Selasa, 13 Juni 2017

al-Haal

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Ha>l
Ha>l adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan memberi keterangan keadaanز
Defenisi ha>l menurut syarih adalah sifat yang lebihan, dan di-nashab-kan untuk menunjukkan keadaan, seperti contoh:
 فَردًااَذهَبُ = Aku akan pergi sendiri
Lafazh فَردًا berkedudukan sebagai ha>l karena di dalamnya telah terpenuhi persyaratan yang telah disebutkan.[1]
Dan yang dikecualikan dari perkataan syarih (pen-syarah kitab alfiyah) “untuk menunjukkan keadaan” ialah tamyiz yang musytaq seperti dalam contoh berikut:
لِلّٰهِ دَرُّهُ فَارِسًا = hanya bagi Allahlah kebaikan yang keluar daripada-Nya, yakni penunggang kuda itu (alangkah hebatnya penunggang kuda itu).
Menurut pendapat yang sahih,  lafazh فَارِسًا dalam contoh di atas bukanlah ha>l melainkan tamyiz karena sesungguhnya makna yang dimaksud bukan menunjukkan makna keadaan melainkan takjub tentang keahliannya dalam menunggang kuda. Dengan demikian berarti lafazh فَارِسًا di sini adalah untuk menjelaskan hal yang ditakjubi, bukan untuk menjelaskan keadaannya.[2]
Dengan istilah lain, ha>l adalah isim nakirah yang manshub (yang difathahkan baris akhirnya) yang berfungsi untuk menjelaskan “keadaan” fi’il (pelaku), atau maf’ul (objek) ketika terjadi suatu perbuatan (fi’il).
1.      Untuk menjelaskan keadaan fa’il (pelaku), seperti contoh[3]:
جَاءَزَيدٌرَاكِبًا = Zaid datang dengan berkendara.
Lafazh رَاكِبًا berkedudukan sebagai ha>l dari lafazh زَيدٌ yang menjelaskan keadaan Zaid waktu kedatangannya.  Seperti yang terdapat dalam Firman Allah Swt. QS.Al-Qashash 28/21:
  فَخَرَجَ مِنۡهَا خَآئِفٗا
Terjemahnya:
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut.”[4]
Lafazh خَاۤئِفًا berkedudukan sebagai ha>l dari fa’il lafazh خَرَجَ yang menjelaskan keadaan Musa waktu keluarnya.
2.      Untuk menjelaskan keadaan maf’ul (objek), seperti contoh:
رَكِبْتُ الْفَرْسُ مُسَرَّجًا= Aku telah menunggang kuda seraya berpelana.
Lafazh مُسَرَّجًا berkedudukan sebagai ha>l dari maf’ul yang menjelaskan keadaan kuda waktu digunakan angkutan di atasnya. Seperti halnya yang terdapat dalam firman Allah QS. An-Nisa 4/79:
وَأَرۡسَلۡنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولٗا
Terjemahnya:
“Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia.”[5]
Lafazh رَسُوْلًا menjadi ha>l dari maf’ul huruf kaf yang terdapat pada lafazh وَأَرْسَلْنٰكَ
3.      Atau yang menjelaskan keduanya (fi’il dan maf’ul) seperti dalam contoh:
 لَقَيْتُ عَبْدَاللهِ رَاكِبًا= Aku telah bertemu Abdullah dengan berkendara
Yang dimaksud “dengan berkendara” itu ialah bisa Aku atau Abdullah, atau kedua-duanya.[6]

B.   Syarat-Syarat Ha>l
Ada beberapa syarat h}a>l yang harus dipenuhi yakni:
1.      Tidaklah terbentuk h}a>l kecuali dengan nakirah. Apabila ada h}a>l dengan lafaz ma’rifat, maka harus di-takwil-kan dengan lafazh nakirah. Seperti pada contoh:
جَاءَ زَيدٌ وَحْدَهُ  = Zaid telah datang sendirian.
Taqdir-nya adalah:
جَاءَ زَيدٌ مُنْفَرِدًا = Zaid telah datang sendirian.
Keterangan:
Lafazh وَحْدَهُ berkedudukan sebagai h{a>l sekalipun lafazhnya menunjukkan bentuk ma’rifat, tetapi maknanya di-takwil-kan nakirah. Bentuk lengkapnya adalah: جَاءَ زَيدٌ مُنْفَرِدًا = Zaid telah datang sendirian.
Kebanyakan ha>l itu dalam bentuk musytaq, berakar dari mashdar, misalnya lafazh رَاكِبًا berakar dari lafazh رُكُوبٌ (masdhar), dan lafazh خَا ئِفَا berakar dari lafazh خَوفٌ . Terkadang h}a>l juga yang berbentuk jamil (tidak musytaq), tetapi mengandung makna musytaq, seperti dalam contoh:
بَدَ تِ الْجَارِ يَةُ قَمْرًا = Anak perempuan itu tampak bagaimana bulan.
Yang dimaksud dengan bulan ialah bercahaya.
بِعتُهُ يَدًابِيَدٍ = Aku telah menjual barang itu secara timbang terima.
Yang dimaksud dengan timbang terima ialah jual beli secara kontan.
وَادْخُلُوارَجُلًا رَجُلًا = Masuklah kalian seorang-seorang.
Yang dimaksud dengan seorang-seorang ialah berurutan.
2.      Tidaklah terbentuk h}a>l itu kecuali harus sesudah sempurna kalam-nya, yakni sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafazh h}a>l itu tidak termasuk salah satu dari kedua bagian lafazh jumlah, tetapi tidak juga yang dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari h}a>l (tidak membutuhkan ha>l) dengan berlandaskan firman Allah Swt. dalam QS. Al-Isra’ 17/37:
وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًا
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong.” [7]
3.      Tidak ada s{a>h}ib al ha>l (pelaku h}a>l) kecuali harus dalam bentuk ma’rifat, atau dalam bentuk nakirah bila ada hal-hal yang membolehkannya[8], yaitu
a.       Hendaknya ha>l mendahului nakirah, contoh:
فِيهَاقَائِمًارَجُلٌ = Di dalamnya terdapat seorang laki-laki yang sedang berdiri.
Lafazh قَائِمًا berkedudukan sebagai ha>l dari lafazh رَجُلٌ .[9]
فِى الدَّارِجَالِسًارَجُلٌ = Di dalam rumah itu terdapat seorang laki-laki sedang duduk.
Lafazh جَالِسًا berkedudukan sebagai ha>l dari lafazh رَجُلٌ .[10]
b.      Hendaknya nakirah di-takhshish  oleh idhafah.
Contohnya dalam firman Allah Swat. Dalam QS. Fussilat 41/10:
فِيٓ أَرۡبَعَةِ أَيَّامٖ سَوَآءٗ
Terjemahnya:
“...Dalam empat masa.[11]
Lafazh سَوَاءً berkedudukan sebagai ha>l dari lafazh أَربَعَةِ.
c.       Hendaknya s{a>h}ib al ha>l nakirah terletak sesudah nafi’ atau syibhun nafyi. syibhun nafyi adalah istifham dan nahi. [12]
Contohnya dalam firman Allah swt. QS. Asy-Syu’ara 26/208:

  وَمَآ أَهۡلَكۡنَا مِن قَرۡيَةٍ إِلَّا لَهَا مُنذِرُونَ
Terjemahnya:
“Dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeripun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan.”[13]
Lafazh لَهَامُنذِرُونَ adalah jumlah ismiyyah yang berkedudukan sebagai ha>l dari lafazh قَريَهٍ . Keberadaannya sebagai s{a>h}ib al ha>l yang nakirah dianggap sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[14]
Jumlah ini tidak dianggap sah bila dianggap sebagai shifat dari lafazh qaryah. Lain halnya dengan pendapat Imam Zamakhsyari karena wawu (و) tidak boleh memisahkan shifat dan maushuf-nya.
Demikian juga ha>l diisyaratkan harus berupa muntanqqil yang musytaq atau bukan jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
Keadaan ha>l ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang lumrah, tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas, bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh:
جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً = zaid telah datang secara berkendaraan. 
Lafadz رَاكِيْباً adalah sifat yang mutanaqqil karena sifat ini dapat lepas dari Zaid.[15]
Namun, kadang ha>l itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat musytaq dalam tiga keadaan:
a.    Menunjukkan makna tasybih (penyerupaan), sepertiكَرّعَلِيٌ أَسَدًا (Ali menyerang dengan berani seperti macan). Takwilanyaشُجَاعَا كَا الأَسَدِ :
b.    Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: بِعْتُكَ اْلفَرَسَ يَدًا بِيَدٍ (aku telah menjual kuda secara kontan). Takwilanya: مُتَقَابِضَيْنِ
c.    Menunjukkan makna tartib, seperti:  دَخَلَ القَوْمُ رَجُلًا رَجُلًا (kaum itu telah masuk secara tertib satu persatu). Takwilanya: مُتَرَتِّبَيْنِ.[16]

C.   Macam-macam Ha>l
Ha>l secara garis besar terbagi menjadi tiga yakni:
1.      Ha>l mufrad
Ha>l mufrad adalah ha>l yang terdiri dari satu kata.[17] apakah kata itu dalam bentuk tunggal, bentuk dua, atau bentuk jamak. Baik dalam jenis muzakkar maupun dalam bentuk muannats.
Contoh:
جَاءَطَبِيْبٌ ذَكِيٌّ رَاكِبًا السَّيَّارَةَ = Seorang dokter pria yang pintar telah datang dengan mengendarai mobil.
جَائَتْ طَبِيْبَةٌ ذَكِيَّةٌ رَاكِبَةً السَّيَّارَةَ = Seorang dokter wanita yang pintar telah datang dengan mengendarai mobil.
Ha>l mufrad yaitu isim mansub yang disebutkan untuk menjelaskan keadaan fi’il atau maful bih.
Contoh: جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا = Telah datang zaid dalam keadaan berkendaraan. Lafadz  رَاكِبًا adalah isim mufrad.
2.      Ha>l jumlah
Ha>l jumlah adalah ha>l yang terdiri dari dua jenis jumlah yaitu jumlah fi’liyah dan jumlah ismiyah. Jumlah fi’liyah adalah kalimat lengkap yang diawali dengan kata kerja yang memiliki subjek (fa’il) apabila terdiri dari fi’il lazim, memiliki subjek (fa’il) dan objek (maf’ul bih) apabila fi’ilnya adalah fi’il muta’addi. Sedangkan jumlah ismiyah adalah kalimat lengkap yang terdapat di dalamnya subjek (mubada’) dan predikat (khabar). Ha>l jumlah  harus di dahului oleh s{a>h{ib al-ha>l  yang terdiri dari isim ma’rifah.[18]
Contoh ha>l jumlah fi’liyah
ذَهَبَ الجَانِي تَحْرُسُهُ الجُنُوْدُ  = Penjahat itu pergi, ketika ia dijaga oleh tentara. 
Lafadz  تَحْرُسُهُ الجُنُوْدُ adalah jumlah fi’liyah yang berkedudukan sebagai ha>l dari lafadz الجَانِي.
Contoh ha>l jumlah ismiyah:
حَضَرَ الضُيُوْفُ وَالمُضِيْفُ غَائِبٌ = Para tamu datang, sedang tuan rumahnya tidak ada.
Lafadz  المُضِيْفُ غَائِبٌ adalah jumlah ismiyah yang berkedudukan sebagai ha>l dari lafadz الضُيُوْفُ.
3.      Ha>l  syibhi al-jumlah
Ha>l  syibhi al-jumlah adalah terdiri dari jar wa majruri dan zharaf. Persyaratannya adalah isim sebelumnya harus isim ma’rifah karena sekaligus sebagai s{a>h{ib al-ha>l.[19]
 Contoh ha>l berupa zharaf.
رَأَيْتُ الهِلَالَ بَيْنَ السَّحَابِ = Aku telah melihat bulan diantara bulan. 
Lafadz بَيْنَ  adalah zharaf  yang berkedudukan sebagai ha>l dari lafadz الهِلَالَ.
Contoh ha>l berupa jar dan majrur.
 بِعْتُ الثَّمَرَ عَلَي شَجَرِهِ  =Saya menjual buah yang masih ada di pohonnya.
Lafadz عَلَي شَجَرِهِ adalah  jar dan majrur  yang berkedudukan sebagai ha>l dari lafadz الثَّمَرَ.[20]



[1]Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil (Cet. XIII; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2015), h. 432.
[2]Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, h. 432.
[3]Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Mutammimah Ajurumiyah, terj. Moch. Anwar, Ilmu Nahwu (Cet. XVIII; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2015), h. 263.
[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), h. 387.
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), h. 90
[6]Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Mutammimah Ajurumiyah, terj. Moch. Anwar, Ilmu Nahwu, h. 264.
[7]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), h. 285.
[8]Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Mutammimah Ajurumiyah, terj. Moch. Anwar, Ilmu Nahwu, h. 266.
[9]Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil,  h. 440.
[10]Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Mutammimah Ajurumiyah, terj. Moch. Anwar, Ilmu Nahwu, h.267.
[11]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), h. 477.
[12]Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, h. 440
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, h. 376.
[14]Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Mutammimah Ajurumiyah, terj. Moch. Anwar, Ilmu Nahwu, h. 267.
[15] Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, h. 433
[16] Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, (Jakarta: Sinar Grafik Offset, 2008), h. 88-89
[17]Ahmad Qabbisy, al-Kamil fi al-Nahwi wa al-Sharfi wa al-‘Irab (Cet. II; Daar al-Jail: Bairut Libanon, 1974), h. 157.
[18]Rappe, Kajian Tentang al-Marfu>’a>t min al-Tawa>bi’ wa al-Muda>ri’ dan al-Manshu>ba>t min al-Asma>’ (Cet. I; Makassar, Alauddin Press, 2014), h. 157-169.
[19]Rappe, Kajian Tentang al-Marfu>’a>t min al-Tawa>bi’ wa al-Muda>ri’ dan al-Manshu>ba>t min al-Asma>’, h.171
[20] Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu (Bandung: : Sinar Baru Algennsido, 1995), h. 148-150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar