Selasa, 13 Juni 2017

Ulum al-Quran (Rasmu al-Quran)

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah kalamullah.Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan apapun. Masyarakat muslim mengawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan merespon dakwah al-Qur’an. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan, pemikiran dan kebudayaan kaum muslimin tentunya akan sulit dipahami.[1]
Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ummi merupakan suatu penghormatan dari Tuhan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw. mengambil orang-orang yang berkemampuan dibidang menulis untuk menuliskan wahyu yang diterimanya.
Kendati diwahyukan secara lisan, al-Qur’an sendiri secara konsisten  menyebut sebagai kitab tertulis. Ini memberi petunjuk bahwa wahyu tersebut tercatat dalam tulisan. Pada dasarnya ayat-ayat al-Qur’an tertulis sejak awal perkembangan  Islam, meski masyarakat yang baru lahir itu masih menderita dengan berbagai permasalahan akibat kekejaman yang dilancarkan orang-orang Quraish.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah swt.melalui perantaraan malaikat Jibril, kemudian didiktekan oleh Nabi kepada para sahabatnya yang saat itu ditunjuk sebagai juru tulis. Meskipun lebih mengutamakan hafalan, upaya penulisan tersebut tetap dilakukan dengan menggunakan berbagai media sep; kulit binatang, pelepah pohon kurma, kulit dan tulang-tulang binatang, serta batu-batu tipis.[2]Dan untuk memelihara keorisinalan wahyu, Nabi kemudian melarang para sahabatnya untuk menulis sesuatu darinya selain wahyu.[3]
Setelah wafatnya Nabi saw. seiring perjalanan waktu karena seringnya terjadi konfrontasi dengan orang-orang kafir yang menyebabkan tewasnya para penghafal al-Qur’an, maka muncullah ide untuk membukukan al-Qur’an. Walau sebelumnya tidak sepakat, akhirnya khalifah Abu Bakar menerima usul tersebut dan kemudian memerintahkan sahabat Zaid bin Tsabit untuk mengetuai kepanitiaannya. Usaha penulian al-Qur’an dalam satu mushaf yang menjadi pegangan umat Islam dan menyatukannya dari berbagai perbedaan dialek bacaan, terlaksana pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Beliau yang meletakkan dasar penulisan   al-Qur’an standar, yang digunakan oleh umat Islam sampai saat ini.
B. Rumusan Masalah
1.      Apapengertian rasm al-Qur’an?
2.      Bagaimana sejarah rasm al-Qur’an?
3.      Apa pendapat para ulama tentang rasm al-Qur’an?
4.      Bagaimana perbaikan rasm al-Qur’an?
C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui arti rasm al-Qur’an
2.      Untuk mengetahui sejarah rasm al-Qur’an
3.      Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang rasm al-Quran
4.      Untuk mengetahui perbaikan rasm al-Qur’an

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Rasm al-Qur’an
Rasm adalah bentuk masdar dari kata rasama-yarsumu yang artinya menggambar atau melukis.[4]  Istilah rasm al-Qur’an terdiri dari dua kata: rasm dan al-Qur’an. Rasm berarti bentuk tulisan, atau sering juga diartikan sebagai atsar, ‘alamah,[5]   Dalam Ulum al-Qur’an, rasm diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan oleh Utsman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an. Lalu, pola penulisan itu menjadi gaya penulisan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf al-Qur’an. Pola penulisan ini kemudian lebih popular dengan nama Rasm Utsmani. Penyebutan demikian dipandang wajar karena khalifah Utsman bin Affanlah yang merestui dan mewujudkannya dalam kenyataan. 
Pola penulisan Rasm Utsmani memiliki kaidah-kaidah atau standar khusus yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan bahasa Arab. Kaidah ini teringkas dalam enam kaidah yaitu :
1.      Al–Hadzf (membuang,menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَآَ يها النا س ).
2.      Al-Ziyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
3.      Al-Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh (ائذن ).
4.      Badal (penggantian),  seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
5.      Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
6.      Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).[6]

B.   Sejarah Rasm al-Qur’an
Setelah  wafatnya Umar bin Khathab, Utsman bin Affan melanjutkan tampuk kekhalifaan. Di bawah kepemimpinanya, Islam mengadakan ekspansi (perluasan  kekuasaan) ke wilayah Timur dan Barat,serta menyebar dan mengutus para sahabat ke seluruh batas dan penjuru. Seluruh penduduk dari setiap provinsi  yang berada di bawah kekuasaan Islam mempelajari bacaan al-Qur’an yang disebarkan oleh para sahabat yang diutus tersebut.
Atas fenomena tersebut, terjadilah perbedaan lahjah (gaya bahasa) akibat dari adanya perbedaan bahasa  dan lahjah dari setiap wilayah. Kemudian, mulailah terjadi saling menyalahkan diantara  umat Islam. Berdasarkan hal itu, ada seorang sahabat mengadu kepada khalifah Utsman bin Affan, “aku menjumpai umat Islam berbeda pendapat dalam bacaan al-Qur’an dan hal ini mengakibatkan terjadinya perselisihan diantara mereka.[7]
Dari Anas dikemukakan bahwa Khuzaifah bin al-Yaman datang kepada Utsman bin Affan dan mengemukakan bahwa ketika ia mengikuti peperangan di Armenia dan Azarbaijan bersama dengan penduduk Irak, ia amat terkejut dengan adanya perbedaan mereka dalam bacaan. Sebagian bacaan itu bercampur kesalahan tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang  yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan.
Lalu, ia berkata kepada utsman, “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab), sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani.”[8] Utsman pun memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan.
Kemuadian,Utsman mengirim surat kepada Hafsah putri Umar yang isinya, “Sudilah kiranya anda kirimkan kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an itu, kami akan menyalinnya beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya”. Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu. Kemudian Utsman memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Zaid bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya. Ketiga orang terakhir adalah orang Quraisy.
Utsman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu:
إذا اختلفتم أنتم و زيد بن بن ثابت في شيئ من القرآن فكتبوه بلسان قريش، فإنه إنما نزل بلسانهم.
“Bila kamu berselisih pendapat dengan zaid bin Sabit tentang sesuatu dari al-Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.”
Usaha yang dilakukan oleh Utsman (menulis al-Qur’an dalam satu huruf, yakni huruf Quraisy) telah disepakati para sahabat .Setelah Zaid bin Sabit dan timnya selesai melakukan penulisan  secara mendalam dan saksama, Utsman memerintahkannya untuk menulis mushaf tersebut menjadi beberapa jumlah mushaf. Setelah penggandaan mushaf  tersebut selesai, utsman mengirim ke setiap daerah masing-masing satu mushaf. Mushaf ini yang kemudian dikenal dengan nama “Mushaf Imam”. Penamaan ini sesuai dengan yang terdapat dalam riwayat-riwayat. Setelah itu, utsman memerintahkan agar membakar semua bentuk lembaran atau mushaf  yang lain selain itu. Umat pun menerima perintah itu dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf  lainnya ditinggalkan.[9]
Keputusan Utsman tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf  tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh huruf  tentu setiap huruf  harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf  itu termasuk dalam kategori keringanan (rukhsoh)
Apabila sebagian orang lemah pengetahuan berkata:” Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu ?”. Maka jawabannya ialah sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardhu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukhsoh). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf  itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, beritanya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari’. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan al-Qur’an dikalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Utsman: “Ia menyatukan umat Islam dengan satu mushaf  dan satu huruf, sedang mushaf yang lain dimusnahkan”. Dengan demikian, segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada lagi.[10]
Tindakan dan langkah yang dilakukan oleh Utsman bin Affan ini memberikan dampak yang luar biasa terhadap kegiatan pen-tadwin-an,penghafalan serta penulisan al-Qur’an. Seperti itulah Allah menakdirkan al-Qur’an terjaga dan terpelihara dari segala macam bentuk penambahan pengurangan sampai hari kiamat.[11] Maha Benar Allah dengan firman-Nya:
$¯RÎ)ß`øtwU$uZø9¨tRtø.Ïe%!$#$¯RÎ)ur¼çms9tbqÝàÏÿ»ptm:ÇÒÈ
“sesungguhnya, kami-lah yang menurunkan al-Qur’an,dan sesungguhnya kami bener-benar memeliharanya”.(al-Hijr:15:9)
C.     Pendapat Para Ulama tentang Rasm al-Qur’an
kedudukan rasm Utsmani diperselisihkan para ulama, apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
1.Sebagian dari ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani buat Qur’an ini bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalm penulisan Qur’an, dan harus sungguh-sungguh disucikan. Mereka menisbahkan tauqifi dalam penulisan Qur’an ini kepada Nabi.
فذكروا أنه قال لمعاوية – أحد كتبة الوحي: ألق الدواة، وحرّف القلم، وانصب الياء، وفرّق السين، ولا تعوّر الميم، وحسّن الله، وجوّد الرحيم، وضع قلمك على أذنك اليسرى، فإنّه أذكر لك.[12]
“Mereka Menyebutkan bahwa Nabi Pernah mengatakan kepada mu’awiyah,salah seorang penulis wahyu: “letakkanlah tinta, pergunakan  pena, tegakkan “yaa ”, bedakan “siin”, jangan kamu miringkan “miim”,baguskan tulisan lafadz “Allah”, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan baguskan lafadz “Ar-Rahim” dan letakkan penamu pada telinga kirimu, karena yang demikian akan lebih dapat mengingatkan kamu.”
Ibnu Mubarak mengutip perkataan gurunya, Abdul Aziz ad-Dabbag:
))ما للصحابة ولا لغيرهم في رسم القرآن ولا شعرة واحدة، وإنّما هو توقيف من النبي وهو الذي أمرهم أن يكتبوه على الهيئة  المعروفة بزيادة الألف  ونقصانها لأسرار لا تهتدي إليها العقول، وهو سر من الأسرار خصّ الله به كتابه العزيز دون سائر الكتب السماوية، وكما أنّ نظم القرآن معجز فرسمه أيضا معجز(([13]
 “Para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan Qur’an karena penulisan  Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintahkan kepada mereka untuk menulisnya dalam bentuk yang dikenal sekarang, dengan menambahkan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau oleh akal.Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitab-Nya yang mulia, yang tidak Dia berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya.Sebagaimana susunan Qur’an adalah mu’jizat, maka penulisannya pun mu’jizat pula.”
Mereka mencari dalam rasm (ragam tulisan) itu rahasia-rahasia yang menyebabkan rasm Utsmani merupakan petunjuk untuk beberapa makna yang tersembunyi dan halus seperti penambahan “ya” dalam penulisan kata “aydin"( أيدٍ) yang terdapat dalam firman-Nya :
uä!$uK¡¡9$#ur$yg»oYøt^t/7&÷ƒr'Î/$¯RÎ)urtbqãèÅqßJs9ÇÍÐÈ
“Dan langit itu kami bangun dengan tangan kami.” (az-zariyat[51]:47)
Dimana penulisan kata itu dituliskan seperti ini بأييدٍ  .Penulisan ini merupakan isyarat bagi kehebatan kekuatan Allah yang dengannya Dia membangun langit dan bahwa kekuatan-Nya itu tidak dapat disamai, ditandingi oleh kekuatan yang mana pun. Ini berdasarkan kaidah yang masyhur" :penambahan huruf dalam bentuk kalimat menunjukkan penambahan makna."
Pendapat ini sama sekali tidak bersumber dari Rasulullah, yang membuktikan bahwa rasm itu tauqifi. Tetapi sebenarnya para penulislah yang mempergunakan istilah dan cara tersebut pada masa Utsman atas izinya, dan bahkan Utsman telah memberikan pedoman kepada mereka.
Ketika mereka berselisih pendapat dalam penulisan  “tabut” التّابوت , Zaid mengatakan: “tabuh”التّابوه  tetapi beberapa dari kalangan Quraisy mengatakan: “tabut” التّابوت , kemudian mereka mengadukan hal itu kepada Utsman, Utsman mengatakan: “Tulislah “tabut” karenaQur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.”
2. Banyak ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
قال أشهب: ((سئل مالك : هل يكتب المصحف على ما أحدثه الناس من الهجاء؟ فقال: لا، إلا على الكتبة الأول(([14]
Asyhab berkata: “Malik ditanya: Apakah mushaf boleh ditulis menurut ejaan (kaidah penulisan) yang diadakan orang? Malik menjawab: Tidak, kecuali menurut tata cara penulisan pertama.” (riwayat Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni’). Kemudian kata Asyhab pula: “Dan tidak ada orang yang menyalahi rasm itu diantara ulama umat islam.” Di tempat lain Asyhab mengatakan: “Malik ditanya tentang huruf-huruf dalam al-Qur’an  seperti ‘wawu’ dan ‘alif’, bolehkah mengubah kedua huruf itu dari mushaf apabila didalam mushaf terdapat hal seperti itu? Malik menjawab: Tidak”. Abu ‘Amr mengatakan, yang dimaksud di sini adalah wawu dan alif tambahan dalam rasm, tetapi tidak Nampak dalam ucapan  seperti “ulu”أولوا.            .
قال الإمام أحمد: (( تحرم مخالفة مصحف عثمان في واو أو ياء أو ألف أو غير ذلك[15] ((
Imam Ahmad berpendapat: “Haram hukumnya menyalahi tulisan mushaf Utsman dalam hal wawu,ya,alif atau yang lainnya.”
3. Segolongan ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani itu hanyalah sebuah istilah, tatacara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas di antara mereka.
Abu Bakar al-Baqalani menyebutkan dalam kitabnya al-Intisar: “Tak ada yang diwajibkan oleh Allah mengenai (cara atau bentuk) penulisan mushaf. Karena itu para penulis Qur’an dan mushaf tidak diharuskan menggunakan rasm tertentu yang diwajibkan kepada mereka sehingga tidak boleh cara lain, hal ini mengingat kewajiban semacam ini hanya dapat diketahui melalui pendengaran (dalil sam’iy) dan tauqifi. Dan dalam nash-nash dan konsep Qur’an tidak dijelaskan bahwa rasm atau penulisan Qur’an itu hanya dibolehkan menurut cara khusus dan batas tertentu yang tidak boleh dilanggar. Dalam nash Sunnah juga tidak terdapat satu keterangan pun yang mewajibkan dan menunjukkan hal tersebut. Dalam kesepakatan umat tidak terdapat pula pendapat yang mewajibkannya.Juga tidak ditunjukkan oleh qiyas berdasarkan syariat, qiyas syar’i. Bahkan, Sunnah menunjukkan dibolehkan cara penulisan Qur’an menurut cara yang mudah sebab Rasulullah menyuruh untuk menuliskannya, tetapi tidak menjelaskan kepada mereka atau melarang seseorang menuliskannya dengan cara tertentu. Sehingga berbeda-bedalah tulisan mushaf . Diantara mereka ada yang menuliskan kata menurut pengucapan lafal, dan ada pula yang menambah atau mengurangi, karena ia tahu bahwa yang demikian itu hanyalah sebuah cara. Oleh karena itulah diperbolehkan menuliskannya dengan huruf-huruf kufi dan bentuk tulisan pertama dan boleh pula menjadikan kata “kalam” dalam bentuk kaf, membengkokkan semua alif dan boleh juga menuliskannya tanpa mengikuti cara ini semua. Juga dibolehkan menulis mushaf dengan tulisan dan ejaan kuno, dengan tulisan dan ejaan baru, dan dengan tulisan ejaan pertengahan. Apabila tulisan-tulisan mushaf dan kebanyakan huruf-hurufnya berbeda dan beragam bentuknya, sedang setiap orang diperbolehkan menuliskan menurut kebiasaannya, menurut apa yang lebih mudah, populer dan utama, tanpa dianggap dosa atau melanggar, maka diketahuilah bahwa mereka tidak diwajibkan menuliskan menurut cara tertentu, seperti dalam qiraat. Hal tersebut karena tulisan-tulisan itu hanyalah tanda-tanda  dan rasm yang berfungsi sebagai isyarat, lambing dan rumus. Setiap rasm yang menunjukkan kata dan menentukan cara pembacaannya haruslah dibenarkan dan harus dibenarkan pula rasm itu dalam bentuk apapun. Ringkasnya, setiap orang yang mengatakan bahwa manusia harus mengikuti rasm tertentu yang wajib diikuti, ia harus menunjukkan alasan (hujjah) atas kebenaran pendapatnya itu. Dan tentu saja ia tidak akan dapat menunjukkannya.”
Bertitik tolak dari pendapat ini sebagian orang sekarang menyerukan untuk menuliskan al-Qur’an dengan kaidah-kaidah imla’ yang sudah tersiar luas dan diakui, sehingga dapat memudahkan para pembaca yang sedang belajar untuk membacanya.Dan disaat membaca Qur’an ia tidak merasakan adanya perbedaan rasm Qur’an dengan rasm imla’ istilahi yang diakui dan dipelajarinya itu.
قال منّاع القطان في كتابه : ((والذي أراه أنّ الرأي الثاني هو الرأي الراجح، ,أنه يجب كتابة القرآن بالرسم العثماني المعهود في المصحف(([16]
Manna’ al-Qothaan berkata: “Saya menilai pendapat kedua itulah yang kuat dan benar, yakni Qur’an harus ditulis dengan rasm Utsmani yang sudah dikenal dalam penulisan mushaf.”
Rasm Utsmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) yang telah diakui dan diwarisi oleh umat Islam sejak masa Utsman.Dan pemeliharaan rasm Utsman merupakan jaminan kuat bagi penjagaan Qur’an dari perubahan dan penggantian huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan    menuliskannya menurut istilah imla’ di setiap masa, maks hal ini akan mengakibatkan perubahan mushaf dari masa ke masa. Bahkan kaidah-kaidah imla’ itu sendiri berbeda beda kecenderungannya pada masa yang sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata di antara satu negeri dengan negeri lain.
Perbedaan bentuk tulisan yang disebutkan oleh Abu Bakar al-Baqalani adalah satu hal, dan rasm imla’ adalah hal lain sebab perbedaan bentuk tulisan adalah perubahan dalam bentuk huruf, bukan dalam rasm kata. Mengenai alasan kemudahan membaca bagi para siswa dan pelajar dengan meniadakan pertentangan antara rasn Qur’an dan rasm imla’, tidaklah dapat menghindarkan perubahan tersebut yang akan mengakibatkan kekurangcermatan dalam penulisan Qur’an.
قال البيهقي في شعب الإيمان: (( من يكتب مصحفا فينبغي أن يحافظ على الهجاء الذي كتبوا به تلك المصاحف، ولا يغير مما كتبوه شيئا، فإنهم كانوا أكثر علما وأصدق قلبا و لسانا، وأعظم أمانة منا، فلا ينبغي أن نظن بأنفسنا استدراكا عليهم(([17]
Dalam Syu’abul Iman Baihaqi mengatakan: “barang siapa menulis mushaf, hendaklah ia memperhatikan ejaan yang mereka pakai dalam penulisan mushaf-mushaf dahulu, janganlah menyalahi mereka dalam hal itu dan jangan pula mengubah apa yang telah mereka tulis sedikit pun. Ilmu mereka lebih banyak, lebih jujur hati dan lisannya, serta lebih dapat dipercaya daripada kita.Maka bagi kita tidak pantas menyangka bahwa diri kita lebih tahu dari mereka."[18]

D.  Perbaikan Rasm Utsmani
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik.Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya pencampuran (dengan bahasa non Arab), maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar.
Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan untuk hal ini. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu adalah  Abu al-Aswad ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa Arab, atas permintaan Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, konon Abu al-Aswad pernah mendengar seorang qari membaca firman Allah:
¨br&©!$#Öäü̍t/z`ÏiBtûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ¼ã&è!qßuur4
Kesalahan qari itu terdapat pada pembacaan kasra “lam” dalam kata   رسوله . Hal ini mengejutkan Abu al-Aswad dan katanya: “Maha tinggi untuk meninggalkan Rasul-Nya.” Kemudian ia pergi menghadap ziyad, Gubernur Basrah, dan berkata: “Kini aku akan penuhi apa yang pernah anda minta kepadaku.” Ziyad pernah memintanya untuk membuatkan tanda-tanda baca supaya orang lebih dapat memahami Qur’an. Tetapi Abu al-Aswad tidak segera memenuhi permintaan itu; baru setelah dikejutkan oleh peristiwa tersebut ia memenuhinya. Disini ia muali bekerja keras, dan hasilnya sampai pada pembuatan tanda fathah berupa satu titik di atas huruf, tanda kasrah berupa satu titik di bawah huruf, tanda dammah berupa satu titik di sela-sela huruf dan tanda sukun berupa dua titik.
As-Suyuti menyebutkan dalam al-Itqan  bahwa Abul Aswad ad-Du’ali adalah orang pertama yang melakukan usaha itu atas perintah Abdul Malik bin Marwan, bukan atas perintah Ziyad. Ketika itu orang telah membaca Mushaf Usman selama lebih dari empat puluh tahun hingga masa kekhalifahan Abdul Malik.Tetapi masih juga banyak orang yang membuat kesalahan dan kesalahan itu merajalela di Irak.Maka para penguasa memikirkan pembuatan tanda baca, titik dan syakal.
Dalam pada itu ada beberapa riwayat lain yang menisbahkan pekerjaan ini kepada orang lain, di antaranya kepada Hasan al-Bashri, Yahya bin Ya’mar dan Nasr bin ‘Ashim al-Laisi. Tetapi Abul Aswad-lah yang terkenal dalam hal ini.Nampaknya orang-orang lain yang disebutkan itu mempunyai upaya-upaya lain yang dicurahkan dalam perbaikan dan permudahan rasm tersebut.
Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik: fathah berupa satu titik di atas awal huruf, dammah berupa satu titik di atas akhir huruf  dan kasrah berupa satu titik di bawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil.Perubaha itu ialah fathah adalah dengan tanda sempang di atas huruf, kasrah berupa tanda sempang di bawah huruf, dammah dengan wawu kecil di atas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti , pada tempatnya dituliskan dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf.Pada “nun” dan “tanwin” sebelum huruf “ba” diberi tanda iqlab berwarna merah.Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah.Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika idgam dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf  yang di-idgam-kan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah; kecuali huruf “ta’” sebelum “ta’”, maka sukun tetap dituliskan, misalnya فرطّت .
Kemudian pada abad ketiga Hijri terjadi perbaikan dan penyempurnaan rasm Mushaf.Dan orang pun berloma-lomba memilih bentuk tulisan yang baik dan menentukan tanda-tanda yang khas.Mereka memberikan untuk huruf yang disyaddah sebuah tanda seperti busur. Sedang untuk alif wasal diberi lekuk di atasnya, di bawahnya atau di tengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya: fathah, kasrah atau dammah.
Kemudian secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda waqaf. Tanda waqaf lazim adalah (م) , waqaf mamnu’ (لا) , waqaf ja’iz yang boleh waqaf atau tidak ) , waqaf ja’iz tetapi wasalnya lebih utama (صلى) , waqaf ja’iz tetapi waqafnya lebih utama (قلى ) , waqaf mu’anaqah yang bila telah waqaf pada satu tempat tidak dibenarkan waqaf di tempat yang lain diberi tanda “    “, selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb dan penyempurnaan-penyempurnaan lainnya.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Qur’an, berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud: “Bersihkanlah Qur’an dan jangan dicampuradukkan dengan apa pun”. Dan sebagian dari mereka membedakan antara pemberian titik yang diperbolehkan dengan pembuatan perpuluhan (al-a’syar) dan pembukaan-pembukaan yang tidak diperbolehkan. Al-Halimi mengatakan: “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan (al-akhmasy), nama-nama surah dan bilangan ayat dalam Mushaf, berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud: “Bersihkanlah Qur’an.” Sedang pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Qur’an dengan yang buakn Qur’an.Titik merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga dibolehkan umtuk orang yang memerlukannya.
Kemudian akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Diriwayatkan oleh Ibn Abu Daud dari al-Hasan dan Ibn Sirin bahwa keduanya mengatakan: “Tidak ada salahnya memberikan titk pada Mushaf.” Dan diriwayatkan pula Rabi’ah binti Abi Abdurrahman mengatakan: “Tidak mengapa memberikan syakal pada Mushaf.”
وقال النووي: (( نقط المصحف و شكله مستحب لأنه صيانة له من اللحن والتحريف ))[19]
 An-Nawawy mengatakan:“Pemberian titik dan pensyakalan Mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga Mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.
Perhatian untuk menyempurnakan rasm Mushaf kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (al-khattul ‘araby)[20]
            
III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa:
1.      Rasm adalah bentuk masdar dari kata rasama-yarsumu yang artinya menggambar atau melukis.   Istilah rasm al-Qur’an terdiri dari dua kata: rasm dan al-Qur’an. Rasm berarti bentuk tulisan, atau sering juga diartikan sebagai atsar, ‘alamah. Dalam Ulum al-Qur’an, rasm diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan oleh Utsman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an.Pola penulisan Rasm Utsmani memiliki kaidah-kaidah atau standar khusus yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan bahasa Arab.
2.      Setelah  wafatnya Umar bin Khathab, Utsman bin Affan melanjutkan tampuk kekhalifaan. Di bawah kepemimpinanya, Islam mengadakan ekspansi (perluasan  kekuasaan) ke wilayah Timur dan Barat,serta menyebar dan mengutus para sahabat ke seluruh batas dan penjuru. Seluruh penduduk dari setiap provinsi  yang berada di bawah kekuasaan Islam mempelajari bacaan al-Qur’an yang disebarkan oleh para sahabat yang diutus tersebut.Atas fenomena tersebut, terjadilah perbedaan lahjah (gaya bahasa) akibat dari adanya perbedaan bahasa  dan lahjah dari setiap wilayah. Kemudian, mulailah terjadi saling menyalahkan diantara  umat Islam. Berdasarkan hal itu, Utsman menyatukan umat Islam dengan satu mushaf  dan satu huruf, sedang mushaf yang lain dimusnahkan.
3.      kedudukan rasm Utsmani diperselisihkan para ulama, adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.       Sebagian dari ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani buat Qur’an ini bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalm penulisan Qur’an.
b.      Banyak ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
c.       Segolongan ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani itu hanyalah sebuah istilah, tatacara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi.
4.      Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya pencampuran (dengan bahasa non Arab), maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar.

B.   Implikasi
Dalam karya tulis ini telah dibahas tentang rasm al-Qur’an yang bersumber dari berbagai referensi, penulis yakin dan percaya bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamya dan masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan tulisan-tulisan kami dikemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis sendiri. Amin Yaa Rabbal Alamin.


DAFTAR PUSTAKA
Al Abyari, Ibrahim. Tarikhul Qur’an.Terj. H. St. Amanah.Sejarah al-Qur’an. Cet. 1: Semarang: Dina Utama, 1993.
Al-A’zami, Muhammad Mustafa.The History The Qur’anic Text: From RefelatianCompilation A Comparative Study With the Old And New Testaments.Terj. Sohirin Solihin, dkk. Sejarah TeksAl-Qur’an dari Wahyu sampai Komplikasi. Cet. 1: Jakarta: Gema Insani Press,2005.
Al-Qattan,Manna’ Khalil. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Mansyurat al-Ashri al-Hadist,1393 H.
Al-Qattan, Manna’ Khalil.Mabahits fi Ulum al-Qur’an.Terj. Drs.Mudzakir AS.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Cet.I: Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,1992.
Amal, Taufiq Adnan.Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama,2001.
Anwar, Rosihon.Ulum Al-Qur’an. Cet.V: Bandung: Pustaka Setia,2001.
As-Suyuti, Abdur Rahman bin al-Kamal Jalaluddin. Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an. Cet.III: al-Halabi.
Isma’il, Muhammad Bakr. Dirasat fi Ulum al-Qur’an. Cet.II: al-Qahirah: Dar al-Manar, 1419 H/1999 M.
Izzan,Ahmad. Ulumul Qur’an : Telaah Tekstualitasdan kontekstualitas Al-Qur-an. Cet.III: Bandung: Tafakur,2009.
Mardan.Al-Qur’an: Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh. Jakarta: Pustaka Mapan,2009.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: kamus Arab-IndonesiaTerlengkap.Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Syadali, Ahmad dan Ahmad Rofi’i.Ulumul Qur’an II. Cet.II. Revisi: Bandung: CV Pustaka Setia, 1997.
Thanthawi, Muhammad Sayyid Thanthawi.Ulumul Qur’an Teori dan Metodologi.Cet.I: Jogjakarta: IRCiSoD,2013.







[1]Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama,2001),h.1 
[2]Ibrahim Al Abyari, Tarikhul Qur’an, terj. H. St. Amanah, Sejarah al-Qur’an (cet. 1:Semarang: Dina Utama, 1993),h.69. Lihat juga Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’anII (Cet.II. Revisi: Bandung: CV Pustaka Setia, 1997),h.21
[3]Muhammad Mustafa al-A’zami, The History The Qur’anic Text: From Refelatian to Compilation AComparative Study With the Old And New Testaments. Terj. Sohirin Solihin ,dkk. Sejarah Teks Al-Qur’an dariWahyu sampai Kompilasi. (Cet. 1: Jakarta: Gema Insani Press,2005),h.73
[4]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: kamus Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),h.497
[5]Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an : Telaah Tekstualitas dan kontekstualitas Al-Qur-an (Cet.III: Bandung: Tafakur,2009),h.211
[6]As-Suyuti, Abdur Rahman bin al-Kamal Jalaluddin, al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an (Cet.III: al-Halabi), h.147
[7]Muhammad Sayyid Thanthawi, Ulumul Qur’an Teori dan Metodologi (Cet.I: Jogjakarta: IRCiSoD,2013), h.109
[8]Muhammad Bakr Isma’il, Dirasat fi Ulum al-Qur’an (Cet.II: al-Qahirah: Dar al-Manar, 1419 H/1999 M), h.109-110
[9]Mardan, Al-Qur’an:Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh (Jakarta: Pustaka Mapan,2009), h.71
[10]Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh, h.71
[11]Muhammad Sayyid Thanthawi, Ulumul Qur’an: Teori dan Metodologi, h.110
[12]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Mansyurat al-Ashri al-Hadist,1393-1973 H),h.146
[13]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an,h.147
[14]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an,h.147
[15]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an,h.148
              [16]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an,h.149
[17]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an,h.150
[18]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, terj.Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Cet.I: Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,1992),h.216-221. Lihat juga Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Cet.V: Bandung: Pustaka Setia,2013),h.50-53. Lihat jugaMardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar MemahamiAl-Qur’an Secara Utuh, h.76-79
[19]As-Suyuti, Abdur Rahman bin al-Kamal Jalaluddin, al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, h.171
[20]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, terj.Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an ,h.221-223. Lihat juga Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’anSecara Utuh, h.79-80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar