BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Fakta sejarah menunjukkan bahwa al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur. Hal tersebut sejalan dengan
berbagai kejadian dan peristiwa. Wahyu yang turun secara berangsur-angsur tersebut berkenaan
dengan adat kebiasaan, perasaan individu dan tradisi sosial.[1]
Kenyataan inilah yang membuka ruang bagi para ulama pendukung nasakh
untuk membuktikan bahwa telah terjadi nasikh dan mansukh terhadap
ayat-ayat al-Qur’an.
Namun demikian, argumen di atas sedikit terbantahkan oleh firman
Allah Swt. dalam QS. an-Nisaa
4/82:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ
ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ
ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ٨٢
Terjemahnya:
“Seandainya (al-Qur’an ini) datangnya bukan dari
Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalamnya (kandungan) ikhtilaf (kontradiksi)
yang banyak.”[2]
Ayat tersebut merupakan prinsip yang
diyakini kebenarannya oleh setiap muslim. Namun demikian, para ulama berbeda
pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas menunjukan adanya
gejala kontradiksi. Dari sinilah,
muncul pembahasan Nasikh dan Manskh. [3]
Hal senada juga diungkapkan Manna al-Qaththan, bahwa
apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada
suatu masa yang lain. Begitu juga dengan perjalanan dakwah pada masa
pertumbuhan, tentu tidak sama
perjalanan sesudah memasuki era perkembangan. Demikian juga dengan hikmah
tasyri’ pada suatu periode mungkin akan berbeda dengan periode yang lain. [4]
Adanya ayat-ayat al-Qur’an yang sepintas
menunjukkan gejala kontradiksi ini, menimbulkan perbedaan pendapat di antara para Ulama tentang ada atau tidak ayat-ayat al-Qur’an yang
mengalami Naskh (penghapusan). Dalam menghadapi ayat-ayat ini, para
ulama berusaha untuk mengkompromikannya. Pengkompromian tersebut ditempuh oleh
satu pihak tanpa menyatakan
adanya ayat-ayat yang telah dibatalkan, dihapus, atau tidak berlaku lagi dan ada pula yang menyatakan bahwa di antara ayat-ayat yang turun kemudian telah
membatalkan kandungan ayat sebelumnya, akibat perubahan kondisi sosial.
Olek karena itu, apapun cara rekonsilasi tersebut, pada akhirnya
mereka sependapat bahwa tidak ada kontradikasi dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Karena disepakati syarat-syarat kontradikasi, antara lain adalah persamaan
subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain. [5]
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, maka
penulis dapat menarik beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana pengertian nasikh dan mansukh?
2. Bagaimana pandangan para ulama tentang terjadinya nasakh dalam
al-qur’an?
3. Benarkah telah terjadi nasakh dalam al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh dan
Mansukh
Menurut Abdul Djalal, ilmu Nasikh
dan Mansukh adalah ilmu Nasakhi, yaitu ilmu yang membahas hal ihwal
penasakhan (penghapusan dan penggantian) suatu peraturan hukum al-Qur’an.[6]
Oleh karena itu, perlu dibahas pengertian Nasakh, Nasikh, dan Mansukh.
1.
Pengetian Nasakh
Secara etimologi, kata
“Nasakh” sedikitnya mempunyai empat arti, yaitu sebagai berikut:
a.
Menghapus/meniadakan (al-Izaalah
wal I’daam), yang berarti menghapuskan sesuatu atau menghilangkannya. [7]
Nasakh seperti dapat dilihat dalam QS al-Hajj 22/52:
وَمَآ
أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٖ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّآ إِذَا تَمَنَّىٰٓ
أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَٰنُ فِيٓ أُمۡنِيَّتِهِۦ فَيَنسَخُ ٱللَّهُ مَا يُلۡقِي
ٱلشَّيۡطَٰنُ ثُمَّ يُحۡكِمُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٥٢
Terjemahnya:
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
rasul pun dan tidak (pula) seorang Nabi,, melainkan apabila ia membaca
(ayat-ayat Kami), tentu syaitan pun memasukkan (keragu-raguan) kepada
(pendengaran) tentang bacaan itu, maka Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh
syaitan itu kemudian Allah menguatkan
ayat-ayat-Nya.”[8]
Dalam ayat tersebut,
kata “yansyakhu” diartikan dengan “menghilangkan.”
b.
Memindahkan sesuatu yang tetap
sama (at-Tahwiilu Ma’a Baqaa’ihi fi Nafsihi), yang berarti memindahkan
suatu barang dari suatu tempat ketempat lain, tetapi barang itu tetap sama
saja.[9]
Tidak terdapat contoh
dari ayat-ayat al-Qur’an yang berarti “pindah” [10]
c. Menyalin / mengutip (an-Naqlu Min Kitaabin), yang
berarti menyalin / mengutip tulisan dari suatu buku ke buku yang lain,
dengan tetap adanya persamaan antara salinan dengan yang disalin.[11]
Contoh nasakh seperti ini terdapat
dalam al-Qur’an surah al-Jaatsiyah : 29 :
هَٰذَا كِتَٰبُنَا يَنطِقُ عَلَيۡكُم بِٱلۡحَقِّۚ إِنَّا كُنَّا نَسۡتَنسِخُ
مَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ٢٩
Artinya:
"Inilah Kitab (catatan) kami yang
menuturkan kepada kalian dengan benar, karena. Sesungguhnya kami telah menyuruh
mencatat (mengutip) apa yang telah kalian kerjakan".[12]
1. Mengubah dan membatalkan sesuatu dengan menempatkan sesuatu yang
lain sebagai pengganti (al-Tagyir Wal Ibtaal Wa
Iqamamatisy Sya’I Maqaamahu), yang berarti mengubah suatu ketentuan /
hukum, dengan cara membatalkan ketentuan hukum, yang diganti dengan hukum baru
yang memiliki ketentuan lain. [13]
Nasakh dengan arti seperti terdapat
dalam al-Qur’an surah al-Baqarah: 106:
۞مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا
نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ
كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ١٠٦
Artinya:
“Ayat
apa saja yang kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) melupakannya,
tentu kami datangkan yang lebih baik darinya.
Tidaklah kamu mengetahui bahwa Allah itu Kuasa atas segala sesuatu?”
(Q.S. al-Baqarah: 106) [14]
Sedang secara
terminologi, Nasakh berarti mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’
yang datang kemudian.[15]
Hal senada juga diungkapkan Manna al-Qaththan, bahwa Nasakh berarti
“ mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain”. Kata “hukum disini menunjukkan bahwa
prinsip “segala sesuatu hukum asalnya (al-Bara’ah al-Ashliyah) tidak
termasuk yang dinasakh. Kata-kata “dengan dalil hukum syara’” mengecualikan
pengangkatan ( penghapusan hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau
penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.[16]
Subhi al-Sholih mengatakan bahwa definisi kata Nasakh itu adalah “
mencabut hukum syari’at” dengan dalil syari’at” (Raf ul-hukmisy syar’iyyi bi
daliilin syar’iyyin) dapat dipandang sebagai definisi yang paling cermat.
Beberapa ketentuan hukum syari’at yang oleh as-syar’I (Allah dan Rasulnya)
dipandang tidak dipertahankan, harus dicabut dan diganti dengan dalil-dalil
yang lebih kuat dan jelas, serta berdasarkan realitas yang lebih mudah
dimengerti. [17]
d.
Pengertian Nasikh
Nasikh menurut bahasa
berarti sesuatu yang menghapuskan / menghilangkan, atau yang memindahkan
atau yang mengutip dan mengganti. Jadi, hampir sama dengan pengertian nasakh menurut bahasa seperti yang
telah diterangkan di atas. Bedanya, nasakh itu kata masdar,
sedangkan nasikh ini isim Fa’il, sehingga berarti pelakunya.
Nasika
ialah hukum syarak atau dalil syarak
yang menghapuskan/
mengubah hukum/ dalil syarak yang terdahulu dan menggatinya dengan ketentuan hukum yang baru. [18]
Nasika itu
berarti Allah swt. Artinya bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggatikan
hukum-hukum syarak itu pada hakikatnya ialah Allah swt. [19]
c. Pengertian
Mansukh
menurut bahasa berarti sesuatu yang di hapus / dihilangkan / dipindahkan.
Sedangkan menurut istilah para ulama, mansukh ialah hukum syarak yang pertama,
yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan dari dalil syarak baru yang datang kemudian.
Tegasnya,
dalam masukh itu adalah berupa ketentuan hukum syarak pertama yang telah
diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan
kondisi yang menghendaki perubahan dan penggatian hukum tadi. [20]
B. Dalil-Dalil Naska Dalam Al-Qur’an
Untuk mengetahui lebih jauh tentang naskih dan mansukh,penulis
yang akan mengemungkakan beberapa ayat al-Qur’an yang merupakan dalil-dalil
yang menunjukan bahwa telah terjadi nasikh dan mansukh dalam
al-Qur’an:
- Ayat 106 Surah al- Baqarah :
۞مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا
نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ
كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ١٠٦
Artinya:
“Ayat mana saja yang kami
nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”. [21]
- Ayat 101 Surah an-Nahl:
وإِذَا بَدَّلۡنَآ ءَايَةٗ مَّكَانَ
ءَايَةٖ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفۡتَرِۢۚ
بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ١٠١
Artinya:
“Dan
apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan
kebanyakan mereka tiada Mengetahui”. [22]
- Ayat 39 Surah
ar-Rau’du:
يَمۡحُواْ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثۡبِتُۖ
وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ ٣٩
39. Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan
menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab
(Lauh mahfuzh). [23]
Ayat-ayat di atas
merupakan dalil-dalil yang menjadi tumpuian para ulama untuk memperkuat dugaan
akan adanya sejumlah ayat-ayat al-Qur’an yang telah mengalami nasakh oleh
ayat-ayat lain yang datang kemudian. Meskipun demikian, tetap saja ada diantara
para ulama yang tetap yakin bahwa tidak ada nasakh dalam al-Qur’an. Hala
tersebut membuat mereka yang tidak setuju dengan keberadaan nasakh dalam
al-Qur’an, senantiasa berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang sepintas tampak
kontradiktif.
C. Pandangan Ulama Tentang Nasakh.
Secara umum, terdapat
dua kelompok pendapat yang saling berseberangan dalam menanggapi ada atau tidak nasakh dalam al-Qur’an, yaitu:
1.
Jumhur Ulama
Jumhur ulama berpendapat bahwa masalah “nasakh”
secara akal bisa terjadi dan secara sam’i telah terjadi, dan tidak ada
perselisihan di antara para ulama
tentang diperolehkannya nasakh dalam al-Qur’an dan Hadits. [24]
hal tersebut berdasarkan
dalil-dalil:
a.
Nash-nash al-Qur’an dan Hadits
jelas membolehkan adanya nasakh dan menunjukkan telah terjadinya nasakh itu.
b.
Semua perbuatan Allah swt. itu tidak
terikat pada sesuatu fatwa dengan tujuan-tujaun tertentu. Olek karena itu, bisa saja Allah memerintahkan sesuatu pada
suatu waktu, dan menggantikannya dengan
melarang sesuatu itu pada
waktu yang lain, karena Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui semua kemaslahatan hambanya. [25]
Jumhur ulama juga
berpendapat bahwa syariat-syariat
sebelum islam telah dinasakh oleh syariat islam, sebagai nasakh itu juga
telah terjadi dalam beberapa hukum islam. Misalnya, perubahan kiblat dari arah
Baitul Maqdis ke Masjidil haram, pembatalan kewajiban memberi sedekah bagi yang
bermunajab kepada nabi SAW, pembatalan puasa Asyura dan menggantinya dengan
puasa Ramadhan, dan pembatalan wasiat bagi kedua ibu bapak serta kaum kerabat
dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan kewarisan.[26]
Dengan berpijak pada
ayat-ayat yang telah kami kemukakan sebelumnya, mayoritas ulama memandang bahwa
“revisi” al-Qur’an telah terjadi. Gagasan lain yang mendasari mayoritas ulama
akan teori nasakh adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepada
kaum muslimin di dalam al-Qur’an hanya bersifat sementara, dan bahwa tak kala
keadaan telah berubah, perintah pun dihapus dan diganti dengan perintah baru
lainnya. Namun, karena perintah-perintah itu adalah kalam Allah, ia harus
dibaca sebagai bagian dari al-Qur’an. [27]
2. Kelompok yang tidak setuju dengan adanya Nasakh dalam al-Qur’an
Diantara ulama yang
menolak adanya nasakh dalam al-Qur’an adalah Abu Muslim al-Ashafani. Sebelum munculnya al-Ashafani, jumhur ulama tanpa ragu membolehkan
menetapkan sendiri ayat-ayat mana yang nasikh dan yang mana mansukh. Bahkan
ketika itu, mereka berusaha membuktikan sebanyak-banyaknya ayat-ayat yang
mengalami nasakh. Kemudian setelah muncul al-Ashafani dan ia mengatakan
pendapatnya, bahwa nasakh sama sekali tidak membatalkan (menghapuskan)
ayat-ayat al-Qur’an. Abu Muslim mendasarkan penolakannya pada firman Allah
dalam surah Fushshilat : 42 :
لَّا يَأۡتِيهِ ٱلۡبَٰطِلُ مِنۢ
بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَلَا مِنۡ خَلۡفِهِۦۖ تَنزِيلٞ مِّنۡ حَكِيمٍ حَمِيدٖ ٤٢
Artinya
Yang tidak
datang kepadanya (Al Quran) baik dari depan maupun dari belakang, yang
diturunkan dari tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
Atas dasar itu, ia lebih suka menyebut kata nasakh
dengan istilah lain, yaitu takhsis (pengkhususan), untuk menghindari pengertian
adanya pembatalan hukum al-Qur’an. [28]
Abu muslim al-ashfani juga
berpendapat bahwa jika dihukumi bahwa ada ayat yang dimansukh dalam al-Qur’an
ada yang batal (yang salah), padahal sangatlah mustahil apabila Allah yang Maha
sempurna berbuat kesalahan.
Oleh karena itu, dalam pandangan
kelompok yang tidak menyetujui adanya nasakh dalam al-Qur’an ini, bahwa
adanya ayat-ayat yang sekilas bertentangan satu dengan yang lain, sesungguhnya
ayat-ayat tersebut bisa dikompromikan atau digabungkan. [29]
D. Pembagian naskh
Secara umum, nasakh
terbagi atas empat bagian, yaitu :
1. Nasakh
al-Qur’an dengan al-Qur’an (naskhul Qur’ani bilo Qur’ani). Nasakh jenis ini disepakati kebolehannya dan
telah terjadi dalam pandangan mereka yang menyepakati adanya nasakh
dalam al-Qur’an. Contohnya seperti
ayat 12 Surah al-Mujadilah yang dinasakh oleh ayat 13 surah al-Mujadilah.
2. Nasakh
al-Qur’an dengan Sunnah (naskhul Qur’ani bisunnati). Jumhur ulama
membolehkan nasakh al-Qur’an dengan hadis mutawatir, tetapi tidak membolehkan nasakh
al-Qur’an dengan hadis ahad, sebab al-Qur’an adalah mutawatir sehingga memberi faedah yang meyakinkan, sedangkan hadis ahad adalah hanya memberi faedah yang dzanni (dugaan) saja. [30]
3. Nasakh sunnah dengan al-Qur’an (naskhus sunnah bil
Qur’ani). Nasakh menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan sunnah diganti
dengan hukum yang didasarkan dengan al-Qur’an. Nasakh jenis ini diperbolehkan
oleh jumhur ulama. [31]
4. Nasakh sunnah dengan sunnah (naskhus sunnah bis sunnah),yaitu nasakh hukum yang
ditetapkan berdasarkan sunnah dengan dalil sunnah pula. Nasakh jenis
ini, terdapat empat kemungkinan, yaitu:
a. Nasakh Sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir
b. Nasakh sunnah ahad dengan sunnah ahad
c. Nasakh sunnah ahad dengan sunnah mutawatir
d. Nasakh sunnah mutawatir dengan sunnah ahad
Menurut
Jumhur Ulama, yang nomor 1-3 itu diperbolehkan adanya nasakh, tetapi
yang nomor 4 tidak diperbolehkan. [32]
Sedang Abd Wahab
Khallaf, membagi Nasakh dari segi aspek pemberlakuan hukum menjadi empat,
yaitu:
a. Nasakh Sharih,
yaitu nasakh yang jelas tentang berakhirnya suatu hukum. Misalnya
tentang perubahan kiblat shalat, yang semula menghadap Bait al-Maqdis diubah
kearah ka’bah. (QS. 2: 150).
b. Nasakh Dhimni, yaitu nasakh secara implisit (tersirat)
yang tidak jelas. Nasakh ini diketahui karena adanya dua Naskh yang saling
bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, dan diketahui bahwa Naskh tersebut datangnya tidak bersamaan. Misalnya
(QS. 2: 234) tentang Iddah istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Yakni 4
bulan 10 hari menasikh (QS. 2:
240), wasiat kepada istri bahwa ia tidak boleh keluar rumah selama satu tahun.
c. Nasakh Killi, yaitu pembatalan hukum syara’ yang datang
sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya pembatalan kewajiban berwasiat kepada
orang tua dan kerabat (QS. 2:180) yang dinasakh oleh (QS. 4: 11-12).
d.
Nasakh jus’I, yaitu
pembatalan sebagian hukum syara’ oleh hukum yang datang kemudian. Misalnya ayat
tentang hukum cambuk 80 kali bagi orang yang menuduh zina tanpa mengajukan 4
orang saksi (QS. 24:4) dinasakh oleh (QS. 24: 7). [33]
E. Syarat-Syarat Nasakh
Menurut Abdul Djalal,
adanya nasakh disyaratkan empat hal, yaitu:
a. Hukum yang dinasakh harus berupa hukum syarak, bukan hukum lain.
Seperti hukum akal atau hukum perbuatan manusia. Yang dimaksud dengan hukum
syarak ialah titah Allah Swt. dan Sunnah Rasul Saw. yang berhubungan dengan orang yang muqalaf, baik yang mewajibkan
atau melarang atau menyuruh memilih.
b. Dalil yang menghapuskan hukum syarak itu harus berupa dalil
syarak, tidak
boleh berupa dalil akal.
c. Adanya dalil baru yang menghapus itu harus setelah ada tenggang
waktu dari dalil yang pertama.
d. Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertentangan yang
nyata, yang betul-betul kontradiktif dan paradok, sehingga betul-betul tidak
dapat dikompromikan. [34]
F. Pedoman Mengetahui Nasakh
Pengetahuan tentang
nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat yang besar bagi para ulama,
terutama para fuqaha, mufassir, dan ahli ushul fiqih, agar pengetahuan tentang
hukum tidak menjadi kabur. Oleh karena itu, terdapat banyak atsar yang
mendorong agar mengetahui masalah tersebut. [35]
Untuk mengetahui nasikh
dan mansukh, terdapat beberapa cara, diantaranya:
1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits:
“Aku (dulu) pernah
melarang berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah.” (HR. al-Hakim).
2. Ijma’ umat bahwa suatu ayat Nasikh dan Mansukh.
3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan
berdasarkan sejarah.
G. Hikmah Nasakh
Secara umum, terdapat beberapa hikmah nasakh, yaitu:
1. Untuk menunjukkan bahwa syariat agama Islam adalah syariat yang
paling sempurna. Oleh karena itu, syariat agama islam menasakh syariat
agama-agama yang sebelum islam.
2. Menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa
terpelihara dalam semua keadaan dan sepanjang zaman.
3. Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dan semua situasi dan kondisi
umat yang mengamalkannya.
4. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan
penggantian-penggantian dari nasakh itu
mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau dengan begitu mereka lalu ingkar dan membangkang?
5. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia
mengamalkan hukum-hukum perubahan walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
6. Untuk memberi keringanan dan dispensasi bagi umat islam, sebab
dalam beberapa nasakh banyak yang meringankan beban dan memudahkan pengamalan.[36]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian-uraian di atas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam memberikan definisi
nasakh yang dikemukakan oleh para ulama, namun penulis dapat menarik beberapa
kesimpulan bahwa pada dasarnya, nasakh adalah penghapusan/ pencabutan
hukum syara’ yang oleh as-Syar’I (Allah dan Rasulnya) dipandang tidak perlu dipertahankan, oleh
dalil-dalil hukum syara’ yang datang kemudian sesuaidengan keadaan dan realitas
yang lebih mudah dipahami dan dimengerti.
2. Secara umum, terdapat dua kelompok pendapat yang saling
bertentangan dalam hal ada atau tidaknya ayat-ayat al-Qur’an yang telah
mengalami nasakh. Kelompok pertama adalah jumhur ulama yang secara meyakinkan
berpendapat bahwa ada diantara ayat-ayat al-Qur’an yang telah dinasakh oleh
ayat-ayat al-Qur’an yang datang kemudian. Kelompok kedua adalah kelompok
pendapat yang setuju dengan adanya nasakh dalam al-Qur’an. Kelompok ini
beranggapan bahwa sangatlah tidak mungkin jika Allah yang Maha Sempurna berbuat
kesalahan sehingga kemudian harus membatalkan beberapa bagian dari ayat-ayat
alQur’an.
3. Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis dapat menarik
beberapa kesimpulan bahwa benar telah terjadi nasakh dalam al-Qur’an. Namun
demikian, yang perlu kita diskusikan lebih jauh adalah bagaimana kita
mendefinisikan nasakh yang terjadi dalam al-Qur’an. Dalam hal ini,
penulis cenderung pada pendapat bahwa semua ayat al-Qur’an tetap berlaku dan
tidak ada ayat-ayat yang kontradiksi. Dengan demikian, tidak ada ayat al-Qur’an
yang dihapus tetapi hanya diganti bagi masyarakat dan orang-orang tertentu pada
suatu masa, dan ayat-ayat tersebut berl;aku secara temporer.
4.
B. Rekomendasi
Makalah ini kami susun
seadanya dan dengan segala kekurangan penulis, sehingga besar kemungkinan apa
yang penulis kemukakan dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kebesaran hati teman-teman
dan pembaca agar kiranya memberikan kritik dan saran yang dapat melengkapi
kekurangan makalah ini.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi
Wabarakaatuhu.....
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna, Mabahits
fi Ulumil Qur’an, ditermahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni dengan Judul Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 284
Al-Sholih, Subhi. Mabahits
fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan Judul Membahas
Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Cet. X; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008)
Anwar, Rosihan, Ulum
al-Qur’an, Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2008) h. 170
Baidan, Nasirun, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 172-173
Djalal, Abdul, Ulumul
Qur’an, Cet. II; Surabaya: Dunia Islam,2000
Ensiklopedia Hukum
Islam, Cet VI; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006
Manahil Al-Irfan fi
Ulum al-Qur’an, Al-Maktabah Al-Syamsilah, Isdar II. Dapat pula diakses si
http;/www.shamela.ws
Marzuki, Kamaluddin, Ulum
al-Qur’an, Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1992
Program Komputer, al-Qur’an
dan Terjemahannya
Shihab, Quraish. Membumikan
al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan, Cet. XXIX; Bandung:
Mizan, 2006
[1]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo: el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[2]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005),
h. 90.
[3]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron, h. 58-59.
[4]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron, h. 58-59.
[5]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron, h. 58-59.
[6]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[7]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[8]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, h. 338.
[9]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[10]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[11]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[12]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[13]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[14]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[15]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[16]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[17]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[18]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[19]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[20]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[21]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[22]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[23]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[24]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[25]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[26]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[27]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[28]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[29]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[30]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[31]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[32]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[33]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[34]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[35]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
[36]Mohd.
Ghallab, al-Tasawuf Muqāron (Kairo : el-Nahdhah, 1956), h. 58-59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar