Selasa, 13 Juni 2017

Hukum Islam Persepektif Paradigma Baru Keilmuan

Hukum Islam Persepektif
Paradigma Baru Keilmuan










Revisi Makalah
Mata Kuliah
Sejarah Pemikiran Islam
Semester II Tahun Akademik 2016

Oleh:
Marwan Fadhel
NIM. 80100215003


Dosen Pemandu:
Dr. Abdillah Mustari , M. Ag
Dr. Kurniati, M.Hi


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
M A K A S S A R
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum yang diperkenalkan oleh al-Quran bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian integral dari aqidah yang diimani. Aqidah tentang Alloh yang menciptakan alam semesta, mengatur, memelihara dan menjaganya sehingga segala makhluk itu menjalani kehidupannya dengan baik dan melakukan fungsinya masing-masing dengan tertib.
Penemuan hukum-hukum alam memberikan informasi yang   jelas kepada kita betapa alam raya ini bergerak menurut ketentuan-ketentuan hukum alam yang mengaturnya.   Selanjutnya hukum yang mengatur kehidupan manusia ini kadang memiliki perbedaan mendasar, yaitu menyangkut pemahaman hukum menurut ilmu hukum dengan hukum Islam yang bersumber dari al-Quran. Menurut ilmu hukum, hukum itu hanya mengurus dan mengatur hubungan antar sesama manusia. Hukum itu hanya terdiri dari suruhan atau perintah dan larangan serta hak dan kewajiban. Apa yang dimaksud dengan nilai moral dan akhlak tidak tergolong hukum. Sebaliknya hukum menurut ajaran al-Quran (hukum Islam), penegakan hukum berjalan sekaligus dengan pembinaan moral atau akhlak yang bersumber dari aqidah.[1]
Seiring dengan perkembangan metode taqnin dan dibukanya kembali pintu ijtihad, maka paradigma keilmuan dalam hukum Islam pun berjalan terus memenuhi tuntutan kebutuhan manusia dan terus beradaptasi dengan perkembangan sains moderen. Sebagai konsekwensinya  lahirlah beberapa produk pemikiran hukum Islam, yang oleh Ahmad Rafiq menyebutnya ada empat, yaitu fiqh, fatwa ulama, putusan pengadilan (yurisprudensi) dan undang-undang.[2]
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam juga sangat membutuhkan produk-produk hukum yang sejalan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, keempat produk pemikiran hukum Islam di atas harus berjalan secara sinerjik sesuai kebutuhan hukum masyarakat Islam Indonesia. Akan tetapi bila dicermati lebih jauh, produk-produk pemikiran hukum Islam in seringkali tidak  menyentuh rasa keadilan masyarakat. Itu disebabkan karena hukum tidak dilandaskan pada sebuah konsepsi kebutuhan hukum kontemporer dengan menyertakan pertimbangan visi hukum dan visi sosial. Itulah sebabnya ia tidak menjadi aplikatif dan responsif terhadap irama perkembangan masyarakat.
Apapun produk hukum pasti bersentuhan dengan kehidupan masyarakat.  Terlebih lagi jika hukum tersebut berada pada kerangka pemikiran manusia, karena hal ini akan berkembang mengikuti perkembangan tingkat kecerdasan masyarakat di mana hukum itu diberlakukan. Dalam hal ini salah satu problem yang dihadapi ketika hendak diberlakukan suatu produk hukum adalah  adanya ketidaksesuaian dengan kerangka teori keberlakuan hukum dan kurang memperhatikan paradigma keilmuan.[3]

Menggunakan pendekatan paradigma keilmuan yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis, historis dan empiris.[4]  Maka dapat diketahui kerangka pengujian terhadap efektifitas penerapan pemikiran hukum  Islam.  Dengan  kata  lain  produk  hukutersebut  harus  dapat dianalisa secara kritis, metodologis, mengandung aspek historis dan empiris, sehingga bersifat rasional dan bisa diuji kebenarannya secara ilmiah.
Dalam hal ini fiqh dan fatwa sebagai hasil pemikiran cemerlang dari ulama harus dapat menunjukkan aspek rasionalitasnya yang siap diuji  oleh perkembangan  keilmuan  moderen.  Demikian  pula  dengan  yurisprudensi dan undang-undang  sebagai produk pemikiran para hakim dan legislatif yang  ditunjuk  harus  pula  menampakkan  aspek  ilmiah  dan fungsionalisasinya pada setiap perkembangan pemikiran manusia. Standar yang digunakan adalah melalui kerangka berfikir keilmuan atau paradigma sains.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan pokok masalah sebgai berikut: Bagaiman Hukum Islam dalam persepektif paradigma baru keilmuan? Berdasarkan pokok masalah tersebut dimasukkan sub masalah  sebagai berikut:
1.      Bagaiaman Ontologi Pemikiran Hukum Islam?
2.      Bagaimana Epistimologi Penetapan dan Penerapan Pemikiran Hukum Islam?
3.      Bagaimana Aksiolgi Pemikiran Hukum Islam?
4.      Bagaiaman Paradigma Keilmuan Moderen dan Implikasinya pada Pemikiran Hukum Islam?
C.    Manfaat dan Tujuan
Ada pun yang menjadi tujuan dan manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk Ontologi Pemikiran Hukum Islam
2.      Untuk Epistimologi Penetapan dan Penerapan Pemikiran Hukum Islam
3.      Untuk Aksiolgi Pemikiran Hukum Islam
4.      Untuk Paradigma Keilmuan Moderen dan Implikasinya pada Pemikiran Hukum Islam















 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ontologi Pemikiran Hukum Islam
Ontologi menurut bahasa berasal dari kata onto yang berarti “ada” dan “logos yang berarti “pikiran”.[5] Dalam kamus filsafat disebutkan, kata “ontos berarti berbeda sedang “logos artinya “ilmu pengetahuan, ajaran atau teori”.[6] Selanjutnya, ontologi menurut istilah adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini, bagaimana keadaan yang sebenarnya.[7]
Ontologi dipahami sebagai suatu pengetahuan yang membicarakan tentang hakekat kenyataan yang dapat membedakan anatara yang nyata (the real) dengan yang tidak nyata (the unreal) atau antara kenyataan dengan kenampakan.[8]

5
 
Ontologi produk pemikiran hukum tidak hanya memiliki unsur yang sama, baik dari segi obyek, sumber dan metodologi, tetapi juga lebih jauh ontologi hukum juga berusaha menelusuri apa yang ada di balik obyek, sumber dan metode tersebut. Teori klasik Islam, hukum bersumber kepada kehendak Ilahi, sehingga dinyatakan bahwa Pemberi Hukum (al-Hakim) dalam Islam adalah Allah Yang Maha Bijaksana. Oleh karena itu, setiap usaha penemuan hukum Islam, tidak lain merupakan upaya pencarian dan perumusan kehendak Ilahiah.[9] Kehendak ilahiah itu kemudian  dikenal  dengan  nama  syariah. Dengan kata lain bahwa hukum dalam Islam tidak berdiri sendiri. Hukum Islam tegak di atas landasan teologi yang sangat dalam. Oleh karena itu, konsep-konsep hukum dalam Islam secara fundamental dipengaruhi oleh doktrin-doktrin teologi.
Doktrin-doktrin teologi dalam hukum Islam inilah yang kemudian membedakan hukum Islam dengan produk pemikiran hukum sekuler di Barat. Perbedaan itu bukan hanya terletak pada sikap masyarakat di mana hukum itu masing-masing berlaku, tetapi lebih jauh lagi, antara keduanya dibedakan oleh tujuannya masing-masing. Hukum Islam bertujuan untuk membangun kemaslahatan di dunia dan di akhirat sekaligus, sedangkan hukum sekuler hanya untuk kebaikan/keteraturan di dunia semata.[10]
Konsekuensi logisnya adalah bahwa dalam syariat Islam dikenal konsep pahala bagi orang yang menunaikannya dan dosa atas orang yang melanggarnya, yan akibatnya akan dirasakan oleh manusia di akhirat. Sebagai contoh, dapat dilihat pada perintah melakukan shalat. Perintah itu, meskipun sudah diyakini kebenarannya, tetapi dalil tentang wajibnya shalat tetap dalam keadaan zhanniy, karena tidak ada pengertian atau sebutan yang jelas mengenai wajibnya shalat. Tuhan hanya menyebut (dirikanlah shalat) dan tidak menyebut (wajiblah shalat atau diwajibkan shalat bagimu). Dari sini dapat dipahami ada kemungkinan bahwa shalat itu tidak wajib hukumnya”. Kalaupun sebagai ibadah wajib maka hal itu berada pada substansi shalat yaitu usaha meninggalkan perbuatan keji dan mungkar (QS.29:45), bukan pada kayfiyah shalatnya. Belakangan pengertian tentang wajibnya shalat nanti menjadi jelas setelah mendapatkan keterangan dari dalil lain, misalnya tata cara melaksanakan shalat dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi, dan kenyataan bahwa Nabi Saw, sendiri tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu ,semua ini membuat dalil  tentang wajibnya shalat menjadi kuat dan pasti. Hal in menunjukkan bahwa ayat-ayat Alquran, memang sebagian menjadi pedoman umum (dalam penerapan hukum maupun soal kemasyarakatan) dan sebagian lainnya berfungsi menjadi penjelasan atas yang lain (QS. 2: 185).
Interaksi dasar-dasar hukum tersebut dimaksudkan untuk menetapkan hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama manusia serta alam sekitarnya. Dalam posisi ini, ontologi hukum Islam lebih diarahkan pada pembentukan manusia sebagai hamba Tuhan dan manusia sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, dari sisi ontologis, produk pemikiran hukum Islam tidak mengalami masalah yang serius, juga belum mempunyai pengaruh signifikan dalam upaya transformasi sosial. Kondisi ini dimungkinkan   karena sejak awal obyek kajian hukum Islam adalah Alquran dan Hadis Nabi Saw yang selalu direfleksikan pada dua hubungan, yaitu hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.


B.     Epistemologi Penetapan dan Penerapan Pemikiran Hukum Islam
Pada kajian epistemologi, membahas secara mendalam segala proses   penyusunan pengetahuan yang benar. Dengan kata lain bahwa epistemologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji bagaimana cara mendapatkan pengetahuan.
Jika  pemaknaan  ini  dibawa  ke  dalam  pembahasan  hukum  Islam, maka yang dimaksud epistemologi penetapan dan penerapan hukum Islam adalah bagaimana mengetahui pesan-pesan  syar’i (Tuhan sebagai  pembuat hukum), dan RasulNya Muhammad saw, melalui firman yang termaktub di tengah kehidupan masyarakat yang terus berkembang.
Sejak dunia Islam bersentuhan dengan filsafat Yunani pada abad pertengahan lalu   kemudian   muncullah   filosof-filosof   Islam   kenamaan seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, sejak itu maka teori pengetahuan pun berkembang di dunia Islam, seperti pengetahuan rasional, pengetahuan inderawi (empirisme)  dan pengetahuan Kasyb yang diperoleh melalui ilham.
Secara garis besar sejak periode yang paling awal, setelah wafatnya Rasulullah para ulama telah merumuskan sumber hukum Islam (al-Quran dan Hadis).   Namun dalam perkembangan selanjutnya terjadi semacam perbedaan dalam   merumuskan dua sumber di atas, yakni berhadapan dengan unsur-unsur otonomi manusia.
Perbedaan-perbedaan itu selanjutnya terjadi karena: Perbedaan dalam memberikan arti bahasa, cara penerimaan suatu Hadis, penyelesaian nash yang saling bertentangan, perbedaan  dalam  penggunaan  qiyas,  perbedaan  dalam menggunakan dalil tertentu, misalnya istihsan, istishab dan   istislah, dan perbedaan dalam penggunaan  dan  kedudukan  suatu lafal.[11]
M. Arkoun menyebutkan bahwa para ulama-ulama mujtahid pada abad kedua dan ketiga hijriyah telah menerapkan prosedur-prosedur penalaran independent untuk mendeduksikan (istinbath) hukum dengan bertolah dari naskah-naskah (nusus). Prosedur itu ada tiga: Menentukan yang lebih baik (istihsan), menentukan kepentingan yang dianggap baik (istislah), dan penalaran analogis (qiyas).[12]
Dengan demikian, secara epistemologis sebenarnya hukum Islam kaya akan metodologi penalaran dan pembentukan hukum yang digali dari al-Quran dan Sunnah. Meskipun terdapat perdebatan di kalangan ulama menyangkut interaksi nash-nash tersebut dengan pemikiran manusia, namun kesemuanya tegas terangkum dalam dua kata kunci pemikiran muslim, yaitu ijtihad sebagai upaya personal dalam merumuskan ajaran, dan taqlid sebagai ketundukan dengan tulus pada ajaran seorang guru.
Kedua kata kunci tersebut (ijtihad dan taqlid) adalah dua pengertian kolektif yang dapat koeksistensi dalam diri seorang ulama. Hasbi Ash Shiddieqy, seorang pembaharu dalam alam pikiran Islam Indonesia abad ke 20 khususnya dalam bidang hukum Islam, telah merefleksikan kedua kata kunci tersebut dalam rangka mencari format hukum Islam yang sesuai dengan masyarakat Indonesia.
Upaya yang dilakukan Hasbi dalam penggalian hukum (sebagai hasil refleksinya), sebagaimana dijelaskan oleh putera beliau Nourouzzaman Shiddiqi, bahwa Hasbi menggunakan metode analogi deduksi. Hasbi menggunakan metode komparasi, yakni membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat lain dari seluruh aliran hukum yang ada atau pernah ada, dan memilih mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dan didukung oleh dalil yang kuat.[13]
Oleh karena itu, dalam tinjauan epistemologi hukum Islam, kita mengenal kurang lebih tujuh metode yang digunakan para ulama mujtahid untuk menetapkan dan menerapkan pemikiran hukum Islam, yaitu;
a.       Ijma‟, adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa.   Lebih khusus lagi ijma’ adalah ketetapan hati atau kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw. pada suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah saw. terhadap suatu hukum syara. Ijma’ dalam artkesepakatan seluruh  ahli hukusaat  ini  sulit  dicapai  mengingat  luasnya  bagian  dunia  yang didiami oleh umat Islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya. Oleh karena itu, ijma’ yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa kedua khulafaur Rasyidin. Sekarang ijma’ hanya  berarti persetujuan dan kesesuaian pendapat di suatu tempat  mengenai tafsiran ayat-ayat (hukum) tertentu dalam al-Quran[14]
b.      Qiyas ialah mempersamakan hukum peristiwa yang belum ada ketentuannya, karena antara kedua peristiwa tersebut terdapat segi-segi persamaan illat (penyebab atau alasannya).[15]  Qiyas merupakan ukuran akal budi untuk membanding suatu hal dan hal lain. sebagai contoh, adanya larangan meminum khamar. Yang menyebabkan minuman itu dilarang adalah illatnya yakni memabukkan. Oleh karena itu, setiap minuman yang memabukkan, dari apapun dibuat, hukumnya sama dengan khamar, yaitu dilarang untuk diminum. Jadi minuman yang memabukkan itu diqiyaskan dengan khamar sehingga dilarang diminum dan diperjualbelikan untuk umum.
c.       Maslahah al-Mursalah ialah   car menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya, baik dalaAlquran maupun kitab-kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum. Maslahah al-Mursalah  dalam  epistemologi  hukum Islam secara hakiki meliputi: [16]
a)      Keselamatan keyakinan agama;
b)      Kesehatan jiwa;
c)      Keselamatan akal;
d)     Keselamatan keluarga dan keturunan;
e)      Keselamatan harta benda.
d.       Istihsan    ialah    metode    penetapan    hukum    suatu    masalah    dan meninggalkan yang lainnya, karena adanya indikasi yang lebih kuat dan lebih bersifat khusus.[17] Dengan kata lain bahwa istihsan adalah cara menetapkan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
e.        Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menuru keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan kata lain istishab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya.
f.       Adat-istiadat atau ‘Urf yaitu kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun perbuatan. ‘Urf adalah suatu metode penetapan hukum Islam selama tidak bertentangan dengan nash. Para ulama menerimanya  sebagai  dalil  hukuyang  tidak  mandiri,  tetapi  harus terkait dengan dalil lain yang sunnah.[18]
Jika  epistemologi  hukum  Islam  di  atas  dapat  dikembangkan  oleh para ulama  mujtahid  saat ini, maka tidak ada masalah yang timbul dalam masyarakat yang tidak dapat dipecahkan dan ditentukan hukumnya.
Dengan demikian, upaya pengembangan epistemologi hukum Islam adalah suatu kebutuhan umat yang harus dipenuhi. Akan tetapi dalam penerapan hukum Islam yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kebutuhan hukum masyarakat harus memperhatikan asas-asas penerapan syariat yaitu: [19]
1.      Tidak memberatkan,
2.      Tidak memperbanyak beban,
3.      Bertahap.
C.    Aksiologi Pemikiran Hukum Islam
Menurut Soejono Soekanto konsep aksiologi hukum Islam itu mempunyai tiga aspek pokok, yaitu:[20]
1.   Aspek kognitif
Aspek kognitif ini berkaitan dengan rasio atau pikiran. Misalnya nilai suat perkawinan menurut adat istiadat dan  agama Secar kognitif perkawinan merupakan suatu pergaulan antara dua manusia yang berbeda jenisnya, yang dilakukan secara teratur menurut hukum Islam maupun hukum adat yang dianut oleh masyarakat setempat.
2. Aspek Afektif
Aspek ini berkaitan dengan perasaan atau emosi. Misalnya perkawinan di atas juga merupakan pergaulan hidup yang menghasilkan ketentraman pada keluarga yang terbentuk karena perkawinan itu.
3. Aspek Konatif
Aspek Konatif ini berhubungan dengan penyerahan diri kedua aspek sebelumnya, yang berkaitan dengan kehendak (untuk  berbuat  atau  tidak berbuat) Misalnya keserasian antara ketertiban dan keteraturan dalam perkawinan, menghasilkan suatu kehidupan damai dalam keluarga.
Teori-teori hukum, biasanya dibedakan antara empat macam hal hukum sebagai norma (nilai).  Empat unsur itu adalah:
a.       Norma hukum tersebut berlaku secara filosofis, falsafa, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Di dalam hukum Islam  dikena dengan  Maqasid  al-Tasyri dan   Asrar  al-Tasyri, yang rumusan hukumnya dibentuk melalui al-qawaid al-fiqhiyah.
b.      Norma hukum berlaku secara yuridis, ushuliyah, apabila penentuannya didasarkan pada norma yang lebih tinggi tingkatannya dan dibentuk menurut metode yang sahih. Dalam hal hukum Islam, tentu saja berdasarkan al-Quran dan  al-Sunnahdengan memakai metode istinbat, memakai ilmu Usul al-Fiqh dan Qawaid Al-fiqh.
c.       Norma hukum berlaku secara legality, qanuniyah, apabila norma tersebut efektif. Artinya norma tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun belum diterima oleh warga masyarakat. Jadi norma hukum itu dilembagakan melalui prosedur perundang-undangan, yang dikenal dalam hukum Islam dengan al-Taqnin (dilembagakamenjadi undang-undang atau kodifikasi hukum Islam).
d.      Norma hukum berlaku secara sosiologis, waqiah ijtimaiyah, apabila norma tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat; hukum yang  hidup di tengah-tengah masyarakat,  hukum  Islam  di  Indonesia sebagian  besar  masih  pada  taraf  ini,  yakni  diterima  oleh  masyarakat Indonesia (umat Islam).[21]
Dari keempat unsur tersebut, agar hukum Islam berfungsi dalam masyarakat harus ada faktor pendukung, yaitu fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan norma hukum Islam di tengah-tengah masyarakat.
D.    Telaah Kritis Paradigma  Keilmuan  Moderen  dan  Implikasinya  pada Pemikiran Hukum Islam.
Konsep paradigma, pertama kali dikemukakan oleh Thomas S. Kuhn (1962) melalui karyanya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution.[22] Secara etimologis, paradigma berasal dari kata-kata dalam bahasa Yunani  yaitpara(di  samping atau  berdampingan)  dan deigma (contoh). Sedang secara terminologi, paradigma adalah pedoman (contoh) yang dipakai untuk menunjukkan sistem pemikiran, bentuk kasus dan pola pemecahannya.[23]
Prinsip-prinsip dasar paradigma sains yang dimaksud adalah obyektif, empiris, deskriptif dan rasional (logic).[24] Prinsip inilah yang kemudian digunakan sebagai jaminan kebenaran bagi paradigma keilmuan moderen. Untuk lebih jelasnya dapat penulis jabarkan sebagai berikut:
a.       Obyektif, yaitu  bahwa  paradigma  keilmuan  moderen  merupakan  satu- satunya ilmu yang otentik, yaitu ilmu yang hanya bersangkut paut dengan fenomena dan dapat berubah dalam zaman yang lain.[25]
b.      Empiris,  yaitu  bahwa  apa yang diterima  oleh  paradigma  keilmuan  moderen hanyalah    teori-teori    yang    dapat    direduksi    kepada    unsur-unsur inderawi,walaupun teori-teoritu mungkin melibatkan gagasan-gagasan yang melampaui jangkauan pengalaman empiris. Paradigma keilmuan yang berprinsip pada empiris ini juga selalu menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati dan dianalisis.[26]
c.       Deskriptif, artinya menggambarkan atau menguraikan sesuatu hal menurut apa adanya.[27] Dalam prinsip ini paradigma keilmuan hanya bisa menjelaskan sesuatu sesuai dengan realitas obyek yang validitas yang bisa dipertanggungjawabkan.
d.      Rasional (logic), yaitu bahwa paradigma keilmuan  moderen    itu  selalu bersandar pada nalar dan dalam menguraikan sesuatu berdasarkan urutan pernyataan yang satu dengan pernyataan berikutnya.
Prinsip-prinsip tersebut masing-masing memiliki indikator yang menunjukkan adanya pemaduan paradigma keilmuan moderen dengan paradigma hukum Islam. Konsepsi pemaduan tersebut beserta indikator- indikatornya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Wahyu, merupakan  sumber  utama  pemikiran  hukum  Islam  menempati posisi paling atas dalam paradigma hukum Islam, baik sebagai induktif maupun deduktif. Sebagai induktif, wahyu dijadikan tempat konsultasi untuk pemikiran hukum, sedang sebagai deduktif, wahyu dijadikan tempat bertolak lalu diturunkan menjadi acuan ijtihad.
b.      Obyektivitas, adalah prinsip keilmuan moderen yang memandang suatu pernyataan keilmuan hanya dibuat atas dasar bukti atau pada hal-hal yang dapat  diamati,  maka  dalaIslaobyektivitasuatu hukum, setelah berdasarkan bukti-bukti, ia lebih memiliki keberpihakan pada kebenaran dan keadilan, bukan pada kepentingan si pemilik bukti- bukti tersebut.
c.       Empiris, adalah prinsip paradigma keilmuan moderen yang memandang validitas suatu pernyataan sains bergantung pada bukti-bukti pelaksanaan yang sudah teruji.
d.      Deskriptif adala prinsi paradigm keilmua yan hany dapat menjelaskan sesuatu apa adanya sesuai dengan realitas yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting diperhatikan agar orang yang melakukan pemaknaan dapat terhindar dari tekanan-tekanan politis dan psykis yang mungkin bisa mempengaruhi pengambilan sebuah putusan hukum. Oleh karena itu, integritas moral seorang ilmuan dan hakim sangat menentukan tegaknya supremasi hukum negeri ini.
e.       Logik, adalah  prinsip  paradigma  keilmuan  moderen  yang  menekankan pada urutan atau runtut suatu pernyataan dengan pernyataan yang lain sehingga terjadi kesinambungan. Bagi paradigma hukum Islam, lahirnya  sebuah  produk  hukum  Islam  harus  memiliki  kesinambungan antara sumber hukum (wahyu) dengan pemikiran hukum (ijtihad), antara kebutuhan hukum masyarakat dengan kemampuan multi-disiplinepara mujtahid, dan antara illat hukum yang satu dengan illat hukum yang lain.
Dalam upaya pemaduan paradigma keilmuan moderen dengan paradigma atau pemikiran hukum Islam, maka penulis menawarkan beberapa solusi pendekatan antara lain:
a.       Pendekatan Historis ialah dengan mempelajari perkembangan metodologi hukum Islam terutama pada masa awal Islam hingga saat ini guna dijadikan gambaran awal dalam istinbath hukum Islam ke depan.
b.      Pendekatan sosio-kultural ialah dengan mempelajari aspek-aspek yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk hukum Islam. Pendekatan ini juga dimaksudkan untuk mempelajari basic cultural setiap mujtahid, karena hal ini sangat mempengaruhi kerangka berfikir dan visi hukum mujtahid tersebut.
c.       Pendekatan teleologis-filosofis ialah dengan melakukan rekonstruksi kaedah-kaedah hukum Islam agar tetap sebagai norma hidup umat yang bisa menjamin keselamatan di dunia dan di akhirat. Rekonstruksi kaedah-kaedah ini dilakukan secara sistematis, radikal dan universal agar norma hukum tersebut terasa sebagai suatu kebutuhan hidup yang hakiki.
d.      Pendekatan  sains,  yaitu  dengan  melakukan  survei  disipliner  ilmu-ilmu moderen dan analiskhazanah pemikiran hukum Islam sehingga dapat menentukan relevansi pemikiran Islam terhadap disiplin ilmu-ilmu moderen untuk selanjutnya dianalisa dan disintesis, yaitu dengan memadukan antara metode ilmiah dengan metode hukum normatif. Dengan demikian, para mujtahid dan cendekiawan muslim yang conceren terhadap pemikiran hukum Islam harus memiliki keterbukaan berfikir dengan menghilangkan sikap prejudice terhadap metodologi keilmuan Barat. Sikap keterbukaan ini akan membawa wawasan yang luas dan menghindari upaya kristalisasi terhadap mazhab-mazhab tertentu. Olehnya itu, bagi penulis mazhab-mazhab terdahulu itu hanya dapat dijadikan sebagai manhajadi al-fikr, sedang metodologi keilmuan moderen dapat dikomparasikan untuk mengembangkan hukum Islam di masa mendatang.


`






BAB III
KESIMPULAN
1.      Ontologi hukum Islam lebih diarahkan pada pembentukan manusia sebagai hamba Tuhan dan manusia sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, dari sisi ontologis, produk pemikiran hukum Islam tidak mengalami masalah yang serius, juga belum mempunyai pengaruh signifikan dalam upaya transformasi sosial.
2.      Epistemologis sebenarnya hukum Islam kaya akan metodologi penalaran dan pembentukan hukum yang digali dari al-Quran dan Sunnah. Tinjauan epistemologi hukum Islam, kita mengenal kurang lebih tujuh metode yang digunakan para ulama mujtahid untuk menetapkan dan menerapkan pemikiran hukum Islam, yaitu; Ijma‟, Qiyas, Maslahah al-Mursalah, Istihsan, Istishab, dan ‘Urf.
3.      Teori-teori hukum dibedakan antara empat unsur dalam kondisi hukum sebagi norma (nilai) antaralain yaitu; norma hukum tersebut berlaku secara filisofis, norma hukum berlaku secra yuris, ushuliah, norma hukum berlaku secara legality, qanuniyah, norma hukum berlaku secara sosiologis, waqiah ijma’iyah.
4.      Prinsip-prinsip dasar pemaduan paradigma keilmuan moderen degan pradigma hukum Islam yaitu; wahyu, objektivitas, empiris, deskriptif, logik.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fighi, Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Abdul Salam, Zarkasyi.  Fiqh-Ushul  Fiqh,  Yogyakarta:  Lembaga  StudFilsafat Islam, 1994
Ahmad, Noor, Efistemologi SyaraMencari  Format Baru  Fiqh Indonesia, Cet. I; Yogyakarta: Walisongo Press, 2000.
Arkoun, M, Essais SurLa Pensee Islamique, Cet.I: Bandung; Pustaka, 2000.
Al-Attas,Syed Muhammad Naquib, Islam and the Philosophy of Science, Cet,I; Bandung: Mizan, 1995.
Effendi, Rusli, Teori Hukum, Cet. I; Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1991.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet.V; Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Haq, Hamka, Filsafat Ushul Fiqh, Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000.
Hadi Permana, Syechrul, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Cet.I; Jakarta: UI Press, 1999 .
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Kattsoff, Louis O, Elements of Philosophy, Cet. IV; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989 .
Muallim Amir, dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Cet. I; Yogyakarta: UII-Press Indonesia, 1999.
Muhaimin, dan  Abd.  Mujib, Pemikiran  Pendidikan  Islam,  Kajian  Filosofik  dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Cet. I; Bandung: Trigenda Karya, 1993.
Nasution, Andi Hakim, Pengantar ke Filsafat Sains, Cet. I; Bogor: Litera Antar Nusa, 1989.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Cet.IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Partanto Pius A,  Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia,Cet. III; Jakart: Raja Grafindo Persada, 1998.
Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Soekamto, Soejono, Kamus Sosiologi, Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1983
Suhartono, Suparlan, Konsep Dasar Filsafat Ilmu Pengetahuan, Ujung Pandang: Program Pascasarjana UNHAS, 1997.
Tim Penulis Rosdakarya, Kamus Filsafat, Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Yafie, Ali,  Ke Arah Kontekstualisasi Fiqh, Jakarta: al-Hikmah, 1994.





[1]Ali. Yafie, Ke  Arah  Kontekstualisasi Fiqh (Jakarta: al- Hikmah, 1994),  h. 104.
[2]Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 199),     h. 8,
[3]Soejono Soekamto, Kamus Sosiologi  (Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1983), h. 14.
[4]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 102
[5]Suparlan  Suhartono,  Konsep  Dasar  Filsafat  Ilmu  Pengetahuan (Ujung  Pandang; Pascasarjana UNHAS, 1997), h. 77
[6]Tim Penulis Rosdakarya, Kamus Filsafat (Cet. I; Bandung; Remaja Rosdakarya, 1995),       h. 30
[7]Jalaluddin, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. 69
[8]Louis O Kattsof, Elements of Philosophy, terj: Soejono Soemargo “Pengantar Filsafat” (Cet. IV; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. 193
[9]Amir Mu’allim, dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Islam (Cet. I; Yogyakarta: UII Press Indonesia, 1999), h. 20
[10]Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqih (Makassar: Yayasan Al-Ahakam, 2000), h. 19
[11]Nor Ahmad, Efistimologi Syara’ Mencari Format Baru Fiqh Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Walisongo Press, 2000), h. 7
[12]M, Arkoun, Essais Surla Pensee Islamique, terj; Hidayatullah “Membedah Pemikiran Islam” (Cet. I; Bandung: Pustaka, 2000), h. 22
[13]Nourozzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 69
[14]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indnesia (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 109
[15]Ahmad Hafani, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1993),     h. 33
[16] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 425
[17]Zarkasyi Abdul Salam, Fiqh-Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam 1994) h. 113
[18]Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum-Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana ILmu, 1999), 35
[19]Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqih (Makassar: Yayasan Al-Ahakam, 2000), h. 40
[20]Rusli Efendi, Teori Hukum (Cet. I: Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1991),   h. 35
[21]Syechrul Hadi Permana, Peradilan Agama dan Komplikasi Hukum Islam dalm Tata Hukum Indonesia (Cet. I; Jakarta: UI Press, 1999), h. 130
[22]Yusriyadi, Alternatif Pemikiran Tentang Paradigma Ilmu Hukum Indonesia, dalam “Wajah Hukum di Era Reformasi” (Cet. I Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 42
[23]Partanto Pius A, Kamus Ilmia Populer (Surabaya: Arkola, 1994), h. 566
[24]Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofi dan Kerangka Dasar Operasionalnya (Cet. I; Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 93
[25]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and The Philosophy of Science, terj; Saiful Muzani “Islam dan Filsafat Sains” (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 26
[26]Andi hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains (Cet. I; Bogor: Litera Antar Nusa, 1989), h. 21
[27] Partanto Pius A, Kamus Ilmia Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar