BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ha>l
Ha>l adalah washf
(sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan
memberi keterangan keadaanز
Defenisi ha>l
menurut syarih adalah sifat yang lebihan, dan di-nashab-kan untuk
menunjukkan keadaan, seperti contoh:
فَردًااَذهَبُ = Aku akan pergi sendiri
Lafazh فَردًا berkedudukan sebagai ha>l
karena di dalamnya telah terpenuhi persyaratan yang telah disebutkan.[1]
Dan yang dikecualikan dari perkataan syarih (pen-syarah
kitab alfiyah) “untuk menunjukkan keadaan” ialah tamyiz yang musytaq
seperti dalam contoh berikut:
لِلّٰهِ دَرُّهُ فَارِسًا = hanya bagi
Allahlah kebaikan yang keluar daripada-Nya, yakni penunggang kuda itu (alangkah
hebatnya penunggang kuda itu).
Menurut pendapat yang sahih, lafazh فَارِسًا dalam contoh di atas bukanlah ha>l melainkan tamyiz
karena sesungguhnya makna yang dimaksud bukan menunjukkan makna keadaan
melainkan takjub tentang keahliannya dalam menunggang kuda. Dengan demikian
berarti lafazh فَارِسًا di sini adalah untuk menjelaskan hal
yang ditakjubi, bukan untuk menjelaskan keadaannya.[2]
Dengan istilah lain, ha>l adalah isim nakirah yang manshub
(yang difathahkan baris akhirnya) yang berfungsi untuk menjelaskan “keadaan” fi’il
(pelaku), atau maf’ul (objek) ketika terjadi suatu perbuatan (fi’il).
1. Untuk
menjelaskan keadaan fa’il (pelaku), seperti contoh[3]:
جَاءَزَيدٌرَاكِبًا = Zaid datang dengan berkendara.
Lafazh
رَاكِبًا
berkedudukan sebagai ha>l dari lafazh زَيدٌ
yang
menjelaskan keadaan Zaid waktu kedatangannya.
Seperti yang terdapat dalam Firman Allah Swt. QS.Al-Qashash 28/21:
فَخَرَجَ مِنۡهَا خَآئِفٗا…
Terjemahnya:
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa
takut.”[4]
Lafazh خَاۤئِفًا berkedudukan sebagai ha>l dari fa’il
lafazh
خَرَجَ
yang menjelaskan keadaan Musa waktu keluarnya.
2.
Untuk
menjelaskan keadaan maf’ul (objek), seperti contoh:
رَكِبْتُ
الْفَرْسُ مُسَرَّجًا= Aku telah menunggang kuda seraya berpelana.
Lafazh مُسَرَّجًا berkedudukan sebagai ha>l dari maf’ul
yang menjelaskan keadaan kuda waktu digunakan angkutan di atasnya. Seperti
halnya yang terdapat dalam firman Allah QS. An-Nisa 4/79:
وَأَرۡسَلۡنَٰكَ
لِلنَّاسِ رَسُولٗا
Terjemahnya:
“Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia.”[5]
Lafazh رَسُوْلًا menjadi ha>l dari maf’ul huruf kaf yang
terdapat pada lafazh وَأَرْسَلْنٰكَ
3.
Atau yang menjelaskan keduanya (fi’il
dan maf’ul) seperti dalam contoh:
لَقَيْتُ عَبْدَاللهِ
رَاكِبًا= Aku telah
bertemu Abdullah dengan berkendara
Yang dimaksud “dengan berkendara” itu
ialah bisa Aku atau Abdullah, atau kedua-duanya.[6]
B. Syarat-Syarat
Ha>l
Ada beberapa syarat h}a>l yang harus dipenuhi yakni:
1.
Tidaklah terbentuk h}a>l kecuali dengan nakirah. Apabila
ada h}a>l dengan lafaz ma’rifat,
maka harus di-takwil-kan dengan lafazh nakirah. Seperti pada
contoh:
جَاءَ زَيدٌ وَحْدَهُ
= Zaid telah datang
sendirian.
Taqdir-nya adalah:
جَاءَ زَيدٌ مُنْفَرِدًا = Zaid telah
datang sendirian.
Keterangan:
Lafazh وَحْدَهُ
berkedudukan
sebagai h{a>l sekalipun lafazhnya menunjukkan bentuk ma’rifat,
tetapi maknanya di-takwil-kan nakirah. Bentuk lengkapnya adalah: جَاءَ زَيدٌ مُنْفَرِدًا
= Zaid telah
datang sendirian.
Kebanyakan ha>l
itu dalam bentuk musytaq, berakar dari mashdar, misalnya
lafazh رَاكِبًا
berakar dari
lafazh رُكُوبٌ (masdhar), dan lafazh خَا ئِفَا
berakar dari
lafazh خَوفٌ
. Terkadang h}a>l
juga yang berbentuk jamil (tidak musytaq), tetapi mengandung
makna musytaq, seperti dalam contoh:
بَدَ تِ الْجَارِ يَةُ قَمْرًا
=
Anak perempuan
itu tampak bagaimana bulan.
Yang dimaksud
dengan bulan ialah bercahaya.
بِعتُهُ يَدًابِيَدٍ = Aku telah
menjual barang itu secara timbang terima.
Yang dimaksud
dengan timbang terima ialah jual beli secara kontan.
وَادْخُلُوارَجُلًا رَجُلًا
= Masuklah kalian
seorang-seorang.
Yang dimaksud
dengan seorang-seorang ialah berurutan.
2.
Tidaklah terbentuk h}a>l itu kecuali harus sesudah sempurna kalam-nya,
yakni sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafazh h}a>l
itu tidak termasuk salah satu dari kedua bagian lafazh jumlah, tetapi
tidak juga yang dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari h}a>l (tidak
membutuhkan ha>l) dengan berlandaskan firman Allah Swt. dalam QS.
Al-Isra’ 17/37:
وَلَا
تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًا
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu berjalan
di muka bumi ini dengan sombong.” [7]
3. Tidak ada s{a>h}ib al ha>l (pelaku h}a>l)
kecuali harus dalam bentuk ma’rifat, atau dalam bentuk nakirah
bila ada hal-hal yang membolehkannya[8], yaitu
a. Hendaknya
ha>l mendahului nakirah, contoh:
فِيهَاقَائِمًارَجُلٌ = Di dalamnya terdapat seorang
laki-laki yang sedang berdiri.
فِى الدَّارِجَالِسًارَجُلٌ
= Di dalam rumah itu terdapat seorang laki-laki sedang duduk.
b. Hendaknya nakirah di-takhshish oleh idhafah.
Contohnya dalam firman Allah Swat. Dalam QS. Fussilat
41/10:
فِيٓ
أَرۡبَعَةِ أَيَّامٖ سَوَآءٗ
Terjemahnya:
Lafazh سَوَاءً berkedudukan sebagai ha>l
dari lafazh أَربَعَةِ.
c. Hendaknya s{a>h}ib al ha>l nakirah
terletak sesudah nafi’ atau syibhun nafyi. syibhun nafyi adalah
istifham dan nahi. [12]
Contohnya dalam firman Allah swt. QS. Asy-Syu’ara 26/208:
وَمَآ أَهۡلَكۡنَا مِن قَرۡيَةٍ إِلَّا لَهَا مُنذِرُونَ
Terjemahnya:
“Dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeripun,
melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan.”[13]
Lafazh لَهَامُنذِرُونَ adalah jumlah ismiyyah yang berkedudukan sebagai ha>l
dari lafazh قَريَهٍ . Keberadaannya sebagai s{a>h}ib al ha>l yang nakirah
dianggap sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[14]
Jumlah ini tidak dianggap sah bila dianggap sebagai shifat
dari lafazh qaryah. Lain halnya dengan pendapat Imam Zamakhsyari karena wawu
(و)
tidak boleh memisahkan shifat dan maushuf-nya.
Demikian juga ha>l diisyaratkan
harus berupa muntanqqil yang musytaq atau bukan jamid.
Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
“Keadaan ha>l ini dalam bentuk muntanqqil lagi
musytaq adalah hal yang lumrah, tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi
musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas, bukan bersifat lazim
(tetap). Seperti dalam contoh:
جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً = zaid
telah datang secara berkendaraan.
Namun, kadang ha>l itu
dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat musytaq dalam tiga keadaan:
a. Menunjukkan makna tasybih (penyerupaan),
seperti: كَرّعَلِيٌ أَسَدًا (Ali menyerang dengan berani seperti macan). Takwilanyaشُجَاعَا كَا الأَسَدِ :
b. Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: بِعْتُكَ اْلفَرَسَ يَدًا بِيَدٍ (aku
telah menjual kuda secara kontan). Takwilanya: مُتَقَابِضَيْنِ
c. Menunjukkan makna tartib, seperti: دَخَلَ
القَوْمُ رَجُلًا رَجُلًا (kaum itu telah masuk secara tertib satu
persatu). Takwilanya: مُتَرَتِّبَيْنِ.[16]
C.
Macam-macam Ha>l
Ha>l secara garis
besar terbagi menjadi tiga yakni:
1.
Ha>l mufrad
Ha>l mufrad adalah ha>l
yang terdiri dari satu kata.[17] apakah kata itu dalam
bentuk tunggal, bentuk dua, atau bentuk jamak. Baik dalam jenis muzakkar
maupun dalam bentuk muannats.
Contoh:
جَاءَطَبِيْبٌ ذَكِيٌّ رَاكِبًا السَّيَّارَةَ = Seorang dokter pria yang pintar
telah datang dengan mengendarai mobil.
جَائَتْ طَبِيْبَةٌ ذَكِيَّةٌ رَاكِبَةً السَّيَّارَةَ = Seorang dokter wanita yang pintar telah datang dengan mengendarai mobil.
Ha>l mufrad yaitu isim mansub yang disebutkan untuk
menjelaskan keadaan fi’il atau maf’ul bih.
Contoh: جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا = Telah datang zaid dalam keadaan berkendaraan.
Lafadz رَاكِبًا adalah
isim mufrad.
2.
Ha>l jumlah
Ha>l jumlah adalah ha>l yang terdiri dari dua jenis jumlah
yaitu jumlah fi’liyah dan jumlah ismiyah. Jumlah fi’liyah
adalah kalimat lengkap yang diawali dengan kata kerja yang memiliki subjek (fa’il)
apabila terdiri dari fi’il lazim, memiliki subjek (fa’il) dan
objek (maf’ul bih) apabila fi’ilnya adalah fi’il muta’addi.
Sedangkan jumlah ismiyah adalah kalimat
lengkap yang terdapat di dalamnya subjek (mubada’) dan predikat (khabar).
Ha>l jumlah harus di dahului
oleh s{a>h{ib al-ha>l yang
terdiri dari isim ma’rifah.[18]
Contoh ha>l jumlah fi’liyah:
ذَهَبَ
الجَانِي تَحْرُسُهُ الجُنُوْدُ =
Penjahat itu pergi, ketika ia dijaga oleh tentara.
Lafadz تَحْرُسُهُ الجُنُوْدُ adalah jumlah
fi’liyah yang berkedudukan sebagai ha>l dari lafadz الجَانِي.
Contoh ha>l jumlah ismiyah:
حَضَرَ الضُيُوْفُ وَالمُضِيْفُ
غَائِبٌ = Para tamu datang,
sedang tuan rumahnya tidak ada.
Lafadz المُضِيْفُ غَائِبٌ adalah jumlah
ismiyah yang berkedudukan sebagai ha>l dari lafadz الضُيُوْفُ.
3.
Ha>l syibhi al-jumlah
Ha>l syibhi
al-jumlah adalah terdiri dari jar wa majruri dan zharaf. Persyaratannya
adalah isim sebelumnya harus isim ma’rifah karena sekaligus
sebagai s{a>h{ib al-ha>l.[19]
Contoh ha>l berupa zharaf.
رَأَيْتُ الهِلَالَ بَيْنَ السَّحَابِ = Aku telah melihat bulan
diantara bulan.
Lafadz بَيْنَ adalah zharaf yang
berkedudukan sebagai ha>l dari lafadz الهِلَالَ.
Contoh ha>l berupa jar dan majrur.
بِعْتُ الثَّمَرَ عَلَي شَجَرِهِ =Saya
menjual buah yang masih ada di pohonnya.
Lafadz عَلَي شَجَرِهِ adalah jar dan
majrur yang berkedudukan sebagai ha>l dari lafadz الثَّمَرَ.[20]
[1]Bahauddin
Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar,
Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil (Cet. XIII; Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2015),
h. 432.
[2]Bahauddin
Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar,
Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, h. 432.
[3]Syamsuddin
Muhammad Araa’ini, Mutammimah Ajurumiyah, terj. Moch. Anwar, Ilmu Nahwu
(Cet. XVIII; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2015), h. 263.
[4]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005),
h. 387.
[5]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005),
h. 90
[6]Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Mutammimah
Ajurumiyah, terj. Moch. Anwar, Ilmu Nahwu, h. 264.
[7]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005),
h. 285.
[9]Bahauddin
Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar,
Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil,
h. 440.
[11]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005),
h. 477.
[12]Bahauddin
Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar,
Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, h. 440
[13] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, h. 376.
[15] Bahauddin
Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar,
Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, h. 433
[16] Iman Saiful
Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, (Jakarta: Sinar Grafik
Offset, 2008), h. 88-89
[17]Ahmad Qabbisy, al-Kamil fi
al-Nahwi wa al-Sharfi wa al-‘Irab (Cet. II; Daar al-Jail: Bairut Libanon,
1974), h. 157.
[18]Rappe, Kajian Tentang
al-Marfu>’a>t min al-Tawa>bi’ wa al-Muda>ri’ dan
al-Manshu>ba>t min al-Asma>’ (Cet. I; Makassar, Alauddin Press,
2014), h. 157-169.
[19]Rappe, Kajian Tentang
al-Marfu>’a>t min al-Tawa>bi’ wa al-Muda>ri’ dan
al-Manshu>ba>t min al-Asma>’, h.171
[20] Djawahir Djuha, Tata
Bahasa Arab Ilmu Nahwu (Bandung:
: Sinar Baru Algennsido, 1995), h. 148-150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar