BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Al-Qur’an
bagi kaum muslimin adalah kalamullah.Kitab suci ini memiliki kekuatan luar
biasa yang berada di luar kemampuan apapun. Masyarakat muslim mengawali
eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan merespon dakwah al-Qur’an.
Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan, pemikiran dan
kebudayaan kaum muslimin tentunya akan sulit dipahami.[1]
Al-Qur’an
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ummi merupakan suatu
penghormatan dari Tuhan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw. mengambil
orang-orang yang berkemampuan dibidang menulis untuk menuliskan wahyu yang
diterimanya.
Kendati
diwahyukan secara lisan, al-Qur’an sendiri secara konsisten menyebut sebagai kitab tertulis. Ini memberi
petunjuk bahwa wahyu tersebut tercatat dalam tulisan. Pada dasarnya ayat-ayat
al-Qur’an tertulis sejak awal perkembangan
Islam, meski masyarakat yang baru lahir itu masih menderita dengan berbagai
permasalahan akibat kekejaman yang dilancarkan orang-orang Quraish.
Wahyu
yang diturunkan oleh Allah swt.melalui perantaraan malaikat Jibril, kemudian
didiktekan oleh Nabi kepada para sahabatnya yang saat itu ditunjuk sebagai juru
tulis. Meskipun lebih mengutamakan hafalan, upaya penulisan tersebut tetap
dilakukan dengan menggunakan berbagai media sep; kulit binatang, pelepah pohon
kurma, kulit dan tulang-tulang binatang, serta batu-batu tipis.[2]Dan
untuk memelihara keorisinalan wahyu, Nabi kemudian melarang para sahabatnya
untuk menulis sesuatu darinya selain wahyu.[3]
Setelah
wafatnya Nabi saw. seiring perjalanan waktu karena seringnya terjadi
konfrontasi dengan orang-orang kafir yang menyebabkan tewasnya para penghafal
al-Qur’an, maka muncullah ide untuk membukukan al-Qur’an. Walau sebelumnya
tidak sepakat, akhirnya khalifah Abu Bakar menerima usul tersebut dan kemudian
memerintahkan sahabat Zaid bin Tsabit untuk mengetuai kepanitiaannya. Usaha
penulian al-Qur’an dalam satu mushaf yang menjadi pegangan umat Islam dan
menyatukannya dari berbagai perbedaan dialek bacaan, terlaksana pada masa
pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Beliau yang meletakkan dasar
penulisan al-Qur’an standar, yang
digunakan oleh umat Islam sampai saat ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apapengertian rasm al-Qur’an?
2.
Bagaimana sejarah rasm
al-Qur’an?
3.
Apa pendapat para ulama
tentang rasm al-Qur’an?
4.
Bagaimana perbaikan rasm
al-Qur’an?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui arti rasm
al-Qur’an
2.
Untuk mengetahui sejarah rasm
al-Qur’an
3.
Untuk mengetahui pendapat
para ulama tentang rasm al-Quran
4.
Untuk mengetahui perbaikan
rasm al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rasm al-Qur’an
Rasm
adalah bentuk masdar dari kata rasama-yarsumu yang artinya menggambar atau
melukis.[4] Istilah rasm al-Qur’an terdiri dari dua kata:
rasm dan al-Qur’an. Rasm berarti bentuk tulisan, atau sering juga diartikan
sebagai atsar, ‘alamah,[5] Dalam Ulum al-Qur’an, rasm diartikan sebagai
pola penulisan al-Qur’an yang digunakan oleh Utsman bin Affan dan
sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an. Lalu, pola
penulisan itu menjadi gaya penulisan standar dalam penulisan kembali atau
penggandaan mushaf al-Qur’an. Pola penulisan ini kemudian lebih popular dengan
nama Rasm Utsmani. Penyebutan demikian dipandang wajar karena khalifah Utsman
bin Affanlah yang merestui dan mewujudkannya dalam kenyataan.
Pola
penulisan Rasm Utsmani memiliki kaidah-kaidah atau standar khusus yang tidak
sesuai dengan kaidah penulisan bahasa Arab. Kaidah ini teringkas dalam enam
kaidah yaitu :
1.
Al–Hadzf
(membuang,menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf
alif pada ya’ nida’ (يَآَ يها النا س ).
2.
Al-Ziyadah (penambahan),
seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا
اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah
marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله
تفتؤا).
3.
Al-Hamzah, Salah satu
kaidahnya bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf
berharakat yang sebelumnya, contoh (ائذن ).
4.
Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai
penghormatan pada kata (الصلوة).
5.
Washal dan fashl
(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma
ditulis dengan disambung ( كلما ).
6.
Kata yang dapat di baca dua
bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan
salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu
ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك
يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan
alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat
(yakni dibaca satu alif).[6]
B.
Sejarah
Rasm al-Qur’an
Setelah wafatnya Umar bin Khathab, Utsman bin Affan
melanjutkan tampuk kekhalifaan. Di bawah kepemimpinanya, Islam mengadakan
ekspansi (perluasan kekuasaan) ke
wilayah Timur dan Barat,serta menyebar dan mengutus para sahabat ke seluruh
batas dan penjuru. Seluruh penduduk dari setiap provinsi yang berada di bawah kekuasaan Islam
mempelajari bacaan al-Qur’an yang disebarkan oleh para sahabat yang diutus
tersebut.
Atas
fenomena tersebut, terjadilah perbedaan lahjah (gaya bahasa) akibat dari adanya
perbedaan bahasa dan lahjah dari setiap
wilayah. Kemudian, mulailah terjadi saling menyalahkan diantara umat Islam. Berdasarkan hal itu, ada seorang
sahabat mengadu kepada khalifah Utsman bin Affan, “aku menjumpai umat Islam
berbeda pendapat dalam bacaan al-Qur’an dan hal ini mengakibatkan terjadinya
perselisihan diantara mereka.[7]
Dari
Anas dikemukakan bahwa Khuzaifah bin al-Yaman datang kepada Utsman bin Affan
dan mengemukakan bahwa ketika ia mengikuti peperangan di Armenia dan Azarbaijan
bersama dengan penduduk Irak, ia amat terkejut dengan adanya perbedaan mereka
dalam bacaan. Sebagian bacaan itu bercampur kesalahan tetapi masing-masing
mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka
saling mengkafirkan.
Lalu, ia
berkata kepada utsman, “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam
perselisihan (dalam masalah kitab), sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi
dan Nasrani.”[8]
Utsman pun memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan
terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu
akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para
sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan
itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan.
Kemuadian,Utsman
mengirim surat kepada Hafsah putri Umar yang isinya, “Sudilah kiranya anda
kirimkan kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an itu, kami
akan menyalinnya beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya”.
Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu. Kemudian Utsman memerintahkan
Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Zaid bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris
bin Hisyam untuk menyalinnya. Ketiga orang terakhir adalah orang Quraisy.
Utsman
berkata kepada ketiga orang Quraisy itu:
إذا اختلفتم أنتم و
زيد بن بن ثابت في شيئ من القرآن فكتبوه بلسان قريش، فإنه إنما نزل بلسانهم.
“Bila
kamu berselisih pendapat dengan zaid bin Sabit tentang sesuatu dari al-Qur’an,
maka tulislah dengan logat Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Quraisy.”
Usaha
yang dilakukan oleh Utsman (menulis al-Qur’an dalam satu huruf, yakni huruf
Quraisy) telah disepakati para sahabat .Setelah Zaid bin Sabit dan timnya
selesai melakukan penulisan secara
mendalam dan saksama, Utsman memerintahkannya untuk menulis mushaf tersebut
menjadi beberapa jumlah mushaf. Setelah penggandaan mushaf tersebut selesai, utsman mengirim ke setiap
daerah masing-masing satu mushaf. Mushaf ini yang kemudian dikenal dengan nama
“Mushaf Imam”. Penamaan ini sesuai dengan yang terdapat dalam riwayat-riwayat.
Setelah itu, utsman memerintahkan agar membakar semua bentuk lembaran atau
mushaf yang lain selain itu. Umat pun
menerima perintah itu dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditinggalkan.[9]
Keputusan
Utsman tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan
qiraat dengan tujuh huruf tentu setiap
huruf harus disampaikan secara mutawatir
sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan
bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu
termasuk dalam kategori keringanan (rukhsoh)
Apabila
sebagian orang lemah pengetahuan berkata:” Bagaimana mereka boleh meninggalkan
qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca
dengan cara itu ?”. Maka jawabannya ialah sesungguhnya perintah Rasulullah kepada
mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan
fardhu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukhsoh). Sebab andaikata
qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan
kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu
wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, beritanya
harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari’. Dan karena mereka
tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah
qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan al-Qur’an
dikalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf
itu.
Ibnu
Jarir mengatakan bahwa berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Utsman:
“Ia menyatukan umat Islam dengan satu mushaf
dan satu huruf, sedang mushaf yang lain dimusnahkan”. Dengan demikian,
segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak
ada lagi.[10]
Tindakan
dan langkah yang dilakukan oleh Utsman bin Affan ini memberikan dampak yang
luar biasa terhadap kegiatan pen-tadwin-an,penghafalan serta penulisan
al-Qur’an. Seperti itulah Allah menakdirkan al-Qur’an terjaga dan terpelihara
dari segala macam bentuk penambahan pengurangan sampai hari kiamat.[11]
Maha Benar Allah dengan firman-Nya:
$¯RÎ)ß`øtwU$uZø9¨tRtø.Ïe%!$#$¯RÎ)ur¼çms9tbqÝàÏÿ»ptm:ÇÒÈ
“sesungguhnya,
kami-lah yang menurunkan al-Qur’an,dan sesungguhnya kami bener-benar
memeliharanya”.(al-Hijr:15:9)
kedudukan
rasm Utsmani diperselisihkan para ulama, apakah pola penulisan merupakan
petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka
adalah sebagai berikut:
1.Sebagian dari ulama
berpendapat bahwa rasm Utsmani buat Qur’an ini bersifat tauqifi yang wajib
dipakai dalm penulisan Qur’an, dan harus sungguh-sungguh disucikan. Mereka
menisbahkan tauqifi dalam penulisan Qur’an ini kepada Nabi.
فذكروا أنه قال
لمعاوية – أحد كتبة الوحي: ألق الدواة، وحرّف القلم، وانصب الياء، وفرّق السين،
ولا تعوّر الميم، وحسّن الله، وجوّد الرحيم، وضع قلمك على أذنك اليسرى، فإنّه أذكر
لك.[12]
“Mereka
Menyebutkan bahwa Nabi Pernah mengatakan kepada mu’awiyah,salah seorang penulis
wahyu: “letakkanlah tinta, pergunakan
pena, tegakkan “yaa ”, bedakan “siin”, jangan kamu miringkan
“miim”,baguskan tulisan lafadz “Allah”, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan
baguskan lafadz “Ar-Rahim” dan letakkan penamu pada telinga kirimu, karena yang
demikian akan lebih dapat mengingatkan kamu.”
Ibnu
Mubarak mengutip perkataan gurunya, Abdul Aziz ad-Dabbag:
))ما للصحابة ولا
لغيرهم في رسم القرآن ولا شعرة واحدة، وإنّما هو توقيف من النبي وهو الذي أمرهم أن
يكتبوه على الهيئة المعروفة بزيادة
الألف ونقصانها لأسرار لا تهتدي إليها
العقول، وهو سر من الأسرار خصّ الله به كتابه العزيز دون سائر الكتب السماوية، وكما
أنّ نظم القرآن معجز فرسمه أيضا معجز(([13]
“Para sahabat dan orang lain tidak campur
tangan seujung rambutpun dalam penulisan Qur’an karena penulisan Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi.
Dialah yang memerintahkan kepada mereka untuk menulisnya dalam bentuk yang
dikenal sekarang, dengan menambahkan alif atau menguranginya karena ada
rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau oleh akal.Itulah salah satu rahasia
Allah yang diberikan kepada kitab-Nya yang mulia, yang tidak Dia berikan kepada
kitab-kitab samawi lainnya.Sebagaimana susunan Qur’an adalah mu’jizat, maka
penulisannya pun mu’jizat pula.”
Mereka
mencari dalam rasm (ragam tulisan) itu rahasia-rahasia yang menyebabkan rasm
Utsmani merupakan petunjuk untuk beberapa makna yang tersembunyi dan halus
seperti penambahan “ya” dalam penulisan kata “aydin"( أيدٍ) yang terdapat dalam firman-Nya :
uä!$uK¡¡9$#ur$yg»oYøt^t/7&÷r'Î/$¯RÎ)urtbqãèÅqßJs9ÇÍÐÈ
“Dan langit itu kami bangun dengan tangan
kami.” (az-zariyat[51]:47)
Dimana
penulisan kata itu dituliskan seperti ini بأييدٍ .Penulisan ini merupakan isyarat bagi
kehebatan kekuatan Allah yang dengannya Dia membangun langit dan bahwa
kekuatan-Nya itu tidak dapat disamai, ditandingi oleh kekuatan yang mana pun.
Ini berdasarkan kaidah yang masyhur"
:penambahan
huruf dalam bentuk kalimat menunjukkan penambahan makna."
Pendapat
ini sama sekali tidak bersumber dari Rasulullah, yang membuktikan bahwa rasm
itu tauqifi. Tetapi sebenarnya para penulislah yang mempergunakan istilah dan
cara tersebut pada masa Utsman atas izinya, dan bahkan Utsman telah memberikan
pedoman kepada mereka.
Ketika
mereka berselisih pendapat dalam penulisan
“tabut” التّابوت , Zaid mengatakan: “tabuh”التّابوه tetapi beberapa dari kalangan Quraisy
mengatakan: “tabut” التّابوت , kemudian mereka mengadukan hal itu kepada
Utsman, Utsman mengatakan: “Tulislah “tabut” karenaQur’an diturunkan dalam
bahasa Quraisy.”
2.
Banyak ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi
hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan diterima umat
dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan
tidak boleh dilanggar.
قال أشهب: ((سئل
مالك : هل يكتب المصحف على ما أحدثه الناس من الهجاء؟ فقال: لا، إلا على الكتبة الأول(([14]
Asyhab
berkata: “Malik ditanya: Apakah mushaf boleh ditulis menurut ejaan (kaidah
penulisan) yang diadakan orang? Malik menjawab: Tidak, kecuali menurut tata
cara penulisan pertama.” (riwayat Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni’). Kemudian
kata Asyhab pula: “Dan tidak ada orang yang menyalahi rasm itu diantara ulama
umat islam.” Di tempat lain Asyhab mengatakan: “Malik ditanya tentang
huruf-huruf dalam al-Qur’an seperti
‘wawu’ dan ‘alif’, bolehkah mengubah kedua huruf itu dari mushaf apabila
didalam mushaf terdapat hal seperti itu? Malik menjawab: Tidak”. Abu ‘Amr
mengatakan, yang dimaksud di sini adalah wawu dan alif tambahan dalam rasm,
tetapi tidak Nampak dalam ucapan seperti
“ulu”أولوا. .
قال الإمام أحمد:
(( تحرم مخالفة مصحف عثمان في واو أو ياء أو ألف أو غير ذلك[15] ((
Imam
Ahmad berpendapat: “Haram hukumnya menyalahi tulisan mushaf Utsman dalam hal
wawu,ya,alif atau yang lainnya.”
3.
Segolongan ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani itu hanyalah sebuah istilah,
tatacara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan
satu rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas di antara mereka.
Abu
Bakar al-Baqalani menyebutkan dalam kitabnya al-Intisar: “Tak ada yang
diwajibkan oleh Allah mengenai (cara atau bentuk) penulisan mushaf. Karena itu
para penulis Qur’an dan mushaf tidak diharuskan menggunakan rasm tertentu yang
diwajibkan kepada mereka sehingga tidak boleh cara lain, hal ini mengingat
kewajiban semacam ini hanya dapat diketahui melalui pendengaran (dalil sam’iy)
dan tauqifi. Dan dalam nash-nash dan konsep Qur’an tidak dijelaskan bahwa rasm
atau penulisan Qur’an itu hanya dibolehkan menurut cara khusus dan batas
tertentu yang tidak boleh dilanggar. Dalam nash Sunnah juga tidak terdapat satu
keterangan pun yang mewajibkan dan menunjukkan hal tersebut. Dalam kesepakatan
umat tidak terdapat pula pendapat yang mewajibkannya.Juga tidak ditunjukkan
oleh qiyas berdasarkan syariat, qiyas syar’i. Bahkan, Sunnah menunjukkan
dibolehkan cara penulisan Qur’an menurut cara yang mudah sebab Rasulullah
menyuruh untuk menuliskannya, tetapi tidak menjelaskan kepada mereka atau
melarang seseorang menuliskannya dengan cara tertentu. Sehingga berbeda-bedalah
tulisan mushaf . Diantara mereka ada yang menuliskan kata menurut pengucapan
lafal, dan ada pula yang menambah atau mengurangi, karena ia tahu bahwa yang
demikian itu hanyalah sebuah cara. Oleh karena itulah diperbolehkan
menuliskannya dengan huruf-huruf kufi dan bentuk tulisan pertama dan boleh pula
menjadikan kata “kalam” dalam bentuk kaf, membengkokkan semua alif dan boleh
juga menuliskannya tanpa mengikuti cara ini semua. Juga dibolehkan menulis
mushaf dengan tulisan dan ejaan kuno, dengan tulisan dan ejaan baru, dan dengan
tulisan ejaan pertengahan. Apabila tulisan-tulisan mushaf dan kebanyakan
huruf-hurufnya berbeda dan beragam bentuknya, sedang setiap orang diperbolehkan
menuliskan menurut kebiasaannya, menurut apa yang lebih mudah, populer dan
utama, tanpa dianggap dosa atau melanggar, maka diketahuilah bahwa mereka tidak
diwajibkan menuliskan menurut cara tertentu, seperti dalam qiraat. Hal tersebut
karena tulisan-tulisan itu hanyalah tanda-tanda
dan rasm yang berfungsi sebagai isyarat, lambing dan rumus. Setiap rasm
yang menunjukkan kata dan menentukan cara pembacaannya haruslah dibenarkan dan
harus dibenarkan pula rasm itu dalam bentuk apapun. Ringkasnya, setiap orang
yang mengatakan bahwa manusia harus mengikuti rasm tertentu yang wajib diikuti,
ia harus menunjukkan alasan (hujjah) atas kebenaran pendapatnya itu. Dan tentu
saja ia tidak akan dapat menunjukkannya.”
Bertitik
tolak dari pendapat ini sebagian orang sekarang menyerukan untuk menuliskan
al-Qur’an dengan kaidah-kaidah imla’ yang sudah tersiar luas dan diakui,
sehingga dapat memudahkan para pembaca yang sedang belajar untuk membacanya.Dan
disaat membaca Qur’an ia tidak merasakan adanya perbedaan rasm Qur’an dengan
rasm imla’ istilahi yang diakui dan dipelajarinya itu.
قال
منّاع القطان في كتابه : ((والذي أراه أنّ الرأي الثاني هو الرأي الراجح، ,أنه يجب
كتابة القرآن بالرسم العثماني المعهود في المصحف(([16]
Manna’
al-Qothaan berkata: “Saya menilai pendapat kedua itulah yang kuat dan benar,
yakni Qur’an harus ditulis dengan rasm Utsmani yang sudah dikenal dalam
penulisan mushaf.”
Rasm
Utsmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) yang telah diakui dan diwarisi oleh
umat Islam sejak masa Utsman.Dan pemeliharaan rasm Utsman merupakan jaminan
kuat bagi penjagaan Qur’an dari perubahan dan penggantian huruf-hurufnya.
Seandainya diperbolehkan menuliskannya
menurut istilah imla’ di setiap masa, maks hal ini akan mengakibatkan perubahan
mushaf dari masa ke masa. Bahkan kaidah-kaidah imla’ itu sendiri berbeda beda
kecenderungannya pada masa yang sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata
di antara satu negeri dengan negeri lain.
Perbedaan
bentuk tulisan yang disebutkan oleh Abu Bakar al-Baqalani adalah satu hal, dan
rasm imla’ adalah hal lain sebab perbedaan bentuk tulisan adalah perubahan
dalam bentuk huruf, bukan dalam rasm kata. Mengenai alasan kemudahan membaca
bagi para siswa dan pelajar dengan meniadakan pertentangan antara rasn Qur’an
dan rasm imla’, tidaklah dapat menghindarkan perubahan tersebut yang akan
mengakibatkan kekurangcermatan dalam penulisan Qur’an.
قال البيهقي في شعب
الإيمان: (( من يكتب مصحفا فينبغي أن يحافظ على الهجاء الذي كتبوا به تلك المصاحف،
ولا يغير مما كتبوه شيئا، فإنهم كانوا أكثر علما وأصدق قلبا و لسانا، وأعظم أمانة
منا، فلا ينبغي أن نظن بأنفسنا استدراكا عليهم(([17]
Dalam
Syu’abul Iman Baihaqi mengatakan: “barang siapa menulis mushaf, hendaklah ia
memperhatikan ejaan yang mereka pakai dalam penulisan mushaf-mushaf dahulu,
janganlah menyalahi mereka dalam hal itu dan jangan pula mengubah apa yang
telah mereka tulis sedikit pun. Ilmu mereka lebih banyak, lebih jujur hati dan
lisannya, serta lebih dapat dipercaya daripada kita.Maka bagi kita tidak pantas
menyangka bahwa diri kita lebih tahu dari mereka."[18]
D. Perbaikan Rasm Utsmani
Mushaf
Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata
didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga
mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik.Ketika bahasa
Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya pencampuran (dengan bahasa non
Arab), maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf
dengan syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar.
Para
ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan untuk hal ini.
Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abu al-Aswad ad-Du’ali, peletak pertama
dasar-dasar kaidah bahasa Arab, atas permintaan Ali bin Abi Thalib.
Diriwayatkan, konon Abu al-Aswad pernah mendengar seorang qari membaca firman
Allah:
¨br&©!$#ÖäüÌt/z`ÏiBtûüÏ.Îô³ßJø9$# ¼ã&è!qßuur4
Kesalahan
qari itu terdapat pada pembacaan kasra “lam” dalam kata رسوله .
Hal ini mengejutkan Abu al-Aswad dan katanya: “Maha tinggi untuk meninggalkan
Rasul-Nya.” Kemudian ia pergi menghadap ziyad, Gubernur Basrah, dan berkata:
“Kini aku akan penuhi apa yang pernah anda minta kepadaku.” Ziyad pernah
memintanya untuk membuatkan tanda-tanda baca supaya orang lebih dapat memahami
Qur’an. Tetapi Abu al-Aswad tidak segera memenuhi permintaan itu; baru setelah
dikejutkan oleh peristiwa tersebut ia memenuhinya. Disini ia muali bekerja keras,
dan hasilnya sampai pada pembuatan tanda fathah berupa satu titik di atas
huruf, tanda kasrah berupa satu titik di bawah huruf, tanda dammah berupa satu
titik di sela-sela huruf dan tanda sukun berupa dua titik.
As-Suyuti
menyebutkan dalam al-Itqan bahwa Abul
Aswad ad-Du’ali adalah orang pertama yang melakukan usaha itu atas perintah
Abdul Malik bin Marwan, bukan atas perintah Ziyad. Ketika itu orang telah
membaca Mushaf Usman selama lebih dari empat puluh tahun hingga masa
kekhalifahan Abdul Malik.Tetapi masih juga banyak orang yang membuat kesalahan
dan kesalahan itu merajalela di Irak.Maka para penguasa memikirkan pembuatan
tanda baca, titik dan syakal.
Dalam
pada itu ada beberapa riwayat lain yang menisbahkan pekerjaan ini kepada orang
lain, di antaranya kepada Hasan al-Bashri, Yahya bin Ya’mar dan Nasr bin ‘Ashim
al-Laisi. Tetapi Abul Aswad-lah yang terkenal dalam hal ini.Nampaknya
orang-orang lain yang disebutkan itu mempunyai upaya-upaya lain yang dicurahkan
dalam perbaikan dan permudahan rasm tersebut.
Perbaikan
rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik:
fathah berupa satu titik di atas awal huruf, dammah berupa satu titik di atas
akhir huruf dan kasrah berupa satu titik
di bawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal
dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil.Perubaha itu ialah fathah
adalah dengan tanda sempang di atas huruf, kasrah berupa tanda sempang di bawah
huruf, dammah dengan wawu kecil di atas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda
serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti , pada tempatnya dituliskan dengan
warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna
merah tanpa huruf.Pada “nun” dan “tanwin” sebelum huruf “ba” diberi tanda iqlab
berwarna merah.Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda
sukun dengan warna merah.Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika idgam
dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan
huruf yang di-idgam-kan tidak diberi
tanda sukun tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah; kecuali huruf
“ta’” sebelum “ta’”, maka sukun tetap dituliskan, misalnya فرطّت .
Kemudian
pada abad ketiga Hijri terjadi perbaikan dan penyempurnaan rasm Mushaf.Dan
orang pun berloma-lomba memilih bentuk tulisan yang baik dan menentukan
tanda-tanda yang khas.Mereka memberikan untuk huruf yang disyaddah sebuah tanda
seperti busur. Sedang untuk alif wasal diberi lekuk di atasnya, di bawahnya
atau di tengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya: fathah, kasrah atau dammah.
Kemudian
secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan
ayat, dan rumus-rumus yang menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda waqaf. Tanda
waqaf lazim adalah (م) ,
waqaf mamnu’ (لا) ,
waqaf ja’iz yang boleh waqaf atau tidak )ج) , waqaf ja’iz tetapi wasalnya lebih utama
(صلى) , waqaf ja’iz tetapi waqafnya lebih utama
(قلى ) , waqaf mu’anaqah yang bila telah waqaf
pada satu tempat tidak dibenarkan waqaf di tempat yang lain diberi tanda “ “, selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda
hizb dan penyempurnaan-penyempurnaan lainnya.
Para
ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan
terjadi penambahan dalam Qur’an, berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud: “Bersihkanlah
Qur’an dan jangan dicampuradukkan dengan apa pun”. Dan sebagian dari mereka
membedakan antara pemberian titik yang diperbolehkan dengan pembuatan
perpuluhan (al-a’syar) dan pembukaan-pembukaan yang tidak diperbolehkan.
Al-Halimi mengatakan: “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan (al-akhmasy),
nama-nama surah dan bilangan ayat dalam Mushaf, berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud:
“Bersihkanlah Qur’an.” Sedang pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak
mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Qur’an dengan yang buakn
Qur’an.Titik merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga
dibolehkan umtuk orang yang memerlukannya.
Kemudian
akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Diriwayatkan
oleh Ibn Abu Daud dari al-Hasan dan Ibn Sirin bahwa keduanya mengatakan: “Tidak
ada salahnya memberikan titk pada Mushaf.” Dan diriwayatkan pula Rabi’ah binti
Abi Abdurrahman mengatakan: “Tidak mengapa memberikan syakal pada Mushaf.”
وقال
النووي: (( نقط المصحف و شكله مستحب لأنه صيانة له من اللحن والتحريف ))[19]
An-Nawawy
mengatakan:“Pemberian titik dan pensyakalan Mushaf itu dianjurkan (mustahab),
karena ia dapat menjaga Mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.
Perhatian
untuk menyempurnakan rasm Mushaf kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk
tulisan Arab (al-khattul ‘araby)[20]
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di
atas, penulis menyimpulkan bahwa:
1.
Rasm adalah bentuk masdar
dari kata rasama-yarsumu yang artinya menggambar atau melukis. Istilah rasm al-Qur’an terdiri dari dua
kata: rasm dan al-Qur’an. Rasm berarti bentuk tulisan, atau sering juga
diartikan sebagai atsar, ‘alamah. Dalam Ulum al-Qur’an, rasm diartikan sebagai
pola penulisan al-Qur’an yang digunakan oleh Utsman bin Affan dan sahabat-sahabatnya
ketika menulis dan membukukan al-Qur’an.Pola penulisan Rasm Utsmani memiliki
kaidah-kaidah atau standar khusus yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan
bahasa Arab.
2.
Setelah wafatnya Umar bin Khathab, Utsman bin Affan
melanjutkan tampuk kekhalifaan. Di bawah kepemimpinanya, Islam mengadakan
ekspansi (perluasan kekuasaan) ke
wilayah Timur dan Barat,serta menyebar dan mengutus para sahabat ke seluruh
batas dan penjuru. Seluruh penduduk dari setiap provinsi yang berada di bawah kekuasaan Islam mempelajari
bacaan al-Qur’an yang disebarkan oleh para sahabat yang diutus tersebut.Atas
fenomena tersebut, terjadilah perbedaan lahjah (gaya bahasa) akibat dari adanya
perbedaan bahasa dan lahjah dari setiap
wilayah. Kemudian, mulailah terjadi saling menyalahkan diantara umat Islam. Berdasarkan hal itu, Utsman
menyatukan umat Islam dengan satu mushaf
dan satu huruf, sedang mushaf yang lain dimusnahkan.
3.
kedudukan rasm Utsmani
diperselisihkan para ulama, adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.
Sebagian dari ulama
berpendapat bahwa rasm Utsmani buat Qur’an ini bersifat tauqifi yang wajib
dipakai dalm penulisan Qur’an.
b.
Banyak ulama berpendapat
bahwa rasm Utsmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara
penulisan yang disetujui Utsman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi
suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
c.
Segolongan ulama berpendapat
bahwa rasm Utsmani itu hanyalah sebuah istilah, tatacara, dan tidak ada salahnya
jika menyalahi.
4.
Mushaf Utsmani tidak memakai
tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan
orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal
dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan
karena banyaknya pencampuran (dengan bahasa non Arab), maka para penguasa
merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik dan
lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar.
B.
Implikasi
Dalam
karya tulis ini telah dibahas tentang rasm al-Qur’an yang bersumber dari
berbagai referensi, penulis yakin dan percaya bahwa masih banyak kekurangan
yang terdapat di dalamya dan masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan
tulisan-tulisan kami dikemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan bagi penulis sendiri. Amin Yaa Rabbal Alamin.
DAFTAR
PUSTAKA
Al
Abyari, Ibrahim. Tarikhul Qur’an.Terj. H. St. Amanah.Sejarah
al-Qur’an. Cet. 1: Semarang: Dina Utama, 1993.
Al-A’zami,
Muhammad Mustafa.The History The Qur’anic Text: From RefelatianCompilation A
Comparative Study With the Old And New Testaments.Terj. Sohirin Solihin,
dkk. Sejarah TeksAl-Qur’an dari Wahyu sampai Komplikasi. Cet. 1: Jakarta:
Gema Insani Press,2005.
Al-Qattan,Manna’
Khalil. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Mansyurat al-Ashri al-Hadist,1393 H.
Al-Qattan,
Manna’ Khalil.Mabahits fi Ulum al-Qur’an.Terj. Drs.Mudzakir AS.Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an. Cet.I: Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,1992.
Amal,
Taufiq Adnan.Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta: Forum Kajian
Budaya dan Agama,2001.
Anwar, Rosihon.Ulum
Al-Qur’an. Cet.V: Bandung: Pustaka Setia,2001.
As-Suyuti,
Abdur Rahman bin al-Kamal Jalaluddin. Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an.
Cet.III: al-Halabi.
Isma’il,
Muhammad Bakr. Dirasat fi Ulum al-Qur’an. Cet.II: al-Qahirah: Dar
al-Manar, 1419 H/1999 M.
Izzan,Ahmad.
Ulumul Qur’an : Telaah Tekstualitasdan kontekstualitas Al-Qur-an.
Cet.III: Bandung: Tafakur,2009.
Mardan.Al-Qur’an:
Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh. Jakarta: Pustaka
Mapan,2009.
Munawwir,
Ahmad Warson. Al-Munawwir: kamus Arab-IndonesiaTerlengkap.Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997
Syadali,
Ahmad dan Ahmad Rofi’i.Ulumul Qur’an II. Cet.II. Revisi: Bandung: CV
Pustaka Setia, 1997.
Thanthawi,
Muhammad Sayyid Thanthawi.Ulumul Qur’an Teori dan Metodologi.Cet.I:
Jogjakarta: IRCiSoD,2013.
[1]Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah
al-Qur’an (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama,2001),h.1
[2]Ibrahim Al Abyari, Tarikhul Qur’an,
terj. H. St. Amanah, Sejarah al-Qur’an (cet. 1:Semarang: Dina Utama,
1993),h.69. Lihat juga Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’anII (Cet.II.
Revisi: Bandung: CV Pustaka Setia, 1997),h.21
[3]Muhammad Mustafa al-A’zami, The History The
Qur’anic Text: From Refelatian to Compilation AComparative Study With the Old
And New Testaments. Terj. Sohirin Solihin ,dkk. Sejarah Teks Al-Qur’an
dariWahyu sampai Kompilasi. (Cet. 1: Jakarta: Gema Insani Press,2005),h.73
[4]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: kamus
Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),h.497
[5]Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an :
Telaah Tekstualitas dan kontekstualitas Al-Qur-an (Cet.III: Bandung:
Tafakur,2009),h.211
[6]As-Suyuti, Abdur Rahman bin al-Kamal
Jalaluddin, al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an (Cet.III: al-Halabi), h.147
[7]Muhammad Sayyid Thanthawi, Ulumul Qur’an Teori
dan Metodologi (Cet.I: Jogjakarta: IRCiSoD,2013), h.109
[8]Muhammad Bakr Isma’il, Dirasat fi Ulum
al-Qur’an (Cet.II: al-Qahirah: Dar al-Manar, 1419 H/1999 M), h.109-110
[9]Mardan, Al-Qur’an:Sebuah Pengantar Memahami
Al-Qur’an Secara Utuh (Jakarta: Pustaka Mapan,2009), h.71
[10]Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar Memahami
Al-Qur’an Secara Utuh, h.71
[11]Muhammad Sayyid Thanthawi, Ulumul Qur’an:
Teori dan Metodologi, h.110
[12]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum
al-Qur’an (Mansyurat al-Ashri al-Hadist,1393-1973 H),h.146
[13]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum
al-Qur’an,h.147
[14]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits
fi Ulum al-Qur’an,h.147
[15]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits
fi Ulum al-Qur’an,h.148
[17]Manna’ Khalil al-Qattan,
Mabahits fi Ulum al-Qur’an,h.150
[18]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits
fi Ulum al-Qur’an, terj.Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Cet.I:
Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,1992),h.216-221. Lihat juga Rosihon Anwar,
Ulum Al-Qur’an (Cet.V: Bandung: Pustaka Setia,2013),h.50-53. Lihat
jugaMardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar MemahamiAl-Qur’an Secara Utuh,
h.76-79
[20]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits
fi Ulum al-Qur’an, terj.Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an
,h.221-223. Lihat juga Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar Memahami
Al-Qur’anSecara Utuh, h.79-80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar