibutuhkan wahyu.
Dalam kitab al-Luma’, al-Asy’ari menulis jika
sseorang mengakatakan berdusta adalah jahat karena tuhan menetukan demikian,
kita akan jelaskan kepadanya tentu saja dan jika tuhan sekiranya meyatakan
perbuatan itu baik maka mestilah itu baik dan jika itu ia wajibkan tidak ada
orang yang dapat menentangnya maka dari itu baik dan buruk manusia tidak
ditentukan oleh akal tapi wahyulah yang dapat menentukan baik dan buruk
manusia.
Al-Syahrastani
memberi keterangan yang bersifat umum tidak memberi perincian. Dengan demikian
tidak ada sebenarnya pertentangan antara keterangan al-Syahrastani dengan
pendapat yang dijelaskan pemuka Asy’ariah diatas. Sebagaimana ia sendiri
berpendapat bahwa akal tidak dapat menetukan baik dan buruk.
Berikut uraian
perbandingan antara kedua system teologi mu’tazilah dan Asy’ariah seperti di
gambarkan oleh akal dan wahyu. Bagi aliran pertama, keempat soal pokok yang
diperdebatkan dapat diketahui dengan akal, sedangkan bagi golongan Asy’ariah
yang dapat diketahui akal hanyalah wujud Tuhan. Untuk yang lainnya di butuhkan
wahyu.
Kalau uraian
al-Badzawi, Abu ‘Uzbah dan lain lain memberi keterangan yang jelas tentang
pendapat al-Maturidi mengenai soal mengetahi Tuhan dan kewajiban berterima
kasih kepada Tuhan, Al-Bazdawi umpamanya, mengatakan bahwa akal tidak dapat
mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal
hanya dapat mengetahui baik dan buruk
tetapi al-Bazdawi tidak menjelaskan apakah pendapat itu juga merupakan
pendapat al-Maturidi.
Muhammad ‘Abduh
juga mengupas soal ini di dalam bukunya Hasyiah
‘ala al-Aqa’id al-Adudiah, yaitu sewaktu ia memberi komentar tentang
keterangan al-iji bahwa akal tidak dapat menetukan baik dan buruknya perbuatan.
Bagi kaum mu’tazillah dan kaum Maturudiah, perintah dan larangan tuhan erat
hubungannya dengan sifat dasar dengan kata lain upah dan hukuman bergantung
pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Kaum Asy’ariah
berpendapat bahwa baik dan buruknya sesuatu tidak bergantung pada sifat yang
ada di dalamnya, tetapi bergantung pada perintah dan larangan Tuhan. Pada akhir
komentarnya, Muhammad Abduh menulis; “ Pendapat yang benar ialah apa dikatakan
al-syaikh Abu Mansur sungguh pun segolongan kaum yang tidak berakal, seperti
kaum Mu’tazillah, kebetulan mempunyai pendapat yang sama. Tetapi Muhammad tidak
memberi penjelasan lebih lanjut tentang pendapat al-maturidi yang dianngap
benar itu.
Untuk
mengetahui pendirian al-Maturidi haruslah diselidiki karangan- karangannya.
Akal, kata al-Maturidi mengetahui
sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang buruk yang terdapat
dalam yang buruk. Dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat buruk adalah
buruk dan berbuat baik adalah baik, dan pengetahuan inilah yang memastikan
adanya perintah dan larangan. Akal selanjutnya memerinyah manusia mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa pada kerendahan.
Dengan demikian
bagi al-Maturidi akal dapat mengetahui tiga persoalan pokok, sedangkan yang
satu lagi yaitu kewajian berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui
hanya melalui waktu. Pendapat al-Maturidi di atas dapat diterima oleh
pengikutnya di Samarkan akan tetapi pengikutnya di Bukhara mempunyai paham yang
sedikit berlainan. Perbedaan ini berkisar pada
persoalan kewajiban mengenai Tuhan.
Akal menurut paham
golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya dapat
mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban. Alim
ulama Bukhara berpendapat bahwa sebelum Rasul-Rasul adanya, percaya pada Tuhan
tidaklah diwajibkan dan tidak percaya pada Tuhan bukanlah merupakan dosa.
Semua aliran
Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah dengan kedua cabangnya sependapat bahwa
akal dapat mengetahui Tuhan. Al-Asy’ariah dan Maturidiah ggolongan Bukhara yang
berpendapat bahwa akal tak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih pada
Tuhan. Bagi al-Asy’ariah, akal dapat sampai hanya kepada pengetahuan adanya
Tuhan dan tidak lebih dari pada itu. Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand
berpendapat bahwa akal sampai tidak hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan
sifat terpujinya pengetahuan demikian tetapi juga kepada kewajiban mengetahui
Tuhan. Tetapi akal, dalam pendapat Maturidiah Samarkand, tidak dapat mengetahui
kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi kejahatan.
Maturidiah
Samarkand mengadakan perbedaan antara sifat terpujinya mengenai Tuhan dan
berterima kasih kepadan-Nya atas nikmat yang dianugrahkan-Nya dan sifat
terpujinya perbuata menjauhi Tuhan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Mu’tazilah
memberikan daya yang besar pada akal. Maturidiah Samarkand memberikan daya yang
kurang besar dari Mu’tazilah tetapi lebih besar dari pada Maturidiah Bukhara.
Aliran Asy’ariahlah yang memberikan daya terkecil kepada akal.
Fungsi Wahyu
Untuk
mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya wahyu dalam pendapat Mu’tazilah, tak
mempunyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan,
wahyu diperlukan. Keadaan akal dpat mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban
berteruma kasih kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara tepatnya untuk berterima
kasih digambarkan oleh Ibnu Tufail dalam cerita Hayy Ibn Yaqzan.
Mengenai soal
baik dan buruk, kaum Mu’tazilah menurut apa yang terkandung dalam keterangan
al-Syahraztani, berkeyakinan bahwa akal dapat mengetahui segala apa yang baik
buruk. Menurut Hilli, golongan Imamiah dan Mu’tazilah beranggapan bahwa akal
dapat mengetahui sebagian apa yang baik dan sebagian apa yang buruk. Bagi kaum
Mu’tazilah, tidak semua yang baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Untuk
mengetahui itu akal memerlukan bantuan wahyu. Selanjutnya wahyu menurut kaum
Mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan
upah yang akan diterima manusi di akhirat. Abdul Jabbar mengatakan bahwa akal
tidak dapat mengetahui tentang upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik
lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain.
Wahyulah yang akan memberikan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh
oleh manusia di akhirat.
Fungsi
selanjuutnya dari wahyu menurut as-Syahrastani, ialah mengingatkan manusia akan
kelalaian mereka dan memperpendek jarak untuk mengetahui Tuhan. Jadi akal telah
mengetahui tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiiban pada Tuhan. Sedangkan wahyu
datang untuk mengingatkan manusia pada kewajiban tersebut. Jadi menurut
Mu’tazilah, wahyu lebih berfungsi sebagai alat konfirmasi daripada informasi.
Menurut aliran
Asy’ariah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali. Wahyu menentukan segala
hal. Sekiranya wahyu tidak ada, manusia akan bebas berbuat apa saja yang
dikehendakinya dan sebagai akibatnya masyarakat akan berada dalam kekacauan.
Wahyu diperlukan untuk mengatur masyarakat menurut Asy’ariah. Salah satu fugsi
wahyu adalah memberikan tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di
dunia. Aliran Maturidiah Samarkand menganggap bahwa wahyu sebagai alat untuk
mengetahui yang baik dan buruk sedangkan menurut Maturidiah Bukhara berpendapat
bahwa wahyu hanya perlu untuk mengetahui kewajiban manusia.
Dalam system
teologi, yang memberikan daya terbesar kepada akal dan fungsi terkecil pada
wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan. Akan tetapi yang
memberikan daya terkecil kepada akal dan terbesar pada wahyu, manusi dipandang
lemah dan tidak merdeka.
Free Will Dan Predestination
Kaum
Mu’tazilah, karena dalam gaya teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya
yang besar lagi bebas, sudah barang tentu menganut paham qadariah atau free
will. Dan memang mereka juga disebut kaum Qadariah. Al-Jubba’i menerangkan
bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik
dan buruk, patuh dan tidak patuh pada Tuhan ayas kehendak dan kemauan sendiri.
‘Abd al-Jabbar menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Tuhan membuat manusia
sanggup mewujudkan perbuatannya ialah bahwa Tuahn menciptakan daya di dalam
diri manusia dan pada daya inilah bergantung wujud perbuatan itu, dan bukanlah
yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah di buat manusia.
Sehingga jelas bahwa bagi kaum Mu’tazilah daya manusialah dan bukan daya Tuhan
yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam
perwujudan perbuatan-perbuatan manusia.
Pindah pada
aliran Asy’Ariah, manusia dipandang lemah. Kaum Asy’ariah dalam hal ini lebih
dekat pada paham jabariah daripada ke paham Mu’tazilah. Untuk mengagambarkan
hubungan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan, Asy’ariah menggunakan
kata al-kasb (pembolehan). Dari
uraian al-Asy’ariah jelaslah bahwa arti “Tuhan menciptakan perbuatan-perbuatan
manusia” adalah Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari
perbuatan-perbuatan manusia. Dan arti “timbulnya perbuatan-perbuatan dari
manusia dengan perantara daya yang
diciptakan” adalah manusia sebenarnya mempunyai tempat bagi perbuatan-perbuatan
Tuhan.”
Mengenai daya
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan, al Asy-ariah berpendapat bahwa daya itu
adalah lain dari diri manusia sendiri, karena diri manusia terkadang berkuasa
dan kadang tidak berkuasa. Keterangan Asy’ariah ini juga mengandung arti bahwa
daya untuk berbuat sesuatu bukanlah daya manusia, tetapi daya Tuhan. Dan dalam
menyerang kaum Qadariah, al-Asy’ariaah memang menantang pendapat mereka dalam
hal ini. Dalam paham Qadariah, daya untuk berbuat adalah daya manusia sendiri
dan bukan daya Tuhan. Al-Asy’ari berpendapat sebaliknya, yaitu paham bahwa daya
untuk berbuat adalah daya Tuahn dan bukan daya manusia.
Menurut
golongan Maturidiah perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Dalam hubungan ini,
al-Maturudi sebagai pengikut Abu Hanifah menyebut dua perbuatan yakni perbuatan
Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya
dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia.
Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan jadi tidak sebelum perbuatan
seperti dikatakan kaum Mu’tazilah. Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia
dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Al-Maturidi menyebutkan daya
yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu merupakan daya
manusia, seperti yang dijelaskan Mu’tazilah ataukah daya Tuhan seperti yang
disebut oleh Asy’ariah.
Mengenai soal
kehendak, keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti bahwa
kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun
untuk kejahatan. Meskipun demikian, di dalam pendapat aliran Maturidiah, baik
golongan Samarkand maupun Bukhara berpendapat bahwa kemauan manusia adalah
sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa
perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas
kehendak manusia. Dengan demikian kehendak dan daya berbuat bagi al-Maturidi
adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam
arti kiasan. Perbedaan lain yang terdapat antara paham al-Maturidi dan
Mu’tazilah bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi
bersama-sama dengan perbuatan yang bersangkutan. Daya yang demikian
kelihatannya lebih kecil dari daya yang ada dalam paham Mu’tazilah.
Adapun golongan
Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa kehendak berbuat adalah sama dengan
kehendak yang terdapat dalam paham golongan Samarkand. Kebebasan kehendak bagi
mereka hanyalah kebebasan untuk berbuat tidak dengan kerelaan hati Tuhan.
Menurutnya, daya dan perbuatan diciptakan bersama-sama.
Sesungguhpun
dalam paham Qadariah atau Mu’tazilah manusia bebas dalam berkehendak dan
berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak.
Kebebasan dan kekuasaan manusia dibatasi oleh hal-hal yang tidak dapat dikuasai
manusia sendiri, misalnya saja manusia dating ke dunia ini bukanlahatas kemauan
dan kekuasaannya. Perbuatan dan kekuasaan manusia ini dibatasi oleh hokum alam.
Hukum alam ini tidak dapat diubah oleh manusia. Manusi harus tunduk dan patuh
pada hukum alam itu. Kebebasan manusia hanyalah memilih hokum alam manakah yang
akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan karena paham Qadariah
bisa disalahartikan bahwa manusia adalah bebas sebebas-bebasnya dan dapat
melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hokum alam itu sendiri pada dasarnya
adalah kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tidak dapat ditentang dan dilawan
manusia.
Kekuasaan Dan Kehendak Mutlak Tuhan
Sebagai akibat
dari adanya perbedaan paham yang terdapat dalam aliran teologi Islam mengenai
kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak
dan perbuatannya, maka terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan.
Al-Asy’ari dalam
bukunya al-Ibanah bahwa Tuhan tidak
tunduk kepada siapapun dalam artian di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang
dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yangboleh dibuat dan apa yang
tidak boleh dibuat Tuhan. Al-Dawwani mengatakan bahwa tuhan adalah Maha Pemilik
yang bersifat absolute dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam
kerajaan-Nya dan tak seorangpun dapat
mencela perbuatan-Nya. Kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan yang digambarkan
dapat pula dilihat dari paham kaum Asy’ariah bahwa Tuhan dapat meletakkan beban
yang tidak dapat terpikul pada diri manusia, dan dari keterangan al-Asy-ari
sendiri bahwa sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, naka
pastinya berdusta adalah baik bukan buruk.
Kaum Mu’tazilah
sendiri berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidaklah bersifat mutlak
lagi. Kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham
Mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan
perbuatan. Kekuasaan mutlak itu juga telah dibatasi oleh sifat keadilan Tuhan.
Kekuasaan mutlak itu juga dibatasi oleh hukum alam (sunnah Allah) yang tidak
mengalami perubahan. Al-Jahiz mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat
dan natur sendiri yang yang menimbulkan efek tertentu menurut natur
masing-masing. kaum Mu’tazilah percaya bahwa hukum alam atau sunnah Allah yang
menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut paham determinisme.
Kaum Maturidiah
Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Menurut al-Bazdawi,
Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentuakan
segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang Tuhan,
tidak ada larangan-larangan terhadap Tuhan. Sedangkan Maturidiah Samarkand
tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan
Tuhan tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan
Mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak Tuhan.
Keadilan Tuhan
Kaum Mu’tazilah
karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusi,
mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari sudut rasio dan kepentingan
manusia. Dalam paham Mu’tazilah semua makhluk lainnya diciptakan Tuhan untuk
kepentingan manusia. Mereka selanjutnya berpendapat bahwa manusia yang berakal
sempurna, kalau berbuat sesuatu harus dengan tujuan. Kaum Mu’tazilah
berkeyakinan bahwa wujud ini diciptakan untuk manusia sebagai makhluk tertinggi
dan oleh karena itu mereka mempunyai kecenderungan untuk melihat segala-galanya
dari sudut kepentingan manusia.
Kaum Asy’ariah
karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi yang
sebaliknya. Mereka menolaknya paham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan
dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka, perbuatan Tuhan tidak mempunyi
tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu.
Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan
keuntungan bagi manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kebaikan dan keuntungan itu,
tetapi pengetahuan maupun kebaikan serta keuntungan-keuntungan itu tidak
menjadi pendorong bagi Tuhan unutk berbuat.
Dalam hal ini,
golongan Maturidiah Bukhara mempunyai sikap yang sama dengan Asy’ariah. Menurut
al-Bazdawi, tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos.
Tuhan berbuat atas kehendak diri-Nya. Kaum Maturidiah Samarkand karena menganut
paham free will dan free act, serta adanya batasan bagi
kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang sangat dengat
kepada kaum Mu’tazilah dari pada kaum Asy’ariah. Tetapi tendensi golongan ini
untuk meninjau wujud dari sudut kepentingan manusia lebih kecil dari tendensi
kaum Mu’tazilah.
Paham kewajiban
bagi kaum Mu’tazilah mengandung arti kewajiban-kewajiban yang harus dihormati
Tuhan. Keadilan bukan hanya berarti memberi upah kepada yang berbuat baik dan
memberi hukuman kepada yang berbuat salah. Keadilan menghendaki agar Tuhan
melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kaum Asy’ariah memberikan
interpretasi yang berlainan dengan interpretasi Mu’tazilah. Kaum Asy’ariah
mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya,
yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta
mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan
demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaanmutlak
terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya kerajaan-Nya.
Keadilan kaum
Asy’ariah ialah keadilan mutlak raja absolute yang member hukuman menurut
kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan kecuali kekuasaannya
sendiri. Keadilan kaum Mu’tazilah adalah keadilan raja konstitusional yang
kekuasaannya dibatasi oleh hukum, sekalipun hukum itu adalah buatannya sendiri.
Kaum Maturidiah Bukhara mengambil posisi yang lebih dekat dengan kaum Asy’ariah
dalam hubungan ini, sedangkan golongan Samarkand mengambil posisi yang lebih
dekat kepada kaum Mu’tazilah.
Perbuatan-Perbuatan Tuhan
1.
Kewajiban Tuhan Terhadap Manusia
Kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia.
Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam suatu kewajiban berbuat baik
dan terbaik bagi manusia. Paham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban timbul akibat
dari konsep kaum Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan dan berjalan sejajar dengan
pahamadanya batasan-batasn bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Kaum Asy’ariah
menolak paham Tuhan memiliki kewajiban karena bertentangan dengan paham yang
mereka anut. Kaum Maturidiah Bukhara sepaham dengan kaum Asy’ariah. Golongan
Maturidiah Samarkand memberikan batasan-batasan kepada kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan dan dapat menerima bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban.
2.
Berbuat Baik Dan Terbaik
Term berbuat
baik dan terbaik bagi manusia terkenal sebagai term dari Mu’tazilah dan yang
dimaksud adalah kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yeng terbaik bagi manusia. Bagi kaum
Asy’ariah paham ini tidak dapat diterima karena bertentangan dengan paham
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kaum Maturidiah pun tidak sepaham dengan
golongan Mu’tazilah tentang hal ini.
3.
Beban Di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban
di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan paham berbuat baik dan
terbaik bagi manusia. Oleh karenanya
kaum Mu’tazilah tidak menerima paham ini karena bertentangan dengan paham
mereka tentang keadilan Tuhan. Kaum Asy’ariah menerima paham pemberian beban di
luar kemampuan manusia. Kaum Maturidiah Bukhara hampir sependapat dengan
Asy’ariah soal kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sedangkan golongan
Maturidiah Samarkand mengambil posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah.
4.
Pengiriman Rasul-Rasul
Pengiriman
rasul-rasul memiliki arti yang penting bagi golongan Asy’ariah karena mereka
sangat bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam ghaib, nbahkan
juga untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan manusia. Bagi
kaum Asy’ariah pengiriman rasul-rasul memiliki sifat yang wajib, sedangkan bagi
kaum Mu’tazilah tidaklah memiliki sifat yang wajib. Kaum Maturidiah Bukhara
mengangap pengiriman rasul-rasul ini sebagai hal yang tidak bersifat wajib,
tetapi hanya bersifat mungkin. Sedangkan golongan Samarkand, adanya kewajiban
Tuhan memang dapat diterima dalam teolog mereka.
5.
Janji Dan Ancaman
Janji dan
ancaman ini merupakan hal dasar menurut kaum Mu’tazilah karena berkenaan dengan
keadilan Tuhan. Bagi kaum Asy’ariah paham ini tidak sejalan dengan tidak adanya
kewajiban Tuhan. Tuhan tidak memiliki kewajiban untuk menepati janjinya. Kaum
Maturidiah Bukhara dalam hal ini tidak sepenuhnya sepaham dengan Asy’ariah.
Dalam pendapatnya, tidak mungkin Tuhan mengingkari janjinya untuk memberi upah
pada orang yang berbuat baik. Golongan Smarkand dalam hal ini mempunyai
pendapat yang sma dengan kaum Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa upah dan
hukum Tuhan tidak boleh tidakterjadi kelak.
Sifat-Sifat Tuhan
1.
Sifat Tuhan pada Umumnya
Pertentangan
paham antara Mu’tazilah dengan Asy’ariah berkisar sekitar apakah Tuhan memiliki
sifat-sifat atau tidak. Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat. Menurutnya Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan,
tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Kaum Asy’ariah membawa penyelesaian yang
berlawanan dengan kaum Mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat. Menurut Al-Asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan
mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatannya. Kaum Mu’tazilah karena tidak
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak yang mempunyai
batas-batas tertentu, dapat menerima paham bahwa Tuhan tidak memiliki sifat.
Kaum Maturidiah
Bukhara karena juga mempertahankan
kekuasaan kemutlakan Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat.
Menurut mereka, sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi
Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri. Golongan Samarkand
dalam hal ini sepertinya kurang sepakat dengan Mu’tazilah karena al-Maturidi
mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.
2.
Anthropomorphisme
Karena Tuhan
bersifat immateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani. Kaum Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan akal, menganut paham ini.
Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani
harus di beri interpretasi lainnya. Kaum Asy’ariah juga tidak menerima
anthropomorphisme dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang
sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Sungguhpun demikian mereka tetap
mengatakan bahwa Tuhan sebagimana yang disebut dalam al-Qur’an memiliki mata,
muka, tangan dan sebagainya akan tetapi tidak sama dengan yang dimiliki
manusia. Kaum Maturidiah Bukhara dalam hal ini tidak sepaham dengan kaum
Asy’ariah. Tangan tuhan menurut al-Bazdawi merupakan sifat dan bukan merupakan
anggota tubuh Tuhan. Menurut al-Maturidi, yang dimaksud dengan tangan, muka,
mata dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.
3.
Melihat Tuhan
Menurut kaum
Mu’tazilah karena Tuhan bersifat immaterial, sehingga Tuhan tidak dapat dilihat
dengan mata kepala. Kaum Asy’ariah berpendapat sebaliknya, mereka beranggapan
bahwa Tuhan akan dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti.
Paham ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum, sesungguhpun sifat itu tidak
sama dengan manusia yang ada dalam alam materi ini. Menurut al-Asy’ari yang
tidak dapat dilihat yang tidak mempunyai wujud, sedangkan Tuhan berwujud
sehingga dapat dilihat kelak. Kaum Maturidi sepaham dengan kaum Asy’ariah
tentang paham melihat Tuhan. Ini dengan alasan yang sama.
4.
Sabda Tuhan
Jika sabda
merupakan sifat, sabda mesti kekal, tetapi sebaliknya sabda adalah tersusun dan
oleh karena itu mesti diciptakan dan tidak bisa kekal. Kaum Mu’tazilah
menyelesaikan persoalan sabda Tuhan ini dengan mengatakan bahwa sabda bukanlah
sifat tetapi perbuatan Tuhan. Olehnya itu, al-Qur’an bukanlah bersifat kekal,
tetapi bersifat baharu atau diciptakan. Kaum Asy’ariah berpegang keras bahwa
sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Untuk mengatasi
persoalan bahwa sabda yang tersusun tidak bisa bersifat kekal, mereka member
defenisi lain tentang sabda. Sabda bagi Asy’ariah adalah arti atau makna
abstrak dan tidak tersusun.
Konsep Iman
Konsep iman
langsung dipengaruhi oleh teori mengenai kekuatan akal dan fungsi wahyu. Dalam aliran-aliran
yang berpendapat bahwa akal dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan, iman
tidak bisa mempunyai arti pasif. Iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq, yaitu menerima apa yang
dikatakan atau disampaikan orang sebagai yang benar. Kaum Mu’tazilah menganggap
iman bukanlah tasdiq. Daniman dalam
arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut ‘Abd al-Jabbar, orang yang tahu
tuhan tetapi melawan kepada-Nya bukanlah orang yang mukmin. Dengan demikian,
iman bukanlah tasdiq atau ma’rifat tetapi ‘amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan.
Bagi kaum
Asy’ariah, dengan kayakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada
kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak isa merupakan ma’rifat atau ‘amal.
Manusia dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu. Wahyulah yang
mengatakan dan menerangkan kepada manusia, bahwa ia berkewajiban mengetahui
Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran berita ini. Iman bagi Asy’ariah
adalah tasdiq, dan batasan iman,
sebagai diberikan al-Asy’ariah ialah al-tasdiq
bi Allah.
Kaum Maturidiah
Bukhara mempunyai paham yang sama dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah. Sejalan
dengan pendapat mereka bahwa akal tidak sampai pada kewajiban menegtahui adanya
Tuhan. Bagi kaum Maturidiah Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq karena bagi mereka akal dapat
sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar