BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Perkembangan
penelitian agama menunjukkan semakin beragamnya objek dan metode yang
digunakan. Menurut Dhavamony, objek penelitian agama adalah fakta agama dan
pengungkapannya. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan
manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Al-qur’an dan Hadits
tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan
progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual,
senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka,
demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik,
mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap
positif lainnya.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif
di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak
boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampaikan
dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling
efektif dalam memecahkan masalah.Tuntutan terhadap agama yang demikian itu
dapat dijawab mana kala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan
pendekatan teologis dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan
pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban
terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu
dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat
dirasakan oleh penganutnya. Berbagai pendekatan tersebut
meliputi pendekatan teologis, normative, antropologis, sosiologis, psikologis,
historis dan pendekatan filosofis, serta pendekatan-pendekatan lainnya. Adapun
yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang
yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah yakni:
1. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan teologi-normatif?
2. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis?
3. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan antropologis?
4. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan filosofis?
5. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan historis?
6. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan psikologis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan
Teologis-Normative
Dalam studi Islam tampaknya
tidak bisa mengingkari adanya kemungkinan bahwa dalam perkembangannya sebuah
agama mengalami penyimpangan dalam hal doktrin dan prakteknya. Tetapi arogansi
teologis yang memandang agama lain sebagai sesat sehingga harus dilakukan
pertobatan dan jika tidak berarti pasti masuk neraka, merupakan sikap
menjauhkan dari nilai keberagamaan yang kasih dan santun dalam mengajak kepada
jalan kebenaran. Arogansi teologis ini terjadi tidak saja dihadapkan pada
pemeluk agama lain tetapi juga terjadi secara internal dalam suatu komunitas
seagama. Sebenarnya, baik dalam Yahudi, Kristen maupun Islam, sejarah
membuktikan pada kita bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara satu
aliran teologi dengan aliran lain.
Pendekatan teologis dalam memahami
agama menggunakan cara berpikir deduktif. Cara berfikir deduktif, yaitu cara
berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya,
karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu
dipertanyakan lebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya
diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi yang mendukung.
Dalam Encyclopedia of
Religion and Religions, dikatakan bahwa teologi adalah ilmu
yang membicarakan tentang Tuhan da hubungan-Nya dengan alam semesta, namun
seringkali diperluas mencakup seluruh bidang agama. Dengan demikian, teologi
memiliki pengertian luas dan identik dengan ilmu agama itu sendiri.
Dalam diskurs ilmiah, teologi
memiliki arti yang khusus. Teologi menurut Pidekso, sebagai upaya seluruh orang
yang beriman dalam menangkap, memahami serta memberlakukan kehendak Tuhan
melalui konteksnya. Menurut Darmaputera, teologi selalu bertitik
tolak dari asumsi dasar, bahwa Allah yang kita percayai adalah Allah yang
berfirman, Allah yang menyatakan kehendak-Nya, disepanjang masa bagi seluruh
umat manusia dimana saja.[1]
Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk
merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para Nabi agar
hendaknya Tuhan itu dapat dipahami karena dinamis dalam konteks ruang dan
waktu. Pendekatan teologis dalam studi agama disebut juga pendekatan normatif
dalam studi agama itu sendiri. Secara umum, metode teologis/normative dalam studi
agama bertujuan untuk mencari pembenaran dari suatu ajaran agama atau dalam
rangka menemukan pemahaman keagamaan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan
secara normatif
idealistik.[2]
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama
secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan
kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik
dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan
lainnya. Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang memandang masalah
dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan kata lain,
pendekatan normatif lebih melihat studi Islam dari apa yang tertera dalam teks
Alquran dan Hadits[3]
Dalam Islam, metode teologis khususnya teologi intelektual telah melahirkan
ilmu-ilmu keagamaan yang mantap, baik objek maupun metodologinya. Ilmu-ilmu
keagamaan itu antara lain ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqih, ilmu akhlak
tasawuf dan ilmu kalam yang memiliki masing-masing memiliki cabang ilmu
pembantu.
Menurut Hadidjah dan Karman al-Kuninganiy pendekatan normatif mempunyai
cakupan sangat luas.Pada umumnya pendekatan yang digunakan oleh ahli ushul
fikih (ushuliyyin), ahli hukum Islam (fuqaha) dan ahli tafsir (mufassirin)
dan ahli hadits (muhaditsin) yang berusaha menggali aspek legal-formal
ajaran Islam dari sumbernya selalu menggunakan pendekatan teologi/normatif. Demikian pula
untuk bidang bidang lain, seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup,
kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan dibangun
berdasarkan dalil-dalil tekstual yang terdapat dalam ajaran agama.[4]
B.
Pendekatan Sosiologis
Agama disamping sebagai sebuah keyakinan juga merupakan gejala sosial, artinya
agama-agama yang dianut melahirkan berbagai perilakau sosial, yakni perilaku
yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Kadang–kadang
perilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan
nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial. Untuk
menggambarkan gejala sosial keagamaan dengan baik, peneliti dapat menggunakan
pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis adalah peneliti menggunakan
logika-logika dan teori sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk
menggambarkan fenomena sosial keagamaan serta pengaruh suatu fenomena terhadap
fenomena lain.[5] Pendekatan sosiologis menganalisa manusia dalam
masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu.[6] Sosiologi agama dirumuskan
secara luas sebagai suatu studi tentang interrelasi dari agama dan masyarakat
serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antarmereka. Anggapan para sosiolog
bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasan, dan kelembagaan agama mempengaruhi,
dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang tepat. Jadi,
seorang sosiolog agama bertugas menyelidiki bagaimana tata cara masyarakat,
kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama itu
sendiri mempengaruhi mereka.[7]
Sosiologi agama mempelajari aspek sosial agama. Objek penelitian agama
dengan pendekatan sosiologi menurut Keith A. Robert memfokuskan pada:
1.
Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan (meliputi pembentukannya, kegiatan
demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembubarannya);
2.
Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut (proses sosial yang
mempengaruhi status keagamaan dan proses ritualnya);
3.
Konflik antarkelompok.
Yang dimaksud dengan
kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan adalah pranata-pranata sosial yang menjadi
infrastruktur tegaknya agama dalam masyarakat meliputi organisasi keagamaan
(sekte, gereja/ormas keagamaan), pemimpin keagamaan (ulama, kiai, pendeta),
pengikut suatu agama (jamaah, warga), upacara-upacara keagamaan (ritus, ibadah,
kebaktian, doa), sarana peribadatan (mesjid, gereja, pura), dan psoses
sosialisasi doktrin-doktrin agama (sekolah, pesantren, mesjid, gereja).
Jalaluddin Rahman
dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa besarnya
perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan
mengajukan lima alasan sebagai berikut:
1.
Dalam
Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam
itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya
Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan bahwa
perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan
sosial adalah satu berbanding seratus (satu ayat ibadah) (seratus ayat muamalah/masalah sosial).
2.
Bahwa
ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan
bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang
penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan
ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3. Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih besar
dari pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena itu shalat yang dilakukan
secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan
sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
4. Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna
atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tembusannya)
adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.[8]
C.
Pendekatan Antropologis
Berbeda dengan penelitian sosiologi yang mengkaji tentang masyarakat
modern, antropologi lebih menekankan pada masyarakat primitif. Antropologi
sosial agama berkaitan dengan soal-soal upacara, kepercayaan, tindakan, dan
kebiasaan yang tetap dalam masyarakat sebelum mengenal tulisan yang merujuk
pada apa yang dianggap suci dan supernatural. Saat ini terdapat kecenderungan
atropologi tidak hanya digunakan untuk meneliti masyarakat primitif, melainkan
juga masyarakat yang kompleks dan maju, menganalisis simbolisme dalam agama dan
untuk studi agama dan mitos. Antropologi agama memandang agama sebagai fenomena
kultural dalam pengungkapannya yang beragam, khususnya tentang kebiasaan,
pribadatan, dan kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial.
Pada awal perkembangannya, sosiologi merupakan ilmu untuk mempelajari
masyarakat Barat, masyarakat industri, dan masyarakat berperadaban, sedangkan
antropologi digunakan untuk mempelajari masyarakat kulit berwarna, masyarakat
terbelakang, dan masyarakat yang belum berperadaban. Namun sekarang baik
sosiologi maupun antropologi telah digunakan untuk mengkaji masyarakat modern. Keduanya
sama-sama mempelajari manusia sebagai makhluk sosial budaya. Perbedaannya
adalah sosiologi mengkaji tentang hubungan manusia dengan manusia lain (aspek
sosial), sedangkan antropologi lebih menekankan pada keunikan dan keanehan
masyarakat (aspek budaya).
Pada prinsipnya, Sosiologi merupakan sebuah kajian
ilmu yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang
satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Pendekatan Sosiologi merupakan sebuah pendekatan dalam memahami Islam dari
kerangka ilmu sosial, atau yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia
antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang
lain.[9]
Yang menjadi fokus penelitian dengan pendekatan antropologi agama secara
umum adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk budaya yang
meliputi 1) pola-pola keagamaan manusia dari perilaku bentuk-bentuk agama
primitif yang mengedepankan magic, mitos, animisme, totemisme, paganisme pemujaan
terhadap roh dan polyteisme, sampai pola keberagaman masyarakat industri yang
mengedepankan rasionalisme dan keyakinan monoteisme; 2) agama dan
pengungkapannya dalam bentuk mitos, simbol, ritual, upacara pengorbanan,
selamatan; 3) pangalaman religius yang meliputi meditasi, doa, mistisisme,
sufisme.
Unit analisis dari pendekatan antropologi ini bisa berupa individu,
kelompok/organisasi dan masyarakat, benda-benda bersejarah, buku, prasasti,
cerita-cerita rakyat.[10]
D. Pendekatan
Filosofis
Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau
paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai
sesuatu yang berada di balik objek formalnya. Dengan kata lain, pendekatan
filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk menjelaskan apa dibalik
sesuatu yang nampak. Agama itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Keterkaitan antara keduanya terfokus
pada rasionalitas, kita dapat menyatakan bahwa suatu pendekatan filosofis
terhadap agama adalah suatu proses rasional.
Kajian Islam yang berpikir secara filosofis dapat digunakan dalam
memahami agama dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama
dapat dimengerti dan dipahami secara saksama. Tujuan pendekatan filosofis agar seseorang dapat merasakan hikmahnya hidup
secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya agar
sesorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada
sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian ibadah haji yang dilaksanakan
dikota Mekkah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk,gerak ibadah (manasik)
yang sama dikerjakan dengan yang lainya. Kesimpulan demikian itu bisa terjadi
manakala seseorang hanya memahami bentuk lahiriah dari kisah tersebut. Namun
demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan
bentuk pengalaman agama yang bersifat formal. Filsafat juga mempelajari segi
batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi
lahiriah yang bersifat eksoterik.[11]
Pendekatan filosofis ini
sebenarnya sudah banyak dilakukan sebelumnya, diantaranya Muhammad al Jurjawi
yang menulis buku berjudul Hikmah Al Tasyri’ wa Falsafatuhu. Dalam buku
tersebut Al Jurjawi berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik
ajaran-ajaran agama Islam, misalnya ajaran agama Islam mengajarkan agar
melaksanakan sholat berjamaah dengan tujuan antara lain agar seseorang dapat
merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain, dan lain
sebagainya. Makna demikian dapat dijumpai melalui pendekatan yang bersifat
filosofis.
Dengan menggunakan pendekatan
filosofis seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya,
dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan
cara demikian ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa
kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali
makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap,
penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.
Melalui pendekatan filosofis ini,
seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik,
yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa,
kosong tanpa arti. Yang didapatkan dari pengamalan agama hanyalah pengakuan
formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam kelima dan
berhenti sampai disitu saja. Tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang
terkandung di dalamnya. Namun demikian pendekatan filosofis ini tidak berarti
menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal.
Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk
(forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik. Islam sebagai agama
yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan
sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya.
E.
Pendekatan
Historis
Menurut Siddiqi, karakter yang menonjol dari pendekatan sejarah tentang
signifikansi waktu dan prinsip-prinsip kesejarahan tentang individualitas dan perkembangan.
Melalui pendekatan sejarah, peneliti dapat melakukan periodisasi atau derivasi
sebuah fakta, dan melakukan rekonstruksi proses genesis (perubahan dan
perkembangan). Dengan sejarah, dapat diketahui asal-usul pemikiran/ pendapat/
sikap tertentu dari seorang tokoh/ mazhab/ golongan. Melalui sejarah dapat diketahui stereotype keberagaman suatu kelompok
dan sikap suatu kelompok-kelompok lainnya.
Penelitian agama tidak dapat dipisahkan dari pendekatan sejarah. Bahkan
keabsahan suatu agama dapat diketahui/ ditentukan oleh mata rantai sejarahnya
dengan agama-agama sebelumnya sampai sekarang. Disisi lain manusia adalah
makhluk yang menyejarah karena hidupnya terikat pada dimensi waktu (masa lalu,
masa kini dan masa depan). Masa lalu dapat menjadi modal seseorang atau bangsa
untuk meraih sukses di masa depan.
Koentowijoyo mengatakan bahwa pada dasarnya isi kandungan dari al-Qur’an
terbagi atas dua bagian yakni pertama konsep-konsep dan yang kedua kisah
sejarah/perumpamaan. Bagian yang berisi konsep harus dikaji melalui pendekatan
ilmiah (sains dan teknologi) sedangkan bagian yang berupa sejarah harus dikaji
dengan penedekatan sejarah. Sejrah bukan hanya pengetahuan tentang peristiwa
masa lalu melainkan sebuah hikmah dan kebenaran.
Pendekatan sejarah dijadikan sebagai metode penelitian agama atau dasar
metodenya, bukan materinya. Karakter yang menonjol dalam pendekatan sejarah
adalah signifikansi waktu dan prinsip-prinsip kesejarahan tentang
individualitas dan perkembangan. Melalui penelitian sejarah, kita dapat
mengetahui asal mula situasi yang melahirkan suatu ide dari seorang tokoh.[12] Melalui analisis sejarah
pula, dapat diketahui bahwa seseorang tokoh dalam berbuat atau berfikir
sesungguhnya dipaksa oleh keinginan-keinginan dan tekanan-tekanan yang muncul
dari dirinya sendiri.
F.
Pendekatan Psikologis
Psikologis agama adalah studi mengenai aspek psikologis dari prilaku
beragama, baik sebagai individu maupun sebagai secara
berkelompok/anggota-anggota dari suatu kelompok. Aspek psikologis dari perilaku
beragama berupa pengalaman religius, seperti:
1.
Ketika seseorang berada di puncak spiritual, seperti mi’rajnya Nabi
menghadap sang Khalik, atauu ketika seorang muslim khusyu saat sholat, atau
kristiani dalam doa dan nyanyian.
2.
Ketika seseorang menerima wahyu/ ilham/ mendengar suara hati, ketika
berkomunikasi dengan sang Khalik, yang Ilahi dan supranatural.
3.
Ketika suatu kelompok larut dalam suasana emosional dan sekaligus spiritual
seperti kaum syi’ah, memperingati tragedi Karballa pada tanggal 10 asyyura,
atau ketika warga NU menyelenggarakan istighasah.
4.
Ketika mengalami masa liminalitas yaitu masa yang tidak menentu, kacau,
ambigu, menghadapi cobaan/ tantangan seperti saat salah satu anggota keluarga/
orang yang dicintai meninggal dunia, seorang ibu yang melahirkan, seorang
perawan akan menuju pelaminan, seseorang uyang akan merantau di tempat yang
jauh dan sebagainya.
Psikologi mempelajari
tentang jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati. Dalam
konteks studi agama, pendekatan Psikologis diartikan sebagai penerapan
metode-metode dan data psikologis ke dalam studi tentang keyakianan dan
pemahaman keagamaan untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang,
atau dengan kata lain, pendekatan psikologis merupakan pendekatan keagamaan
dengan menggunakan paradigma dan teori-teori psikologis dalan memahami agama
dan sikap keagamaan seseorang. Salah satu cara yang dapat diterapkan dalam
pendekatan ini adalah dengan cara mempelajari jiwa seseorang melalui perilaku
yang tampak yang mungkin saja dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam
hal ini, pendekatan psikologis tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu
agama atau keyakinan yang dianut seseorang, melainkan dengan mementingkan
bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku
penganutnya. Pendekatan ini dapat dilakukan ketika berhadapan dengan masalah
sikap dan perilaku yang ditampakkan oleh para pemeluk agama.
Psikologi agama mempelajari
motif-motif, tanggapan-tanggapan, reaksi-reaksi dari psiki manusia, pengalaman dalam
berkomunikasi dengan yang Supranatural yang sangat mengasyikkan dan sangat
dirindukan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa psikologi agama adalah cabang
psikologis yang menyelidiki sebab-sebab dan ciri psikologis dari sikap-sikap
religius atau pengalaman religius dan berbagai fenomena dalam individu yang
muncul dari atau menyertai sikap dan pengalaman tersebut.[13]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.
Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk
merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para Nabi agar
hendaknya Tuhan itu dapat dipahami karena dinamis dalam konteks ruang dan
waktu.
2.
Pendekatan sosiologis menganalisa manusia dalam masyarakat, dengan proses
pemahaman mulai dari masyarakat ke individu.[1] Sosiologi agama dirumuskan
secara luas sebagai suatu studi tentang interrelasi dari agama dan masyarakat
serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antarmereka.
3.
Yang menjadi fokus penelitian dengan pendekatan antropologi agama secara
umum adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk budaya yang
meliputi 1) pola-pola keagamaan manusia dari perilaku bentuk-bentuk agama
primitif yang mengedepankan magic, mitos, animisme, totemisme, paganisme
pemujaan terhadap roh dan polyteisme, sampai pola keberagaman masyarakat
industri yang mengedepankan rasionalisme dan keyakinan monoteisme; 2) agama dan
pengungkapannya dalam bentuk mitos, simbol, ritual, upacara pengorbanan,
selamatan; 3) pangalaman religius yang meliputi meditasi, doa, mistisisme,
sufisme.
4.
Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau
paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai
sesuatu yang berada di balik objek formalnya.
5.
Melalui pendekatan sejarah, peneliti dapat melakukan periodisasi atau
derivasi sebuah fakta, dan melakukan rekonstruksi proses genesis (perubahan dan
perkembangan).
6.
pendekatan Psikologis diartikan sebagai penerapan metode-metode
dan data psikologis ke dalam studi tentang keyakianan dan pemahaman keagamaan
untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang, atau dengan kata lain,
pendekatan psikologis merupakan pendekatan keagamaan dengan menggunakan
paradigma dan teori-teori psikologis dalan memahami agama dan sikap keagamaan
seseorang.
[1]Nyoman
Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra (Cet. IX;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 59
[1]Imam
Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Cet. I;
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 58.
[2]Imam
Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 59.
[3]Supiana,
Metodologi Studi Islam (Cet. II; Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Agama Islam, 2012), h. 77.
[6]Nyoman
Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra (Cet. IX;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 59
[7]Imam
Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 61.
[8]Wardah,
“Pendekatan Dalam Studi Islam”, Blog Wardah. http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/pendekatan-dalam-studi-islam.html
(17 April 2017)
[10]Imam
Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 63.
[11]Riyan Aulia, “Pengertian Pendekatan Dalam Memahami Agama”, Pramuka. 26
Juni 2015 http://ragam-news.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-pendekatan-dalam-memahami.html
(17 April 2017).
[12]Imam
Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 66-67.
[13]Imam
Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar