|
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai mahluk sosial manusia berhadapan dengan lingkungan
masyarakat yang memiliki kepentingan dan keinginan yang berbeda-beda. Manusia
juga berhadapan dengan sesama manusia yang mempunyai kemerdekaan pribadi,
kehendak dan perasaan. Setiap hari manusia saling berhubungan, saling
berinteraksi, saling kenal dan saling membutuhkan. Di dalam proses
kemasyarakatan itu disamping saling bantu, tolong menolong, tidak jarang
terjadi benturan antara satu sama lain, tidak jarang menimbulkan tindakan
sewenang-wenang, diskriminatif ketidak adilan yang menggangu hak-hak orang lain
dan menimbulkan perselisihan. Perselisihan itu terjadi karena tidak terdapat
penyesuaian pendapat atau kehendak. Masing-masing merasa dirugikan oleh yang
lain dan masing- masing berpegang pada kebenaran sendiri serta menyalahkan yang
lain. Disinilah urgennya keberadaan sebuah hukum untuk mengatur kehidupan
masyarakat sekaligus sebagai solusi dalam menyelesaikan perselisihan yang
terjadi antara mereka.
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup (al-huda) bagi manusia dalam mengarungi lalu lintas kehidupan di dunia dan akherat. Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil ketiga persoalan tersebut. [1]
Dengan demikian dapat
diungkapkan bahwa ada ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mengandung nilai hukum.
Selaras dengan hal ini Yoseph Schacht mengemukakan, bahwa Islam – yang
bersumber dari al-Qur’an – tidak hanya mengatur masalah ibadah ritual saja,
namun ia juga mengatur kepentingan hubungan manusia dalam hidup kemasyarakatan,
seperti masalah kehidupan rumah tangga, pendidikan, ekonomi, ketatanegaraan,
politik dan hukum. Islam adalah pengetahuan yang pure exellence.
Mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.[2] Begitu
juga pengakuan Snouck Hurgronje, bahwa “Islam is a religion of law in the
full meaning of the word (Islam adalah agama hukum dalam
arti kata yang sebenarnya).[3]
Sebagai orang yang
beriman kepada Allah, Tuhan Sang Pencipta dan Pengatur alam ini, yang Maha
mengetahui segala kebutuhan dan kemaslahatan hambaNya kita tentu yakin seyakin
yakinnya bahwa segala ketentuan dan ketetapanNya pastilah untuk kemaslahatan
manusia dalam kehidupan dunia ini, termasuk ketika Allah menurunkan hukum
syari’at kepada ummat manusia juga adalah untuk kemaslahatan dan kebahagiaan
mereka, karena keterbatasan akal dan ilmu yang dimiliki sehingga terkadang
tidak bisa diselami hikmah dan maslahat dibalik ketetapan syariat tersebut.
Sabahagian orang dari
kalangan orientalis dan orang orang yang tidak senang terhadap Islam menganggap
bahwa konsep hukum Islam yang terdapat dalam al Qur’an terutama yang
berhubungan dengan hukum qisas, hukum potong tangan bagi pencuri, pembagian
harta warisan, adalah tidak sejalan dengan keadilan dan bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan.
Makalah ini akan
mendeskripsikan tentang Konsep Hukum Islam dalam al-Qur’an antara keadilan dan
kemanusiaan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latarbelakang pokok masalah tersebut di atas, maka dirumuskan sub masalah sbb :
1. Bagaimana Hukum Dalam
al-Qur’an ?
2. Bagaimana Konsep Hukum
Islam dalam al-Qur’an Antara Keadilan dan Kemanusiaan
|
PEMBAHASAN
A. Hukum dalam al- Qur’an
Al-quran adalah kalam Allah yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw
dan tertulis di dalam mushaf berdasarkan sumber-sumber mutawatir yang bersifat
pasti kebenarannya, dan yang dibaca umat Islam dalam rangka ibadah.[4]
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk hidup (way of life atau al-huda).
Sebagai al-huda, al-Qur’an merupakan traffic light dalam
menjalani lalu lintas kehidupan. Bahkan secara implisit, al-Qur’an dapat
dipandang sebagai kitab hukum. Kitab hukum yang dimaksudkan di sini dalam arti
hukum yang universal, bukan kitab undang-undang yang sifatnya temporal, dan
lokal.
Perlu dikemukakan, bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan
hidup kemasyarakatan secara historis pada umumnya diturunkan di Madinah.
Ayat-ayat tersebut biasa disebut ayat-ayat ahkam atau ayat-ayat hukum. Menurut
penelitian Abdul Wahab Khallaf, bahwa dibandingkan dengan jumlah 6360 ayat yang
terkandung dalam al-quran, ayat hukum hanya sedikit. Jumlah ayat-ayat hukum
tersebut hanya 5,8 persen dari seluruh ayat al-quran, dengan rincian sebagai
berikut:
1. Mengenai ibadah salat,
puasa, haji, dan lain-lain sebanyak 140 ayat
2.
4
|
3. Mengenai hidup
perdagangan/perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai,
perseroan, kontrak, dan sebagainya sebanyak 70 ayat
4. Mengenai soal kriminal
sebanyak 30 ayat
5. Mengenai hubungan
Islam dan bukan Islam sebanyak 25 ayat
- Mengenai soal pengadilan sebanyak 13 ayat
- Mengenai hubungan kaya dan miskin sebanyak 10 ayat
- Mengenai soal kenegaraan sebanyak 10 ayat.[5]
Keterangan di atas
menunjukkan bahwa ayat-ayat yang mengatur soal hidup kekeluargaan dan
perdagangan/ perekonomian mempunyai jumlah terbesar. Besarnya jumlah ayat
mengenai kekeluargaan, karena keluargalah yang merupakan unit kemasyarakatan
terkecil dalam setiap masyarakat.
Ayat hukum mengenai
perdagangan/perekonomian juga banyak, karena kemakmuran materil individu dan
keluarga merupakan syarat penting dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Perbuatan-perbuatan
kriminal merusak ketenteraman masyarakat, dan masyarakat perlu dipelihara dari
berbagai tindakan kriminal anggota masyarakat yang berakhlak rendah. Untuk
inilah, maka ayat-ayat hukum mementingkan soal kriminal dan bersikap keras
terhadap tindak kriminal.[6]
Minimnya ayat-ayat
hukum ini erat kaitannya dengan dinamika kehidupan masyarakat yang menjadi
subyek sekaligus obyek hukum itu sendiri. Masyarakat bersifat dinamis,
senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman.
Padahal hukum mempunyai efek mengikat. Kalau semua problem masyarakat yang
selalu berkembang dan berubah itu telah diatur secara absolut dan rinci dalam al-Qur’an,
maka dinamika perkembangan masyarakat menjadi terhambat.[7]
Karena al-Qur’an
merupakan syariat Islam yang bersifat menyeluruh, maka mayoritas penjelasan
hukumnya bersifat global, dan sedikit sekali yang terinci. Penjelasan al-Qur’an
terhadap hukum terdiri dari tiga bentuk, yaitu:
1. Penjelasan al-Qur’an
bersifat sempurna. Dalam hal ini sunnah berfungsi untuk menetapkan makna yang
dikandungnya. Misalnya QS al-Baqarah/2:185
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Terjemahannya : “ Karena
itu barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah “.[8]
Begitu juga ayat qazaf
(menuduh wanita baik-baik berzina) dan li’an berkaitan dengan
suami yang menuduh isterinya berbuat zina. Ayat-ayat tersebut menjelaskan hukuman
pelakunya secara sempurna.
2. Penjelasan Al-Qur’an
bersifat global (mujmal), sedangkan sunnah berfungsi untuk
menjelaskannya lebih konkrit. Seperti perintah mendirikan salat, membayar
zakat, serta lafaz-lafaz yang tidak jelas maknanya, kecuali setelah dijelaskan
oleh sunnah.
3. Al-Qur’an hanya
menjelaskan pokok-pokok hukum, baik dengan isyarat, maupun dengan ungkapan
langsung, kemudian sunnah merinci hukum tersebut dengan sempurna.[9]
Dengan demikian muatan
hukum dalam al-quran telah diberikan penjelasan secara beragam. Penjelasan
rinci umumnya berkaitan dengan hukum yang telah pasti (qath’iy) tetapi
hukum yang tidak pasti hanya dijelaskan secara global dan dasar-dasarnya saja.
Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, bahwa al-quran bukan saja mengatur tentang
masalah akidah, tetapi juga tentang akhlak dan hukum. Dengan kata lain dalam al-quran
terkandung berbagai aspek hukum. Kandungan hukum dalam al-quran dapat dibagi
dalam beberapa bagian.
Menurut Muhammad Abu
Zahrah, hukum-hukum dalam al-Qur’an terbagi atas:
1. Ibadah, seperti salat,
zakat, puasa, haji, sedekah dengan segala macam dan ragamnya.
2. Kafarat, yang menjadi
bagian dari ibadah sebagai penebus terhadap sebagian dari dosa (kafarat zihar,
sumpah dan pembunuhan orang mukmin tanpa sengaja)
3. Hukum muamalah
4. Hukum keluarga
5. Hukum pidana
6. Hukum acara (hubungan
antara hakim dan pelaku tindak pidana)
7. Perlakuan terhadap non muslim.[10]
Dengan klasifikasi yang
hampir sama, Suparman Usman mengemukakan, bahwa hukum-hukum dalam al-quran
secara garis besarnya terbagi kepada dua bagian, yaitu:
1. Hukum ibadat (dalam
arti khusus), yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan lahiriah antara
manusia dengan Tuhan.
2. Hukum muamalat dalam
arti luas, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya dengan alam sekitarnya.
B.
Konsep Hukum dalam Al Qur’an antara Keadilan dan Kemanusiaan.
Allah SWT menurunkan Syariat Islam dengan mengutus RasulNya
Nabiullah Muhammad SAW bertujuan untuk membentuk masyarakat yang damai dan
tentram. Allah SWT Berfirman dalam QS al-
Anbiya’/21:107:
وما
أرسلنك إلا رحمة للعلمين
Terjemahannya :“Dan Kami tidak mengutus engkau ( Muhammad)
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.[11]
Ayat
di atas menegaskan bahwa Allah SWT mengutus RasulNya Muhammad untuk menebar
rahmat atau kasih sayang dalam kehidupan dunia. Kasih sayang tersebut bukan
hanya terbatas pada hubungan manusia dengan sesamanya manusia, tetapi dalam
segala hal termasuk terhadap binatang dan lingkungan.
Konsep hukum dalam al-Qur’an
adalah ide pokok yang mendasari gambaran yang bersifat umum mengenai esensi
atau hakekat hukum dalam al-Qur’an.[12] Dalam
kaitan ini, dalam arti luas konsep hukum
dalam al-Qur’an bukan saja bernilai duniawi tetapi juga bernilai spiritual.
Dengan kata lain, konsep hukum dalam al-Qur’an merupakan integrasi antara
nilai ilahiah dan humanis. Konsep hukum dalam al-Qur’an bernilai ilahiah karena
bersumber dari Tuhan yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, yang ditaati karena
didorong keyakinan yang sungguh-sungguh (keimanan) kepada Tuhan, dan
karena Allahlah yang Maha Kuasa, yang berhak menetapkan jalan sebagai petunjuk
hidup bagi umat manusia, juga bernilai humanis karena konsep hukum tersebut
senantiasa memperhatikan kebutuhan dan kemaslahatan manusia dalam kehidupan
dunianya.
Kalau dibaca al-Qur’an maka akan temukan banyak ayat yang menyebutkan
tentang perintah untuk berbuat adil dan menegakkan keadilan, dan bahwa Allah
tidak menyukai perbuatan kedzoliman yang merupakan lawan dari keadilan, diantaranya
dalam QS an –Nahl/16:90.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ
ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Terjemahannya
: “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melaukuan) perbuatan keji,
kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran “.[13]
Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil”yang terambil dari bahasa Arab
‘adl. Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada
mulanya berarti “sama” atau “persamaan.” Persamaan yang merupakan makna asal
kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak,” dan pada
dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar,” karena baik yang
benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia
melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang.”[14]
Menurut Harun Nasution, al-‘adl berarti keadaan yang terdapat
dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus. Orang yang adil adalah
orang yang tidak dipengaruhi hawa nafsunya, sehingga ia tidak menyimpang dari
jalan lurus dan dengan demikian bersikap adil. Jadi, kata al-‘adl mengandung
arti menentukan hukum dengan benar dan adil.[15]
Mencermati arti aslinya itu, tidak mengherankan kalau kata al-‘adl dihubungkan
dengan timbangan yang lurus secara horisontal, yaitu timbangan yang daunnya
tidak berat sebelah. Kata al-‘adl lebih lanjut berarti serupa atau yang
sama, dan juga berarti seimbang. Untuk meluruskan hal yang tidak lurus perlu
diadakan sesuatu yang membuatnya lurus, dan dengan demikian al-‘adl berarti
tebusan.[16]
Keadilan diungkapkan oleh Al-Qur’an antara lain dengan kata-kata al-‘adl,
al-qist, al-mizan, dan dengan ungkapan menafikan (meniadakan) kezaliman.
‘Adl yang berarti “sama,”
memberi kesan adanya dua pihak atau lebih, karena jika hanya satu pihak, tidak
akan terjadi “persamaan.”
Qist arti asalnya adalah
“bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya
“persamaan.” Bukankah “bagian” dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu
kata qist lebih umum daripada kata ‘adl, dan karena itu pula
ketika Al-Qur’an menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya
sendiri, kata qist itulah yang digunakannya.[17] seperti
terungkap dalam QS al-Nisa/4 :135
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى
أَنْفُسِكُم
Terjemahannya : “Wahai
orang-orang yang beriman! jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri…”[18]
Mizan berasal dari akar kata wazn
yang berarti timbangan. Karena itu, mizan, adalah alat untuk
menimbang. Namun dapat juga berarti keadilan, karena bahasa seringkali menyebut
“alat” untuk makna “hasil penggunaan alat itu.”[19]
Dengan demikian keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Qur’an amat
beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang
bertikai, tetapi al-Qur’an juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri.
Ada beragam aspek dan objek keadilan yang telah dibicarakan oleh al-Qur’an,
pelakunya pun demikian. Keragaman itu mengakibatkan keragaman makna keadilan.
Dalam hal ini ada empat makna keadilan yang diungkapkan al-Qur’an:
(1)
Adil dalam arti sama atau persamaan yaitu persamaan dalam hak, seperti yang
diungkapkan dalam QS al-Nisa/4:58
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Terjemahannya : “ Dan
apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya
dengan adil “.[20]
Ayat ini menuntun sang
hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bertikai di dalam posisi yang sama,
dan bukan mempersamakan apa yang mereka terima dari keputusan hakim.
(2)
Adil dari arti seimbang. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di
dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama
syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya
syarat itu, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan
kehadirannya, seperti diisyaratkan dalam QS al-Infithar/82:6-7
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (6)
الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ (7)
Terjemahannya : “ wahai manusia! apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat
durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pengasih?, yang telah menciptakanmu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang “.[21]
Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau kurang dari
kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan
(keadilan).
(3)
Adil adalah perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu
kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan
“menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya.”
(4)
Adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti memelihara
kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi
dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. [22]
Dari uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa konsep hukum dalam al-Qur’an
bertumpu pada prinsip keadilan. Keadilan tersebut bersumber dari Tuhan yang
Maha Adil. Karena pada hakekatnya Allahlah yang menegakkan keadilan (qaiman
bi al-qist), sehingga harus diyakini bahwa Allah tidak berlaku aniaya
(zalim) kepada hamba-hambaNya. Karena itu, setiap perbuatan manusia akan
dipertanggung jawabkan kepada Allah pada hari keadilan. Adil dalam pengertian
persamaan (equality), yaitu persamaan dalam hak, tanpa membedakan siapa,
dan dari mana orang yang diserahkan menegakkan keadilan.[23]
Dalam konteks keadilan hukum yang diamanatkan al-Qur’an, nabi Muhammad saw
menegaskan adanya persamaan mutlak (egalitarisme absolut/al-musawah
al-mutlaqah) di hadapan hukum syariat sebagaimana sabdanya:
يَا أَيُّها النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ
وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى
عَرَبِيٍّ إِلَّا بِالتَّقْوَى[24]
Artinya : “wahai manusia ketahuilah, sesungguhnya Tuhan kalian adalah
satu, bapak kalian pun satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan dari orang Arab
atas non Arab, orang non Arab atas orang Arab kecuali karena ketakwaannya“.
Keadilan dalam hal ini
tidak membeda-bedakan status sosial seseorang, apakah ia kaya atau miskin,
pejabat atau rakyat jelata, dan tidak juga karena perbedaan warna kulit serta
perbedaan bangsa dan agama, karena dihadapan hukum semuanya sama.
Konsep persamaan yang
terkandung dalam keadilan tidak pula menutup kemungkinan adanya pengakuan
tentang kelebihan dalam beberapa aspek, yang dapat melebihkan seseorang karena
prestasi yang dimilikinya. Tetapi kelebihan itu tidak akan menimbulkan
perbedaan perlakuan hukum terhadap dirinya.
Martabat dan
hajat manusia dalam pandangan al-Qur’an adalah sebagai anugerah
Allah. Karena itu tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat merusak dan
menghancurkannya, kecuali dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah
juga. Pengakuan tentang harkat dan kehormatan ini sekaligus memperkuat adanya
kewajiban dalam hukum terhadap kejahatan atau pelanggaran, hukuman seimbang
atau setimpal dengan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan.[25]
Dalam kaitan ini, orang
yang – terbukti secara sah dan meyakinkan – suatu pelanggaran hukum, adalah
adil jika yang bersangkutan dihukum. Pencuri adil kalau dihukum potong tangan,
penzina yang belum menikah adil kalau dihukum cambuk 100 kali, dan sebagainya.
Sebaliknya, keadilan hukum tidak dapat ditegakkan jika mereka yang terbukti
melakukan pelanggaran hukum tidak dihukum.
Dalam kaitannya dengan
keadilan hukum dalam Al-Qur’an ini, konstitusi Islam mengatur hak dan kewajiban
berdasarkan keadilan. Di antara konsep keadilan itu, antara lain:
1. Setiap orang berhak
mendapatkan perlindungan bagi kebebasan pribadinya;
2. Setiap orang berhak
memperoleh makanan, perumahan, perkawinan, pendidikan, dan perawatan medis;
3. Setiap orang berhak
mempunyai pikiran, mengemukakan pendapat dan kepercayaan selama ia masih berada
dalam batas-batas yang ditetapkan hukum;
4. Semua orang sama
kedudukannya dalam Islam;
5. Semua orang dengan
kemampuan yang sama berhak atas kesempatan yang sama, dan penghasilan yang
sama, tanpa membedakan agama, etnis, asal usul dan sebagainya;
6. Setiap orang yang
dianggap tidak bersalah sampai akhirnya dinyatakan bersalah oleh pengadilan,
dan beberapa hak dan kewajiban yang menyambut beberapa aspek sosial, politik,
ekonomi, pertahanan, keamanan dan sebagainya.[26]
Mengenai keadilan hukum
berimbang –dalam hukum pidana- asas keadilan berimbang terlihat pada sanksi
yang diberikan, semakin tinggi status sosial dan kedudukan seseorang dalam
masyarakat, semakin berat hukuman yang akan dijatuhkan.
Sedangkan dalam bidang
hukum perdata juga berlaku prinsip keadilan berimbang. Perbandingan dan
perbedaan porsi bagi ahli waris sebagaimana yang telah ditentukan al-Qur’an
adalah disesuaikan dengan perimbangan tanggung jawab yang dibebankan antara
laki-laki dan wanita. Dalam hal ini, keadilan diterapkan dalam upaya
menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Termasuk keadilan dalam hukum,
adalah pengenaan denda atau hukuman terhadap orang-orang yang melanggar ketentuan-ketentuan
agama, seperti suami yang menzihar isterinya atau suami isteri yang
melakukan hubungan biologis pada siang hari bulan Ramadan. Mereka dikenakan kafarat
yaitu memberi makan 60 orang miskin, sedangkan orang yang mengambil haji tamattu,
dikenakan denda, memotong seekor kambing sebagai dam.
Konsep hukum dalam al-Qur’an
tidak saja berorientasi pada keadaan hukum, tetapi juga memperhatikan faktor
kemanusiaan, baik melindungi hak-hak korban, mau pun penjerahan (penyadaran)
pelaku sendiri dari pelanggaran hukum. Hal ini didasarkan kepada asumsi bahwa
manusia merupakan khalifah Allah di muka bumi sehingga harus diperlakukan
secara manusiawi dan sebagai subyek, bukan hanya sebagai alat semata. Karena
manusia adalah makhluk termulia yang diciptakan Tuhan dan menjadi objek
pembahasan utama dalam al-Qur’an.
Jelasnya, bahwa konsep
hukum dalam al-Qur’an yang disertai sanksi, baik berupa sanksi duniawi mau pun
sanksi ukrawi (neraka), adalah bertujuan untuk membatasi ambisi dan hawa nafsu
manusia, sehingga hak-hak manusia lain dan kemanusiaan terpelihara, yaitu
mencegah kerusakan bagi manusia, dan mendatangkan kemaslahatan,
pengendalian dunia dengan kebenaran, keadilan dan kebajikan.[27] Jadi,
larangan mengikuti hawa nafsu pada hakikatnya adalah upaya memelihara martabat
kemanusiaan.[28]
Yusuf al Qardhawi dalam
bukunya “Fiqih Maqashid syari’ah” menyebutkan perkataan Ibnul Qoyyim Al
Jauziyah bahawa “ Dasar dan asas syariat adalah kemaslahatan manusia di dunia
dan akhirat. Seluruh syariat mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan dan
hikmah.”[29]
Para ulama telah
menyimpulkan bahwa paling tidak ada lima tujuan utama diturunkannya Syariat
Islam yang biasa disebut dengan sitilah Maqashid Syariah, yang kesemuanya dalam
rangka menjamin Kemaslahatan manusia dalam kehidupan, yaitu (a) memelihara
agama, (b) memelihara jiwa, (c) memelihara akal, (d) memelihara keturunan, dan
(e) memelihara harta. Untuk memelihara agama, maka dilarang murtad dari Islam
atau mempermaikan agama. Untuk memelihara jiwa, maka dilarang membunuh atau
menganiaya orang lain tanpa alasan sah. Untuk memelihara akal, maka dilarang
meminum khamar dan yang sejenisnya. Untuk memelihara keturunan, maka dilarang
berzina. Untuk memelihara harta, maka dilarang mencuri.
Walau pun dari segi
keadilan hukum, orang yang menganiaya atau membunuh harus dihukum qisas (dibunuh
atau dihukum setimpal dengan penganiayaannya), namun hukuman itu tidak boleh
melampaui batas, yang bertentangan dengan kemanusiaan. Karena itulah ada
kemungkinan pelaku pembunuhan dan penganiayaan dimaafkan keluarga korban dan
korban penganiayaan itu dari hukuman fisik, baik dengan tetap membayar diat (denda),
mau pun tanpa diat sama sekali.
Orang yang belum
menikah jika berzina, maka hukuman yang adil baginya adalah dicambuk 100 kali.
Tetapi akan bertentangan dengan kemanusiaannya jika dihukum lebih dari 100
kali. Begitu pula pencuri, adil jika dipotong tangannya. Tetapi demi
kemanusiaan, pencuri tidak dipotong tangannya jika mencuri di musim kelaparan,
sebagaimana yang pernah dilakukan khalifah Umar bin Khattab.
Berpijak pada prinsip
kemanusiaan ini, maka konsep hukum dalam Al-Qur’an, di samping berupa ketentuan
hukum ‘azimah, juga disertai hukum rukhsah yang diberlakukan
kepada orang-orang tertentu dan dalam kondisi tertentu pula. Dengan adanya
hukum rukhsah, maka orang yang mengalami hambatan melakukan hukum
‘azimah akan tetap melaksanakan ketentuan hukum Tuhan dalam al-Qur’an.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa elan dasar (basic elan) al-Qur’an
mempunyai penekanan pada keadilan dan persamaan esensial manusia.[30]
Bertolak dari uraian di
atas, maka pandangan bahwa berbuat baik dengan jalan mengorbankan kepentingan
diri sendiri untuk kepentingan pihak lain atau membalas kejahatan dengan
kebaikan, lebih tinggi nilainya daripada keadilan, hanyalah benar dalam
hubungan antar individu, namun keliru jika diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Karena salah satu asas kehidupan bermasyarakat adalah keadilan,
sedangkan sikap berbuat baik yang melebihi keadilan- seperti berbuat baik
terhadap mereka yang bersalah (melakukan pelanggaran hukum) akan menggoyahkan
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.[31]
Keadilan harus
ditegakkan, kalau perlu dengan tindakan tegas. Al-Qur’an menggandengkan
“timbangan” (alat ukur yang adil) dengan “besi” yang digunakan sebagai
senjata, mengisyaratkan bahwa senjata adalah salah satu cara atau alat untuk
menegakkan keadilan. QS al-Hadid/57:25
وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ بَأْسٌ شَدِيْدٌ وَ مَنَافِعُ لِلنَّاسِ
Terjemahannya : “ Dan
Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi manusia
“.[32]
Karena itu jika terjadi
pertentangan antara kedilan dan kemanusiaan dalam suatu penegakan hukum, maka
pertimbangan keadilan hukumlah yang diunggulkan demi untuk melindungi
harkat dan martabat kemanusiaan yang lebih luas. Dalam hal ini memang
sepintas terkesan ketegasan keadilan hukum telah bertentangan bahkan
mengesampingkan kemanusiaan. Namun perlu dipahami bahwa dalam penegakan
keadilan hukum yang tegas, maka fungsi hukum sebagai social control dapat
terealisir secara berdaya guna dan berhasil guna. Orang-orang yang merencanakan
kejahatan akan mengurungkan niat jahatnya. Orang yang telah dijatuhi hukuman
pun diharapkan akan jera (sadar) dan tidak mengulangi kesalahannya lagi.
Di samping itu konsep
hukum dalam al-Qur’an dalam hal-hal tertentu memang bertujuan untuk
kemanusiaan, seperti kewajiban tolong-menolong, zakat, infak, wakaf dan sedekah.[33]
Begitu pula ketentuan
hukum dalam Al-Qur’an berupa sanksi kafarat dalam bentuk pembebasan
budak bagi orang yang membunuh tanpa sengaja. Atau memberi makan orang miskin
bagi yang menzihar isterinya atau bersumpah atau berhubungan biologis
siang hari di bulan Ramadan pada hakekatnya bertujuan untuk mengangkat harkat
dan martabat kemanusiaan. Tegasnya konsep hukum tersebut secara substansial
bertujuan agar perbudakan dapat dihilangkan dan kemiskinan dapat dieliminir
dalam kehidupan manusia. Pembebasan budak sama artinya menghidupkannya dari
kematian, yakni kembali hidup dalam kebebasan dari kematian hak asasinya.
Bahkan menurut Mahmud Syaltut, pembebasan budak – dalam kasus pembunuhan
tanpa sengaja – secara maknawi merupakan upaya menghidupkan kembali jiwa orang
lain,[34]
menggantikan jiwa yang telah meninggal akibat pembunuhan tanpa sengaja itu.
Dengan demikian
penegakan keadilan hukum akan mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan bukan
saja masyarakat umum tetapi juga orang yang telah melanggar hukum itu
sendiri. Karena itu konsep hukum dalam Al-Qur’an dapat dipahami sebagai konsep
hukum yang memadukan antara keadilan dan kemanusiaan. Dengan penegakan keadilan
hukum yang tegas, kemanusiaan akan terlindungi secara selaras dan seimbang.
Bahkan dapat dikatakan, hukum Islam -yang bersumber dari al-Qur’an- adalah
hukum kemanusiaan, yang memberi perhatian penuh kepada manusia dalam berbagai
segi.[35]
Dalam konteks ini maka
dianggap adil jika orang yang melanggar hukum harus dihukum, namun dalam
pelaksanaan hukuman harus tetap memperhatikan kemanusiaan. Karena di dalam
keadilan hukum itu terkandung kemanusiaan.
|
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan
di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Al-Qur’an adalah Kitab
Suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada NabiNya Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril untuk disampaikan kepada seluruh manusia. Al-Qur’an adalah petunjuk
dan pedoman hidup, petunjuk dalam menggapai kebahagiaan di dunia maupun di
akhirat. Oleh karena itu di dalam al qur’an tidak hanya memuat
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan keimanan dan ibadah semata, tapi
juga memuat aturan-aturan atau hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia
baik dalam konteks kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan jama’i
(masyarakat).
2. Konsep hukum dalam al-Qur’an
adalah ide pokok yang mendasari gambaran yang bersifat umum mengenai esensi
atau hakekat hukum dalam al-Qur’an. Karena al-Qur’an bersumber dari Allah Tuhan
Sang pencipta dan pengatur alam semesta, Tuhan yang Maha perkasa, Zat yang
paling tahu apa yang menjadi kebutuhan dan kemaslahatan hamba-hambaNya, Zat
yang Maha Pengasih dan Penyayang, Zat yang Maha adil dan bijaksana, maka tentu
sangat logis jika kemudian konsep Hukum yang tertuang dalam al-Qur’an tersebut adalah
konsep hukum yang dibangun di atas semangat keadilan dengan tetap menghargai
dan menghormati harkat dan martabat manusia.
23
|
DAFTAR PSTAKA
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Fungsi Wahyu dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XXVIII; Bandung: Mizan, 2004
Schacht, Yoseph. An Introduction
to Islamic Law, Oxford: Oxford University Press, 1964
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. VIII; Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000
Al-Salih, Subhi. Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, Diterjemahkan oleh Tim
Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet. VIII;
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Usul al-Fiqh,Bayrut:
Dar al-Fikr, [t.th.]
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid
II,Cet. VI; Jakarta: UI Press, 1986
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Cet. VI;
Bandung: Mizan, 2000
Abu Zahrah, Muhammad. Uşul al- Fiqh, Diterjemahkan olehSaefullah
Ma’shum dengan judul Ushul Fiqih, Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000)
Al-Qur’anul Karim, Tafsir Per Kata
Tajwid Kode,Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat, 2012
Rasdiyanah, Andi. Hukum Islam – 2, Bahan Kuliah, Makassar:
PPs IAIN Alauddin Makassar, 2005
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat (Cet. XII; Bandung: Mizan, 2001), h. 111.
Hasan, Hasbi. “Respon Islam Terhadap Konsep Keadilan,” dalam Suara
Uldilag, Vol. II, No. 5, September 2004
Bin Hanbal,Ahmad. Musnad Ahmad, Juz V (Beirut: Dar al-Fikr,
[t.th.]),
Sardar, Zainuddin. Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come. Diterjemahkan
Rahman Astuti dengan judul Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka, 1987
Minhajuddin, Sistematikan Filsafat Hukum Islami, Cet. I; Ujung
Pandang: Ahkam, 1996)
Salim, AbdulMuin Fiqh Siyasah Konsep Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an, Cet.
III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Al-Qardhawi, Yusuf. Fiqih Maqhosid Syariah, Moderasi Islam
antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, Cet.I; Jakarta : Pustaka Al
Kautsar, 2007
A.Mas’adi, Ghufron. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam,Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998
Shihab, M. Quraish. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Cet.
XVIII; Bandung: Mizan, 1999
Syah, Ismail muhammad. “Tujuan dan Ciri Hukum Islam,” dalam Zaini
Dahlan, dkk., Filsafat Hukum Islam, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Syaltut, Mahmud. Al-Fatawa, Cet. III; Kairo: Dar al-Qalam, [t.th.]
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Falsafah Hukum Islam, Cet. I;
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001
[1]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi Wahyu dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. XXVIII; Bandung: Mizan, 2004), h. 33.
[3]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia (Cet. VIII; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 27.
[4] Subhi al-Salih, Mabahis
fi ‘Ulum al-Quran, Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas
Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 15
[6]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid
II (Cet. VI; Jakarta: UI Press, 1986), h. 8-9.
[8]Al-Qur’anul
Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode, (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat,
2012), h. 28
[9]Muhammad Abu Zahrah, Uşul al- Fiqh, Diterjemahkan oleh Saefullah
Ma’shum dengan judul Ushul Fiqih (Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000), h. 121-123.
[10]Muhammad Abu Zahrah, Usul al- Fiqh, Diterjemahkan olehSaefullah
Ma’shum dengan judul Ushul Fiqih, h. 121-123.
[11]Al-Qur’anul
Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat,
2012), h. 332
[12]Andi Rasdiyanah, Hukum Islam – 2, Bahan Kuliah (Makassar: PPs IAIN
Alauddin Makassar, 2005), h. 1.
[13]Al-Qur’anul
Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat,
2012), h. 277
[14]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat (Cet. XII; Bandung: Mizan, 2001), h. 111.
[18]Al-Qur’anul
Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat,
2012), h. 100
[19]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an.,
h. 111.
[20]Al-Qur’anul
Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat,
2012), h. 87
[21]Al-Qur’anul
Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat,
2012), h. 587
[23]Hasbi Hasan, “Respon
Islam Terhadap Konsep Keadilan,” dalam Suara Uldilag, Vol. II,
No. 5, September 2004, h. 122
[24]Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz V (Beirut: Dar al-Fikr,
[t.th.]), h. 411.
[26]Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come. Diterjemahkan
Rahman Astuti dengan judul Masa Depan Islam (Bandung: Pustaka, 1987), h.
385-386.
[27]Minhajuddin, Sistematikan Filsafat Hukum Islami (Cet. I; Ujung
Pandang: Ahkam, 1996), h. 38.
[28]Abdul Muin Salim, Fiqh
Siyasah Konsep Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an (Cet. III; Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 115.
[29]Yususf
Al-Qardhawi, Fiqih Maqhosid Syariah, Moderasi Islam antara Aliran Tekstual
dan Aliran Liberal (Cet.I; Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2007) h. 7
[30]Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998), h. 125.
[31]M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Cet.
XVIII; Bandung: Mizan, 1999), h. 346-347.
[32]Al-Qur’anul
Karim, Tafsir Per Kata Tajwid Kode (Cet. III; Jakarta: Yayasan Qiblat,
2012), h. 541
[33]Ismail Muhammad Syah, “Tujuan dan Ciri Hukum Islam,” dalam Zaini Dahlan,
dkk., Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.
118.
[34]Mahmud Syaltut, Al-Fatawa (Cet. III; Kairo: Dar al-Qalam,
[t.th.]), h. 150.
[35]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Cet. I;
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 142-143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar