Selasa, 13 Juni 2017

makalah Rijal al-Hadis

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Hadist merupakan salah satu sumber hukum Islam yang utama, tetapi tidak sedikit umat Islam yang belum memahami apa itu hadis. Maka dikhawatirkan suatu saat nanti akan terjadi kerancuan dalam memahami hadis. Hadis juga memiliki beberapa unsur-unsur yang harus dipenuhi serta beberapa bentuk yang patut diketahui. 
Setelah Rasulullah saw. wafat, para sahabat merasa perlu untuk menjaga kesinambungan wahyu. Mereka menghimpun dengan cara mengumpulkan hafalan-hafalan mereka dan kemampuan mereka semaksimal mungkin. Dengan cara itu hadis Nabi saw. mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan.
Kondisi hadis pada masa perkembangan sebelum pengkodifikasian pernah mengalami pembauran dan kesimpangsiuran. Sehingga para ulama bangkit dan mengadakan riset atau penelitian terhadap hadis yang beredar dan meletakkan dasar kaidah atau peraturan-peraturan yang ketat bagi orang yang meriwayatkan hadis yang kemudian menghasilkan suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu hadis.
Konstruksi atau struktur bangunan keilmuan itu sendiri selalu mempunyai tiga persoalan pokok, yakni apa yang ingin diketahui (ontologi), bagaimana cara untuk mengetahui cara mendapatkan ilmu itu (epistemologi), serta apa nilai kegunaan ilmu tersebut (aksiologi).
Ilmu hadis sebagai suatu disiplin ilmu, juga memiliki tiga persoalan pokok yakni apa itu hadis (ontologi), apa unsur yang terdapat dalam hadis (epistemologi), serta apa kegunaan dari hadis itu sendiri (aksiologi). Hadis juga memiliki beberapa bentuk dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Sehingga dalam penulisan makalah ini akan menjelaskan lebih rinci tentang unsur-unsur yang terdapat dalam hadis. Dalam makalah ini akan mendeskripsikan tentang dari mana atau siapa yang menjadi sandaran dalam hadis, bagaimana hadis itu dilahirkan serta bentuk-bentuknya.  

B.   Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah yakni:
1.      Bagaimana unsur-unsur hadis ditinjau dari segi epistemologi?
2.      Bagaimana bentuk-bentuk hadis dillihat dari segi kualitas dan kuantitas?

C.   Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam hadis jika ditinjau dari segi epistemologi.

2.      Mengetahui bentuk-bentuk hadis baik dari segi kualitas maupun kuantitas. 
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Unsur-Unsur Hadis Ditinjau Dari Segi Epistemologi
1.      Sanad
Secara etimologi, sanad berarti “bagian tanah yang tinggi”, “puncak gunung”, serta “sandaran”. Secara terminologi sanad adalah:
سلسلة ارّواة الذ ى نقلو المتن عن مصد ر الاوّل
“Rangkaian para periwayat hadis yang mengutip matan hadist dari sumber awal (Rasulullah saw)”.[1]
Sanad merupakan suku guru dalam menentukan status hadis. Atas dasar itulah ulama hadis menaruh perhatian yang sangat khusus dalam berbagai ragam sanad menjadi thanmisi. Hadis kaidah-kaidah yang berkaitan dengan sanat sangat beragam.[2] Pemahaman lebih mendalam tentang sanad harus diawali dengan memahami riwyah al-hadis. Dalam ilmu hadis, yang dimaksud dengan riwāyah al-hadis atau al riwāyah ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada mata rantai para periwayat (periwayat)nya dengan bentuk-bentuk tertentu. Jika seseorang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi tidak  menyampaikan hadis tersebut pada orang lain maka ia tidak dapat dikatakan sebagai seorang periwayat hadis. Akan tetapi jika orang tersebut menyampaikan hadis kepada orang lain tetapi tidak menyampaikan rantai periwayatannya maka ia juga tidak dapat dikatakan sebagai seorang periwayat hadis.[3]
Menurut Al-Khātib, orang yangmelakukan periwayatan hadis disebut dengan  al-rāwi dan yang apa yang diriwayatkan disebut al-riwāyah. Sebagai susunan mata rantai para periwayat, maka sanad hanya terjadi di dalam aktvitas periwayatan. Sebuah berita yang dianggap sebagai hadis Nabi tetapi tidak memiliki sanad maka berita itu tidak sah untuk dianggap sebagai hadis. Sanad ialah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi Muhammad saw.
Sanad merupakan salah satu hal yang penting bagi hadis karena mayoritas hadis pada masa Nabi Muhammad tidak tertulis serta hanya disampaikan dan diriwayatkan secara ingatan-ingatan dan hafalan para sahabat yang handal. Oleh karena itu, tidak semua hadis dapat diterima oleh para ulama kecuali telah memenuhi semua kriteria yang telah ditetapkan, salah satunya disertai sanad yang dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. Salah satu ulama yang mengemukakan tentang pentingnya sanad yakni Abdullah bin Al-Mubarak yang berpendapat bahwa sanad itu bagian dari agama, jika sanad tidak ada maka siapa sja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya.[4]
2.      Matan
Matan dari kata dasar matn yang berarti “tujuan akhir atau tujuan puncak (al-muma>tanah)” karena matan sebagai tujuan puncak sanad; atau bagian “tanah yang keras dan menonjol ke atas” karena para ulama hadis dapat memperoleh hadis (matan) melalui para periwayat dengan menggunakan tangga (sanad) untuk bisa sampai kepada Nabi saw. Matan ialah materi berita yang berupa pembicaraan, perbuatan, dan taqrir yang disampaikan / dilakukan oleh Rasulullah yang terletak setelah sanad terakhir.
Matan juga dapat disebut sebagai “pembelah” karena tujuan periwayat untuk sampai pada matan dengan cara menyebutkan sanad-sanad hadis dan kemudian mengeluarkan hadis dari hafalan-hafalan mereka satu persatu sampai akhirnya mengeluarkan matan hadis dari Rasulullah saw.[5] matan hadis merupakan materi hadis yang berada di ujung sanad. Matan hadis terdiri dari dua elemen yakni teks atau lafal dan ,makna (konsep) sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadis yang sahih yaitu terhindar dari sya>z dan ‘illat.
3.      Rawi
Kata perawi atau ar-rawi dalam bahasa arab berasal dari kata riwayah  yang berarti memindahkan dan menukilkan. Yakni memindahkan atau menukilkan suatu berita dari seseorang kepada orang yang lain. Rawi merupakan orang yang meriwayatkan atau orang yang menyampaikan periwayatan hadis dari seorang guru kepada orang lain yang terhimpun ke dalam buku hadis.[6]
Antara rawi dan sanad tidak dapat dipisahkan karena sanad pada setiap generasi terdiri dari beberapa perawi. Sanad lebih menekankan kepada mata rantai, sedangkan rawi adalah orang yang terdapat dalam silsilah tersebut.



Contoh hadist:  

حدثنا محمد بن المثنى قا ل: حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال حدثنا أيوب غن أبي قلابة عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم : ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان : أن يكون الله و رسوله أحب اليه مما سواهما : وان يحب المرأ لا يحبه الا الله : وان يكره أن يعود فى الكفر كما يكره أن يقذف فى النار .) رواه البخاري.(

Artinya:
Telah memberitakan kepadaku Muhammad bin al-Mutsanna, berkata: “Abdul Wahab ats-Tsaqafy telah mengabarkan kepadaku, berkata: “telah bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Muhammad saw bersabda: “tiga perkara yang barang siapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman yakni: 1. Allah dan Rasulnya hendaknya dicintai dari pada selainnya, 2. Kecintaannya kepada seseorang tak lain karena Allah semata, 3. Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan di neraka”.
Sanad pertama dimulai dari محمد بن المثنى , sanad kedua عبد الوهاب الثقفي , sanad ketiga أيوب غن أبي قلابة , sanad yang terakhir عن أنس , yang menerima langsung dari Nabi Muhammad saw. sedangkan matan hadisnya ثلاث sampai أن يقذف فى النار dan رواه البخاري adalah rawi yang menuliskan pada kitabnya.

B.   Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas dan Kuantitas
Hadis dapat ditinjau dari berbagai segi. Ia dapat ditinjau dari segi kuantitas (jumlah) periwayatnya. Ia juga dapat ditinjau dari segi kualitas sanad dan matannya.
1.      Hadis berdasarkan kualitas (mutu)
Pada sisi kualitas, ulama hadis membagi kepada tiga kategori, yakni;
a.       Hadis sahih
Secara etimologi, kata sahih berarti “yang benar, tepat, yang sehat, selamat, yang sempurna,lengkap, yang nyata, yang sah, legal”. Secara terminologi, Ibn al-Shalah mendefinisikan hadis sahih sebagai
الحد يث ا مسند الذ ى يتّصل اسنا ده بنقل العد ل الضّا بطٍ عن العد ل الضّا بط الى منتهاه ول يكون شا ذا ولا معلّلا
“hadis yang disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan d}a>bit}, diterima dari periwayat yang ‘adil dan d}a>bit} sampai di akhir sanad, tidak ada sya>dz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat (cacat)”.[7]
Mayoritas ulama sepakat bahwa ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi sehingga suatu hadis dapat dikategorikan sebagai hadis sahih, yakni: 1) Sanad hadis itu bersambung; 2) Periwayat hadis itu bersifat adil; 3) Periwayat hadis itu bersifat d}abit}; 4) Hadist itu (sanad dan matan) terhindar dari syudzudz;  5) Hadis itu (sanad dan matan) terhindar dari ‘illah
b.      Hadis hasan
Secara bahasa, hadis hasan berarti hadis yang baik, atau yang sesuai dengan keinginan jiwa, atau menurut sangkaan hadis tersebut adalah baik.[8] Orang yang pertama kali mempopulerkan istilah hadis hasan adalah al-Turmudzi. Ia mendefinisikan hadis hasan dengan:
كلّ حديث يروى لا يكون فى ا سنا ده من يثّهم با لكذ ب ولا يكون احد يث شا ذا ويروىمن غير وجه نحو ذ لكز
“tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat periwayat yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan dan diriwayatkan pula melalui jalan yang lain”.
Dengan demikian hadis hasan pada dasarnya adalah hadis musnad  (sanadnya yang bersambung kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil (misalnya tidak tertuduh pendusta), tidak mengandung syadz  ataupun ‘illat, tetapi di dalam periwayatnya dalam sanad ada yang kurang d}abit.[9]}
Hadis hasan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yakni hadis hasan lidzatih dan hadis hasan ligayrih
1)      Hadis hasan lidzatih
Hadis hasan lidzatih adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan dan tidak memerlukan bantuan hadis lain atau nash lain.
2)      Hadis hasan ligayrih
Adalah yang dalam sanadnya ada periwayat yang mastur atau periwayat yang kurang kuat hafalannya, atau periwayat yang tercampur hafalannya karena umur tua atau periwayat mudallas atau periwayat yang pernah keliru dalam periwayatan atau periwayat yang pernah salah dalam periwayatan, lalu dikuatkan dengan jalan (sanad) lain yang sebanding dengannya.
c.       Hadis dha’if
Kata dha’if  menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari qawi> (yang kuat). Sebagai lawan kata dari sahih, kata dha’if juga berarti sa>qim (yang sakit). Maka sebutan hadis dha’if  secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, dan yang tidak kuat.[10]
Menurut al-Nawawi, hadis dha’if  adalah:
ما لم يو جد فيه شروط الصّحّة ولا شزو ط الحسن
“hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan”.
Adapula yang mengatakan bahwa hadis dha’if  ialah segala hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul. Sifat maqbul yang dimaksud adalah sifat-sifat yang terdapat dalam hadis sahih dan hadis hasan.
2.      Hadis berdasarkan kuantitas (jumlah rawi)
Dari sisi kuantitas, hadis dibedakan menjadi beberapa bagian yakni:
a.       Hadis Mutawatir
Mutawatir secara bahasa berarti المثثا بع  yang berarti datang kemudian, beriring-iringan atau beruntun.[11] Menurut Mahmud al-Thahhan, definisi hadis adalah:  ما رواه عد د كثير تحيل العا د ة توا طؤ هم على الكذ ب
“Hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang menurut adat kebiasaaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan).”
Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, “hadis yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut adat  kebiasan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkannya) dari sejumlah periwayat dengan jumlah yang sepadan semenjak sanad pertama sampai sanad terakhir dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya.”
Adapun syarat atau kriteria hadis mutawatir  yakni: 1) diriwayatkan oleh periwayat yang banyak; 2) adanya keyakinan bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta; 3) adanya jumlah periwayat yang sama pada setiap jalur sanad; 4) berdasarkan tanggapan panca indera.
b.      Hadist Ahad
Kata ahad berarti satu. Hadis ahad secara bahasa adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, hadis ahad adalah hadis yang sanadnya sahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.
Hadis ahad diklasifikasikan kepada tiga macam yaitu:
1)      Hadis masyhur
Kata masyhur berarti “dikenal banyak orang, terkenal, kenamaan”. Secara istilah, hadis masyhur menurut ulama hadis ialah “hadis yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih pada tiap-tiap thabaqah-nya, selama belum sampai pada batas hadis mutawatir.
2)      Hadis ‘aziz
Menurut etimologi, kata ‘aziz (bahasa Arab) berarti “yang perkasa, yang kuat, yang mulia, yang jarang adanya, yang berharga.” Menurut terminologi, hadis ‘aziz ialah “hadis yang kurang periwayat-periwayatnya dari dua orang pada semua thabaqah dalam sanadnya”.
3)      Hadis gharib
Hadis gharib biasa juga disebut sebagai hadis fard. Secara etimologi, kata gharib berarti “yang asing, yang pelik, yang pelik, yang merantau.” Secara terminologi, hadis gharib merupakan hadis yang diriwayatkan oleh hanya satu periwayat.[12]
BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
1.      Unsur-unsur hadis jika ditinjau dari segi epistemologi terdiri dari:
a.       Sanad : Rangkaian para periwayat hadis yang mengutip matan hadist dari sumber awal (Rasulullah saw)
b.      Matan : Matan ialah materi berita yang berupa pembicaraan, perbuatan, dan taqrir yang disampaikan / dilakukan oleh Rasulullah yang terletak setelah sanad terakhir.
c.       Rawi : Merupakan orang yang meriwayatkan atau orang yang menyampaikan periwayatan hadis dari seorang guru kepada orang lain yang terhimpun ke dalam buku hadis
2.      Kualifikasi hadis berdasarkan kualitas dan kuantitas.
a.       Kualitas : hadis sahih, hadis hasan, hadis dha’if
b.      Kuantitas : hadis mutawatir dan hadis ahad
B.   Implikasi
Adapun implikasi dari penulisan makalah ini agar kiranya pembaca dapat memahami materi yang telah dibahas pada makalah ini sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Penulis juga menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangaun dari pembaca, demi kesempurnaan penulisan selanjutnya



[1]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis (Cet. I; Surakarta: Zadahaniva Publishing, 2011), h. 10.
[2]Munzier Suparta,  Ilmu Hadis (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 46.
[3]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 10.
[4]Abdul Majin Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), h. 98.
[5] Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 12.
[6]Abdul Majin Khon, Ulumul Hadis, h. 104
[7]Idri, Studi Hadis (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Permai), h. 158.
[8]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 23.
[9]Idri, Studi Hadis, h. 159.
[10]Idri, Studi Hadis, h. 177.
[11] Abdul Majud khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), h. 131.
[12]Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 135.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar