Selasa, 13 Juni 2017

Penelitian Sosial Agama

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Perkembangan penelitian agama menunjukkan semakin beragamnya objek dan metode yang digunakan. Menurut Dhavamony, objek penelitian agama adalah fakta agama dan pengungkapannya. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Al-qur’an dan Hadits tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab mana kala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis, normative, antropologis, sosiologis, psikologis, historis dan pendekatan filosofis, serta pendekatan-pendekatan lainnya. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.

B.   Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah yakni:
1.      Apa yang dimaksud dengan pendekatan teologi-normatif?
2.      Apa yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis?
3.      Apa yang dimaksud dengan pendekatan antropologis?
4.      Apa yang dimaksud dengan pendekatan filosofis?
5.      Apa yang dimaksud dengan pendekatan historis?
6.      Apa yang dimaksud dengan pendekatan psikologis?
                                                                                 BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pendekatan Teologis-Normative
Dalam studi Islam tampaknya tidak bisa mengingkari adanya kemungkinan bahwa dalam perkembangannya sebuah agama mengalami penyimpangan dalam hal doktrin dan prakteknya. Tetapi arogansi teologis yang memandang agama lain sebagai sesat sehingga harus dilakukan pertobatan dan jika tidak berarti pasti masuk neraka, merupakan sikap menjauhkan dari nilai keberagamaan yang kasih dan santun dalam mengajak kepada jalan kebenaran. Arogansi teologis ini terjadi tidak saja dihadapkan pada pemeluk agama lain tetapi juga terjadi secara internal dalam suatu komunitas seagama. Sebenarnya, baik dalam Yahudi, Kristen maupun Islam, sejarah membuktikan pada kita bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara satu aliran teologi dengan aliran lain.
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif. Cara berfikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi yang mendukung.
Dalam Encyclopedia of Religion and Religions, dikatakan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan da hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali diperluas mencakup seluruh bidang agama. Dengan demikian, teologi memiliki pengertian luas dan identik dengan ilmu agama itu sendiri.
Dalam diskurs ilmiah, teologi memiliki arti yang khusus. Teologi menurut Pidekso, sebagai upaya seluruh orang yang beriman dalam menangkap, memahami serta memberlakukan kehendak Tuhan melalui konteksnya.  Menurut Darmaputera, teologi selalu bertitik tolak dari asumsi dasar, bahwa Allah yang kita percayai adalah Allah yang berfirman, Allah yang menyatakan kehendak-Nya, disepanjang masa bagi seluruh umat manusia dimana saja.[1]
Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para Nabi agar hendaknya Tuhan itu dapat dipahami karena dinamis dalam konteks ruang dan waktu. Pendekatan teologis dalam studi agama disebut juga pendekatan normatif dalam studi agama itu sendiri. Secara umum, metode teologis/normative dalam studi agama bertujuan untuk mencari pembenaran dari suatu ajaran agama atau dalam rangka menemukan pemahaman keagamaan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara normatif idealistik.[2]
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi Islam dari apa yang tertera dalam teks Alquran dan Hadits[3] Dalam Islam, metode teologis khususnya teologi intelektual telah melahirkan ilmu-ilmu keagamaan yang mantap, baik objek maupun metodologinya. Ilmu-ilmu keagamaan itu antara lain ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqih, ilmu akhlak tasawuf dan ilmu kalam yang memiliki masing-masing memiliki cabang ilmu pembantu.
Menurut Hadidjah dan Karman al-Kuninganiy pendekatan normatif mempunyai cakupan sangat luas.Pada umumnya pendekatan yang digunakan oleh ahli ushul fikih (ushuliyyin), ahli hukum Islam (fuqaha) dan ahli tafsir (mufassirin) dan ahli hadits (muhaditsin) yang berusaha menggali aspek legal-formal ajaran Islam dari sumbernya selalu menggunakan pendekatan teologi/normatif. Demikian pula untuk bidang bidang lain, seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan dibangun berdasarkan dalil-dalil tekstual yang terdapat dalam ajaran agama.[4]
B.   Pendekatan Sosiologis
Agama disamping sebagai sebuah keyakinan juga merupakan gejala sosial, artinya agama-agama yang dianut melahirkan berbagai perilakau sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Kadang–kadang perilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial. Untuk menggambarkan gejala sosial keagamaan dengan baik, peneliti dapat menggunakan pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis adalah peneliti menggunakan logika-logika dan teori sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan serta pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain.[5] Pendekatan sosiologis menganalisa manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu.[6] Sosiologi agama dirumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang interrelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antarmereka. Anggapan para sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasan, dan kelembagaan agama mempengaruhi, dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang tepat. Jadi, seorang sosiolog agama bertugas menyelidiki bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi mereka.[7]
Sosiologi agama mempelajari aspek sosial agama. Objek penelitian agama dengan pendekatan sosiologi menurut Keith A. Robert memfokuskan pada:
1.      Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan (meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembubarannya);
2.      Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut (proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan proses ritualnya);
3.      Konflik antarkelompok.
Yang dimaksud dengan kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan adalah pranata-pranata sosial yang menjadi infrastruktur tegaknya agama dalam masyarakat meliputi organisasi keagamaan (sekte, gereja/ormas keagamaan), pemimpin keagamaan (ulama, kiai, pendeta), pengikut suatu agama (jamaah, warga), upacara-upacara keagamaan (ritus, ibadah, kebaktian, doa), sarana peribadatan (mesjid, gereja, pura), dan psoses sosialisasi doktrin-doktrin agama (sekolah, pesantren, mesjid, gereja).
Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
1.      Dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus (satu ayat ibadah) (seratus ayat muamalah/masalah sosial).
2.      Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3.      Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
4.      Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5.      Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.[8]
C.   Pendekatan Antropologis
Berbeda dengan penelitian sosiologi yang mengkaji tentang masyarakat modern, antropologi lebih menekankan pada masyarakat primitif. Antropologi sosial agama berkaitan dengan soal-soal upacara, kepercayaan, tindakan, dan kebiasaan yang tetap dalam masyarakat sebelum mengenal tulisan yang merujuk pada apa yang dianggap suci dan supernatural. Saat ini terdapat kecenderungan atropologi tidak hanya digunakan untuk meneliti masyarakat primitif, melainkan juga masyarakat yang kompleks dan maju, menganalisis simbolisme dalam agama dan untuk studi agama dan mitos. Antropologi agama memandang agama sebagai fenomena kultural dalam pengungkapannya yang beragam, khususnya tentang kebiasaan, pribadatan, dan kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial.
Pada awal perkembangannya, sosiologi merupakan ilmu untuk mempelajari masyarakat Barat, masyarakat industri, dan masyarakat berperadaban, sedangkan antropologi digunakan untuk mempelajari masyarakat kulit berwarna, masyarakat terbelakang, dan masyarakat yang belum berperadaban. Namun sekarang baik sosiologi maupun antropologi telah digunakan untuk mengkaji masyarakat modern. Keduanya sama-sama mempelajari manusia sebagai makhluk sosial budaya. Perbedaannya adalah sosiologi mengkaji tentang hubungan manusia dengan manusia lain (aspek sosial), sedangkan antropologi lebih menekankan pada keunikan dan keanehan masyarakat (aspek budaya).
Pada prinsipnya, Sosiologi merupakan sebuah kajian ilmu yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain. Pendekatan Sosiologi merupakan sebuah pendekatan dalam memahami Islam dari kerangka ilmu sosial, atau yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain.[9]
Yang menjadi fokus penelitian dengan pendekatan antropologi agama secara umum adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk budaya yang meliputi 1) pola-pola keagamaan manusia dari perilaku bentuk-bentuk agama primitif yang mengedepankan magic, mitos, animisme, totemisme, paganisme pemujaan terhadap roh dan polyteisme, sampai pola keberagaman masyarakat industri yang mengedepankan rasionalisme dan keyakinan monoteisme; 2) agama dan pengungkapannya dalam bentuk mitos, simbol, ritual, upacara pengorbanan, selamatan; 3) pangalaman religius yang meliputi meditasi, doa, mistisisme, sufisme.
Unit analisis dari pendekatan antropologi ini bisa berupa individu, kelompok/organisasi dan masyarakat, benda-benda bersejarah, buku, prasasti, cerita-cerita rakyat.[10]
D.  Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formalnya. Dengan kata lain, pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk menjelaskan apa dibalik sesuatu yang nampak. Agama itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Keterkaitan antara keduanya terfokus pada rasionalitas, kita dapat menyatakan bahwa suatu pendekatan filosofis terhadap agama adalah suatu proses rasional.
 Kajian Islam yang berpikir secara filosofis dapat digunakan dalam memahami agama dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara saksama. Tujuan pendekatan filosofis agar seseorang dapat merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya agar sesorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian ibadah haji yang dilaksanakan dikota Mekkah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk,gerak ibadah (manasik) yang sama dikerjakan dengan yang lainya. Kesimpulan demikian itu bisa terjadi manakala seseorang hanya memahami bentuk lahiriah dari kisah tersebut. Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman agama yang bersifat formal. Filsafat juga mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.[11]
Pendekatan filosofis ini sebenarnya sudah banyak dilakukan sebelumnya, diantaranya Muhammad al Jurjawi yang menulis buku berjudul Hikmah Al Tasyri’ wa Falsafatuhu. Dalam buku tersebut Al Jurjawi berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam, misalnya ajaran agama Islam mengajarkan agar melaksanakan sholat berjamaah dengan tujuan antara lain agar seseorang dapat merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain, dan lain sebagainya. Makna demikian dapat dijumpai melalui pendekatan yang bersifat filosofis.
Dengan menggunakan pendekatan filosofis seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang didapatkan dari pengamalan agama hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam kelima dan berhenti sampai disitu saja. Tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun demikian pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik. Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya.
E.   Pendekatan Historis
Menurut Siddiqi, karakter yang menonjol dari pendekatan sejarah tentang signifikansi waktu dan prinsip-prinsip kesejarahan tentang individualitas dan perkembangan. Melalui pendekatan sejarah, peneliti dapat melakukan periodisasi atau derivasi sebuah fakta, dan melakukan rekonstruksi proses genesis (perubahan dan perkembangan). Dengan sejarah, dapat diketahui asal-usul pemikiran/ pendapat/ sikap tertentu dari seorang tokoh/ mazhab/ golongan. Melalui sejarah dapat diketahui stereotype keberagaman suatu kelompok dan sikap suatu kelompok-kelompok lainnya.
Penelitian agama tidak dapat dipisahkan dari pendekatan sejarah. Bahkan keabsahan suatu agama dapat diketahui/ ditentukan oleh mata rantai sejarahnya dengan agama-agama sebelumnya sampai sekarang. Disisi lain manusia adalah makhluk yang menyejarah karena hidupnya terikat pada dimensi waktu (masa lalu, masa kini dan masa depan). Masa lalu dapat menjadi modal seseorang atau bangsa untuk meraih sukses di masa depan.
Koentowijoyo mengatakan bahwa pada dasarnya isi kandungan dari al-Qur’an terbagi atas dua bagian yakni pertama konsep-konsep dan yang kedua kisah sejarah/perumpamaan. Bagian yang berisi konsep harus dikaji melalui pendekatan ilmiah (sains dan teknologi) sedangkan bagian yang berupa sejarah harus dikaji dengan penedekatan sejarah. Sejrah bukan hanya pengetahuan tentang peristiwa masa lalu melainkan sebuah hikmah dan kebenaran.
Pendekatan sejarah dijadikan sebagai metode penelitian agama atau dasar metodenya, bukan materinya. Karakter yang menonjol dalam pendekatan sejarah adalah signifikansi waktu dan prinsip-prinsip kesejarahan tentang individualitas dan perkembangan. Melalui penelitian sejarah, kita dapat mengetahui asal mula situasi yang melahirkan suatu ide dari seorang tokoh.[12] Melalui analisis sejarah pula, dapat diketahui bahwa seseorang tokoh dalam berbuat atau berfikir sesungguhnya dipaksa oleh keinginan-keinginan dan tekanan-tekanan yang muncul dari dirinya sendiri.
F.   Pendekatan Psikologis
Psikologis agama adalah studi mengenai aspek psikologis dari prilaku beragama, baik sebagai individu maupun sebagai secara berkelompok/anggota-anggota dari suatu kelompok. Aspek psikologis dari perilaku beragama berupa pengalaman religius, seperti:
1.      Ketika seseorang berada di puncak spiritual, seperti mi’rajnya Nabi menghadap sang Khalik, atauu ketika seorang muslim khusyu saat sholat, atau kristiani dalam doa dan nyanyian.
2.      Ketika seseorang menerima wahyu/ ilham/ mendengar suara hati, ketika berkomunikasi dengan sang Khalik, yang Ilahi dan supranatural.
3.      Ketika suatu kelompok larut dalam suasana emosional dan sekaligus spiritual seperti kaum syi’ah, memperingati tragedi Karballa pada tanggal 10 asyyura, atau ketika warga NU menyelenggarakan istighasah.
4.      Ketika mengalami masa liminalitas yaitu masa yang tidak menentu, kacau, ambigu, menghadapi cobaan/ tantangan seperti saat salah satu anggota keluarga/ orang yang dicintai meninggal dunia, seorang ibu yang melahirkan, seorang perawan akan menuju pelaminan, seseorang uyang akan merantau di tempat yang jauh dan sebagainya.
Psikologi mempelajari tentang jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati. Dalam konteks studi agama, pendekatan Psikologis diartikan sebagai penerapan metode-metode dan data psikologis ke dalam studi tentang keyakianan dan pemahaman keagamaan untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang, atau dengan kata lain, pendekatan psikologis merupakan pendekatan keagamaan dengan menggunakan paradigma dan teori-teori psikologis dalan memahami agama dan sikap keagamaan seseorang. Salah satu cara yang dapat diterapkan dalam pendekatan ini adalah dengan cara mempelajari jiwa seseorang melalui perilaku yang tampak yang mungkin saja dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam hal ini, pendekatan psikologis tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau keyakinan yang dianut seseorang, melainkan dengan mementingkan bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya. Pendekatan ini dapat dilakukan ketika berhadapan dengan masalah sikap dan perilaku yang ditampakkan oleh para pemeluk agama.
Psikologi agama mempelajari motif-motif, tanggapan-tanggapan, reaksi-reaksi dari psiki manusia, pengalaman dalam berkomunikasi dengan yang Supranatural yang sangat mengasyikkan dan sangat dirindukan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa psikologi agama adalah cabang psikologis yang menyelidiki sebab-sebab dan ciri psikologis dari sikap-sikap religius atau pengalaman religius dan berbagai fenomena dalam individu yang muncul dari atau menyertai sikap dan pengalaman tersebut.[13]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.      Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para Nabi agar hendaknya Tuhan itu dapat dipahami karena dinamis dalam konteks ruang dan waktu.
2.      Pendekatan sosiologis menganalisa manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu.[1] Sosiologi agama dirumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang interrelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antarmereka.
3.      Yang menjadi fokus penelitian dengan pendekatan antropologi agama secara umum adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk budaya yang meliputi 1) pola-pola keagamaan manusia dari perilaku bentuk-bentuk agama primitif yang mengedepankan magic, mitos, animisme, totemisme, paganisme pemujaan terhadap roh dan polyteisme, sampai pola keberagaman masyarakat industri yang mengedepankan rasionalisme dan keyakinan monoteisme; 2) agama dan pengungkapannya dalam bentuk mitos, simbol, ritual, upacara pengorbanan, selamatan; 3) pangalaman religius yang meliputi meditasi, doa, mistisisme, sufisme.
4.      Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formalnya.
5.      Melalui pendekatan sejarah, peneliti dapat melakukan periodisasi atau derivasi sebuah fakta, dan melakukan rekonstruksi proses genesis (perubahan dan perkembangan).
6.      pendekatan Psikologis diartikan sebagai penerapan metode-metode dan data psikologis ke dalam studi tentang keyakianan dan pemahaman keagamaan untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang, atau dengan kata lain, pendekatan psikologis merupakan pendekatan keagamaan dengan menggunakan paradigma dan teori-teori psikologis dalan memahami agama dan sikap keagamaan seseorang.




[1]Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra (Cet. IX; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 59



[1]Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 58.
[2]Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 59.
[3]Supiana, Metodologi Studi Islam (Cet. II; Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam, 2012),  h. 77.
[4]Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2004), h. 7-8.
[5]Maftukhin, Nuansa Studi Islam (Yogyakarta : Teras, 2010),h. 114
[6]Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra (Cet. IX; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 59
[7]Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 61.
[8]Wardah, “Pendekatan Dalam Studi Islam”, Blog Wardah. http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/pendekatan-dalam-studi-islam.html (17 April 2017)
[9]Supiana, Metodologi Studi Islam, h. 90.
[10]Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 63.
[11]Riyan Aulia, “Pengertian Pendekatan Dalam Memahami Agama”, Pramuka. 26 Juni 2015 http://ragam-news.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-pendekatan-dalam-memahami.html (17 April 2017).
[12]Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 66-67.
[13]Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar